Sabtu, 13 Oktober 2012

The Blue Eyes of the Lighthouse (part 14)


       “PLTAK!!” jari telunjuk Mark dengan sukses menyentak keras di dahiku.
       “Aduuuuuuuuh!!” ujarku yang tidak bisa menghindar dari sentilannya.  “Apaan sih Mark?! Belum apa-apa sudah ngajak perang!”
       “Gara-gara kau aku repot tahu! Setiap hari Nicky berisik mencarimu kemana-mana! Handphoneku bisa-bisa meledak karena panggilan masuk!” Mark melirik Nicky yang memasang wajah pura-pura tidak tahu. “Hey, Byrne…matamu melihat kemana?”
       Nicky tidak menjawab. Aku melihat seisi ruang tengah apartemenku yang ramai. Aku merinding melihat banyak orang berkumpul. Westlife, Clark, Darren, Kyla dan yang paling membuatku merinding, Georgina sekarang duduk di sofa sambil mengotak-atik handphonenya. Rupanya aku benar-benar sudah membuat keributan.
       Mark merangkul bahuku. Aku memekik kaget.
       “Better you stay away from her, Feehily.” Nicky melempar kaleng bekas soda yang sudah habis diminumnya kearah Mark.
       “I miss my ex.” Cengir Mark.
       “Jangan bikin masalah!” ujar Nicky kesal.
       Pandanganku masih terpaku pada Georgina yang daritadi hanya diam. Darren sudah menceritakan semuanya. Bagaimana ia bisa bertemu Kyla, lalu menyusun rencana ‘Penangkapan Michelle Myron di New York’. Darren menghubungi Clark dan dengan mudah ia mendapat informasi dimana alamat hotel tempatku menetap. Kemudian Darren dan Kyla memberitahu Nicky, dan Darren memang tidak pernah keluar dari yang namanya gangguan jiwa, ia mengajak Georgina kerjasama.
       Mereka sampai di New York memang hampir tengah malam. Lalu Georgina disuruh memancingku kebawah untuk bertemu Nicky. tapi tiba-tiba Nicky mendadak masuk kedalam lift bersamaku, mengajakku bicara didalam lift agar tidak ada yang mengganggu kami. Itu tidak ada didalam rencana. Darren dan Kyla menganga melihat perbuatan Nicky dan langsung menyusul kami keatas.
      Aku menatap tanganku yang sempat memerah karena Nicky menggenggamnya kencang-kencang saat lift yang kami naiki bergerak turun hingga lantai dasar. Begitu pulang ke Irlandia, apartemenku langsung dipenuhi orang-orang ini.
       Aku tidak percaya ada Kyla ditengah-tengah sini. Dan sedang mengobrol dengan Darren. Dunia jadi terbalik-balik begini. Jujur saja aku benar-benar bahagia mengetahui Kyla kembali padaku, dan bukan karena aku sudah terkenal atau apa. Sebenarnya dari dulu ia tidak pernah meninggalkanku. Hanya saja, aku baru bisa melihatnya sekarang.
       “Stay away!” Nicky mendorong tubuh Mark yang berisi dan langsung duduk disebelahku. Aku malah merinding karena Georgina ada disini. Aku menggeser dudukku dan malah mendekat lagi pada Mark.
       “Tuh kan! Michelle mau duduk disampingku, Nicky!” Mark tertawa.
       Nicky benar-benar cemberut.
       “Nicky, kembalilah pada mama…” Brian membentangkan kedua tangannya lebar-lebar. “Biarkan mama memelukmu, sayang.”
       “Shut up, Bri!” Nicky merapatkan tubuhnya pada Shane yang langsung menepuk-nepuk pundaknya sambil tertawa.
       “I think it’s time to go home…” Georgina bangkit dari duduknya. “Thanks, that’s a nice trip. My boyfriend’s waiting for me.”
       Aku terbelalak mendengarnya. Georgina sudah punya pacar?!
       “Thank you very much, Gina…” aku memutuskan memberi senyum paling tulus padanya, dan untuk pertama kali ia membalas senyumku dengan senyum yang benar-benar tulus. Ia benar-benar cantiiiiik. Kalau aku jadi Nicky, aku pasti nggak akan pernah meninggalkannya!
       “Michelle, aku punya permintaan.” Kata Georgina saat aku mengantarnya ke ambang pintu. “Undang aku ke pernikahan kalian.”
       “Ha?!” wajahku merah padam.
       “See you.” Georgina tersenyum sekali lagi, lalu berjalan menjauh. Aku tersenyum memandangnya hingga ia tidak terlihat. Begitu kembali ke ruang tengah, aku langsung memeluk Nicky erat-erat. Nicky tersentak dengan wajah merah.
       “Please…du, dua menit…” aku memeluknya makin erat.
       Nicky menepuk kepalaku.
       “Dua menit sama sekali nggak cukup untukku.”
       Brian berdehem.
       “Dua menit sama sekali nggak cukup untukku.” katanya membeo
       “Nggak bisa lihat orang senang sebentar saja?” Nicky menghela nafas saat aku melepaskan pelukanku dengan benar-benar malu. Aku benar-benar tidak sadar saat memeluknya tadi.
       “Dua menit saja Kian.” Brian memeluk Kian dari belakang.
       “Sejujurnya aku merinding.” Kian berusaha menyingkirkan tubuh Brian. “Menyingkir dariku! Sekarang!”
       Nicky meniban tubuh Brian.
       “Lepaskan aku!” jerit Brian.
       “Dua menit, Brian!” seru Nicky sambil tertawa. Belum apa-apa Mark, Shane dan Kian sudah ikut-ikutan mengerubungi mereka dengan suara yang benar-benar bising. Darren dan Kyla sedang sibuk bicara soal model-model baju, dan Clark sempat-sempatnya menelepon pacarnya dipojok ruaangan.
       “Oi…” aku menghela nafas. “Kalian pulang saja sana!”

***

       “Aku sekarang wartawan.”
       Kata-kata yang membuatku menganga. Kyla mengatakan itu dengan senyum diwajahnya. Aku tahu sejak dulu ia bercita-cita menjadi diplomat. Tapi ternyata sekarang ia adalah seorang wartawan. Tapi ia mengatakan itu padaku dengan senyum yang tidak dibuat-buat. Ia mungkin menyukai pekerjaannya sekarang.
       “Aku akan menelepon teman-teman wartawanku dan melakukan interview. Nanti malam, kau harus menatap kamera dengan percaya diri. And say that you love Nicky.”
       Itu yang selanjutnya ia katakan.
       Dan sekarang aku sedang duduk disebuah café yang sengaja dikosongkan. Tepat sebulan setelah novel keduaku sudah kuselesaikan. Untuk mempersiapkan interview ini saja bisa dibilang sulit. Perlu beberapa orang yang membujukku melakukannya. Jujur, aku ketakutan.
       Nicky ada disebelahku. Kyla mengacungkan jempol dari kejauhan. Clark ada disebelahnya dengan wajah cemas. Dan handphoneku tidak berhenti bergetar karena Darren tidak berhenti mengirim SMS.
       Kemudian aku menatap beberapa wartawan didepanku dan Nicky. ada yang memegang kamera, alat perekam, sampai buku catatan. Nicky tersenyum kearahku seakan menyuruhku untuk tidak tegang. Aku menghela nafas.
       “Thank you for your time.” Kataku memulai. “Aku juga berterima kasih pada semua orang yang memberiku semangat. Aku meminta maaf pada seluruh fans Westlife yang tidak menyukaiku. Tapi malam ini aku rasa aku perlu mengatakan pada semuanya…”
       Aku menatap kamera.
       “I really love Nicky from the first time I met him in Baldoyle.” Kataku. “I wanna be with him, for a long time before he joined Westlife.”
       Nicky tersenyum.
       “I’ll live with Michelle no matter what happen.” Katanya. “I love her and I hope the fans will accept her and love her like they love Westlife. Because she’s the part of me. No matter what…Georgina has found someone better than me.”
       Tiba-tiba aku melihat Mark berlari masuk kedalam café.
       “Maaf telat…aku ketiduran.” Katanya.
       Para wartawan langsung memasang tampang bengong.
       “Ampun deh Marky…” Nicky menghela nafas. “Ini bukan acara lawak tahu. Kupikir kau tidak akan datang.”
       “Aku kan sudah minta maaf, Byrne.” Katanya bercanda. Lalu ia duduk disebelah Nicky dan menatap wartawan didepan kami satu persatu.
       “I’m here to say that I wanna see their happiness.” Mark tersenyum. “Nicky is my brother. And I know from the start that he loves Michelle.”
       Wajahku memerah.
       “Singkatnya begini…” Mark menyatukan tangan kanan dan kirinya membentuk kerucut. “Aku hanya pemeran kecil didalam alur yang mereka jalani. Pemain figuran tidak bisa terus-terusan ada didalam cerita. Jadi aku pamit dan memperkenalkan dua tokoh utama kita disini. tolong terima mereka bersama. Kalau tidak, buku cerita yang kalian pegang tidak akan bisa tertutup. Aku berani bersumpah, mereka benar-benar saling mencintai walaupun bertahun-tahun sudah berlalu.”
       “Sama sekali salah.” Tiba-tiba aku berkata sambil menatap mata Mark. “Kau sama sekali bukan pemeran figuran. Kau segalanya dalam cerita kami, Mark.”
       Mark terdiam, menatapku. Kemudian ia membentuk sebuah senyuman.
       “Terima kasih, Mark…” Nicky menatap Mark .
       Lagi-lagi Mark hanya terdiam dengan senyuman. Mungkin pria satu ini sedang sulit berkata-kata. Mengagumi keberhasilannya sendiri. Dalam senyumannya tersirat rasa lega. Ia menatap kearah lantai.
      “Setidaknya jangan bikin aku terharu didepan kamera dong.” Ia tertawa. “Malu, tahu.”

 
***

       Aku berlari sekencang-kencangnya setelah menutup dan mengunci pintu depan apartemenku. Lagi-lagi ponselku berbunyi. Sebenarnya aku malas mengangkatnya kalau tidak ingat Clark mungkin saja akan menjadikanku daging barbeque jika aku tidak mengangkat telepon darinya.
       “Hello Clark, aku sudah jalan tahu! Jangan terus-terusan meneleponku. Aku baru akan masuk lift.” Aku menutup telepon.
       Entah ada apa, yang jelas jantungku tidak bisa berhenti berdetak kencang seakan mendesak dadaku. Clark meneleponku dengan suara panik. Ia menyuruhku cepat-cepat bersiap sedangkan ia menunggu dengan mobilnya dibawah. Apapun yang terjadi, pasti itu adalah hal buruk. Nada bicara Clark membuatku down secara drastis. Empat hari sejak wawancara itu, dan hari ini mungkin adalah resultnya.
       Aku keluar dari lift dan langsung berlari lagi menuju pintu keluar. Aku bisa melihat mobil sedan putih Clark dan langsung melesat kesana. Aku membuka pintu depan dan langsung duduk disebelah Clark. Wajahnya tegang. Ia sama sekali tidak melirik kearahku dan langsung menginjak gas.
       “Clark. Jangan buat aku gila. Aku mohon beritahu aku sekarang. Ada apa?” tanyaku.
       “Diamlah!!” jerit Clark. “Aku juga hampir gila!”
       Aku langsung terdiam.
       Apa yang terjadi?
       “Kumohon siapkan hatimu, Michelle.” Ucapnya pelan.
       Aku menggigit bibirku. Menghela nafas.
       “Aku siap.” Kataku.
       “Akan kuberitahu kalau kita sudah sampai.” Clark memindahkan gigi.
       Aku mengangguk.
       Bahkan aku tidak berani membiarkan otakku berputar untuk memikirkan kemungkinan apapun. sudah pasti aku hampir gila karena ingin tahu apa yang terjadi. Yang jelas, aku rasa mungkin karirku sebagai penulis sudah sampai disini saja.
       Mobil Clark melewati sebuah toko buku. Ia memarkir mobilnya agak jauh dari toko buku itu. Lalu ia mematikan mesin mobilnya.
       “Ayo.” Ia membuka pintu mobil. Aku mengikutinya. Ia berjalan cepat kearah depan toko buku itu. “Tidak perlu masuk. Kau bisa melihatnya dari sini.”
       Aku berusaha memahami apa maksud Clark. Aku memandangi pintu kaca toko buku itu, lalu menatap kearah etelasenya. Beberapa novel diletakkan disana, dan aku menyadari semua novel yang diletakkan disana adalah novel dengan cover yang sama. Lalu kulihat sebuah spanduk disampingnya. Juga memamerkan cover novel yang sama. Kubaca tulisan didalam spanduk itu.
       ‘When I reach the shore by Michelle Myron’
       Lalu kubaca tulisan dibawahnya.
       ‘BEST SELLER’
       Aku tidak bisa mempercayai mataku. Aku memandangi etelase itu lama sekali. Lalu aku menatap Clark dengan wajah tidak percaya.
       “Surprise…” cengirnya.
       “Clark…” suaraku hampir tidak keluar. “Kau benar-benar sialan. Aku panik hingga rasanya akan mati, kau tahu…”
       Ia tertawa menanggapinya.
       “It’s impossible. How come?” aku menyentuh kaca etelase dan berharap ini bukan mimpi. Clark tersenyum sambil menepuk pundakku.
       “Apanya yang tidak mungkin?” katanya. “Sudah jelas novel pertamamu juga best seller. Sudah jelas, kau berhasil. Itu saja.”
       Aku tersenyum dengan airmata terselip dimataku.
       “Kau mau beli? Mumpung kita sudah disini.” Clark menatapku.
       Aku mengangguk. Clark membuka pintu toko buku. Aku berdiri didepan sebuah rak dan meraih satu novelku. Kutatap covernya sambil tersenyum.
       “Kau mau jadi apa, Michelle?” terngiang sebuah pertanyaan dari Nicky saat kami duduk didepan lapangan bola Plunkit High School. Saat kami masih sekolah, saat ia masih jauh dari jangkauanku.
       “Penulis terkenal...” jawabku saat itu. Penulis yang bukunya selalu dipajang di etelase sebagai best seller. Itu mimpiku sejak kecil.”
       “Mimpimu sudah tercapai kan?” tiba-tiba kurasakan sesosok tubuh memelukku dari belakang. Aku tidak akan pernah melupakan harum tubuhnya saat memelukku. Aku tahu, Nicky yang sedang berdiri dibelakangku. Mendekapku lembut disana. “I’m happy for you…honey.”
       Aku menunduk, lalu mengangguk. Sudah pasti Clark yang membuat Nicky tiba-tiba muncul disini. Mereka selalu tidak bisa ditebak. Aku menggenggam lengan Nicky yang melingkar ditubuhku.
       “Ini adalah buku kedua yang kupersembahkan untukmu.” Bisikku. “Novel keduamu.”
       “Aku bisa gila kalau kau terus-terusan menulis tentangku.” Katanya.
       “Sayangnya aku nggak akan berhenti.” Aku tersenyum.
       Pelukan Nicky terasa makin erat.
       “Oke, sudah cukup.” Clark menepuk pundak Nicky.
       “Kenapa kau harus mengganggu sih?!” ujarku kesal. “Padahal yang tadi bisa kujadikan bahan novel!”
       Tawa Nicky meledak mendengar gurauanku.
       “Kalau gitu, aku mau minum teh di apartemenmu.” Katanya.
       “Apa maksudmu dengan “Kalau gitu” ? dengan kata lain, sudah jelas kau mengusirku kan?” Clark menatap Nicky dengan dahi berkerut.
       “Karena aku baik, kau boleh ikut.” Cengir Nicky.
       “Itu cukup bagus.” Clark tersenyum.
       “Tapi Michelle naik mobilku.” Nicky langsung menarikku kearah meja kasir. Clark menghela nafas.
       “Pasangan bodoh…” bisiknya.
       Aku tidak tahu apa yang terjadi saat aku kembali ke apartemenku. Setidaknya aku belum tahu saat itu. Aku belum tahu ketika aku berdiri diambang pintu masuk apartemenku, disana diletakkan banyak amplop dan buket bunga. Aku belum tahu tulisan-tulisan apa yang tertulis disana. Aku belum tahu aku akan menahan tangis bahagiaku saat membacanya.
       Salah satu amplop itu berwarna ungu cerah. Susunan kata-kata tertera disana.
       ‘Supporting Nicky Byrne and Michelle Myron together.’
 
***
 
To Be Continued

      

Rabu, 10 Oktober 2012

The Purple Flower On That Day

Namanya Nicky Byrne, dan ia tahu semuanya tentangku.
Hanya dengan menatap kedua pasang bolamata hazel milikku, ia langsung tahu siapa namaku, ia tahu siapa laki-laki yang kusukai, ambisiku, masalaluku, kerisauanku, kebahagiaanku, penderitaanku, bahkan aku yakin ia tahu berapa diameter kepalaku. Tentu saja aku tidak suka.Rasanya seperti diintip. Aku tidak suka diintip karena memang aku punya banyak rahasia didalam kepalaku.
Tapi sebenarnya, walaupun tidak suka diintip, aku sendiri juga selalu mengintip. Aku selalu mengintip masa depan.Bukan karena keinginanku, aku bisa mengetahui apa yang akan terjadi di hari esok hanya lewat mimpiku, walaupun hanya beberapa kejadian yang kumimpikan.Bukankah menyebalkan hingga rasanya ingin memenggal kepala sendiri? Karena kemampuan aneh ini, aku jarang mendapat nilai jelek, tidak pernah lupa membawa payung, dan tidak akan salah dalam berpakaian.
Kau pikir ini menyenangkan?
Tidak untukku. Coba saja kau katakan pada temanmu kalau besok akan ada hujan, lalu itu benar-benar terjadi. Lalu dikemudian hari, katakanlah kucing peliharaannya akan mati dan itu benar-benar terjadi. Tidak ada keraguan lagi, aku dikenal sebagai orang aneh.
Tapi kuharap tidak untuk sekarang. Saat aku sudah menginjakkan kaki di Summerhill College Sligo, yang kuinginkan adalah aku akan dikenal sebagai gadis manis yang suka menulis cerita, puisi, atau lagu. Gadis yang membawa buku-buku sastra kemanapun ia pergi, atau gadis yang akan minum earl grey tea saat bersantai di apartemennya. Tapi, aku tahu itu terlalu muluk.
Aku membenci kemampuan aneh ini.
Seperti aku membenci tukang ngintip itu.

***

Langit mulai tertutup awan-awan hitam yang beriringan seakan ingin merampas matahari sore yang daritadi kunikmati. Angin berhembus pelan, menyentuh helai-helai rambut light brownku, suara dedaunan yang bergemerisik mulai terdengar. Aku melirik tasku, payung hijau toska sudah ada disana. Tapi aku enggan meraihnya. Aku berdiri didepan Summerhill seakan menunggu sesuatu. Wajahku mulai bersemu merah lagi. Aku tidak bisa berhenti tersenyum saat tahu ia masuk kampus yang sama denganku. Anehnya, aku belum melihatnya hari ini.
“Michelle!”
Aku mengingatkan diriku untuk tidak berteriak saat melihat ia berlari menuju kearahku. Laki-laki yang selalu kukagumi, laki-laki bermata indah dan memiliki senyuman yang meluluhkan, laki-laki yang sempurna dimataku, idolaku.
“Mark…” aku berkata tegang, lagi-lagi wajahku memanas. Aku tidak bisa tenang setiap ia ada di sekitarku. Apalagi sekarang ia sedang menatap mataku. “Ra, rasanya senang ya…bisa satu kampus.”
“Apaan sih?” ia tertawa sambil meninju lenganku pelan. “Kau kan sudah bilang begitu kemarin.”
Rasanya aku ingin mengutuk diriku saking malunya.
“Tapi, senang sih…” cengir Mark.“Walaupun kita nggak satu jurusan.”
“I, iya…” aku menatap lesung pipinya yang membuatnya berkali lipat makin manis.
Aku kagum pada Mark pertama kali saat melihat penampilannya bersama boybandnya di SMA ku. Aku suka semua personilnya. Tapi Mark yang paling membuatku tergila-gila. Walaupun mereka belum terkenal,aku sudah memajang poster mereka. Dan aku mencetak poster itu sendiri. Sudah pasti Mark tidak boleh tahu. Aku tidak mau fangirling didepannya. Karena itu aku bisa berteman baik dengannya, ia bahkan tidak tahu aku fans beratnya.
“Mau kuantar pulang?” ia tersenyum.
Sebenarnya, semalam aku bermimpi aku duduk di mobil Mark, maka dari itu aku menunggu didepan kampus dengan nervous. Aku tahu ia akan mengantarku pulang. Aku tahu…aku memang sedikit berharap sih.Tapi aku tidak mau menyebut diriku bertepuk sebelah tangan. Soalnya dia ya cuma idolaku.
“Bagaimana dengan pacarmu?” aku berbasa-basi.
“Apanya yang bagaimana? Itu nggak usah dipikirkan. Ayo cepat masuk ke mobilku sebelum hujan.” Mark menarik tanganku.Aku berharap waktu berhenti saja. Terus seperti ini selama-lamanya. Ia memegang tanganku dan tidak pernah melepasnya lagi.
Nyatanya, ia melepas tanganku sebelum kami sampai didepan mobilnya.
“Eh, sepertinya aku mau beli minuman dulu. What do you want to drink?” ia berjalan menuju mobilnya dan membuka pintu, meletakkan buku-bukunya didalam mobil. “Just sit in my car, I’ll be back.”
“Hmmm, aku ingin soft drink. Nanti uangnya pasti kuganti.” Kataku.
“Kaku amat sih. Aku bukan orang melarat kok. Kutraktir…okay, wait here.” Mark berjalan kearah berlawanan, aku duduk didalam mobilnya sambil sesekali melirik kearah jendela. Aku menatap setir mobilnya, joknya, bahkan beberapa tumpuk CD musik yang berantakan di dashboard. Aku ada didalam mobil orang yang kukagumi, aku tertawa-tawa sinting.
Eh?
Saat aku menatap kearah jendela lagi,aku melihat seorang laki-laki berdiri beberapa meter dari mobil Mark, dan matanya sedang menatap kearahku. Tatapannya terasa aneh, rasanya sekujur tubuhku menjadi dingin. Laki-laki itu berambut blonde dengan mata biru yang misterius. Angin menerpa rambut spike blondenya. Ia menatapku tanpa berkedip. Ia tidak membentuk segaris senyumpun. Anehnya, aku seperti membeku, tidak bisa melepaskan pandanganku darinya.
Aku tercekat saat melihatnya mendekat,ia berjalan menuju mobil Mark, berjalan kearahku dengan wajah putih kaku yang tidak terlihat menyenangkan. Aku menggenggam pegangan pintu dengan tangan dingin. Tiba-tiba aku merasa takut.
“M, Mark…kumohon cepatlah kembali…”bisikku.
Kenapa aku takut begini sih?
Kulihat ia menggerakkan tangannya seakan ingin meraih pintu mobil. Aku berusaha tidak peduli, kupalingkan wajahku. Tanpa kusadari tubuhku sudah gemetaran. Ia menyingkirkan tangannya, tidak jadi meraih pintu mobil, perlahan aku menatapnya. Bibirnya bergerak seperti mengucapkan sebuah kata.
“Wah, maaf ya menunggu lama!” jantungku berdegup kencang saat melihat Mark datang, membuka pintu mobil sambil membawa kantung plastik. Aku bernafas lega.
“Kenapa? Kau kelihatan pucat…” Mark mengangkat alis.
“La, laki-laki aneh itu…” aku berpaling lagi menuju jendela, dan laki-laki itu sudah tidak ada disana. Aku terbelalak.
“Laki-laki aneh?” Mark makin menaikkan alisnya.
“Hm, bukan apa-apa, lupakan saja.” Aku masih merasa aneh. Siapa dia? Dan yang lebih aneh, kenapa aku tidak memimpikan laki-laki itu semalam? Padahal hal menakutkan seperti itu pasti akan masuk kedalam mimpiku selama ini.
Yang paling aneh, adalah yang ia ucapkan barusan. Aku tidak bisa mendengar suaranya. Tapi aku bisa melihat gerak bibirnya. Dari yang kulihat¸ bibirnya membentuk sebuah nama.
“Michelle…” katanya.
***

“Are you Mark Feehily’s girlfriend?”
Pertanyaan itu membuatku hampir tersedak roti yang sedang kumakan. Aku juga hampir meremas kertas kosong didepanku.Siang itu aku sedang duduk di cafeteria bersama temanku yang kukenal baru-baru ini. Namanya Correta Coyle, ia satu jurusan denganku. Seperti namanya, Correta, nama irlandia yang berarti gadis kecil, ia memang bertubuh mungil dan berwajah kecil, tapi kedua matanya besar dan itu membuatku gemas. Ia terlihat seperti tokoh manga jepang. Hanya saja wajahnya wajah irlandia.
“Wh, what do you mean?!” ujarku dengan wajah merah. “No, I’m not! I’m his friend since we were in high school. He has girlfriend!”
“Eeeeeh? Dia punya pacar?!” Correta terdengar seperti protes. “Sayang banget…”
Ah…dia juga tertarik pada Mark. Nggak heran sih…
“Kau sendiri punya pacar nggak?” ia bertanya lagi.
“N. no…” jawabku jujur, menulis diatas kertas kosong didepanku.
“Pernah ditembak cowok?” ia melebarkan matanya yang dari awal sudah besar.
“Aduh…ini pertanyaan apa sih?” wajahku makin merah. “Pernah, waktu kecil.”
Tawa Correta meledak.
“Sepertinya kau harus memperhatikan penampilanmu deh, Michelle. Berarti saat masih kecil kau lebih cantik daripada sekarang ya?”
“Trims.” Kataku. Masih menggerakkan pena diatas kertas.
“Apa sih yang kau lakukan daritadi?”Correta mengangkat alis, tangannya mencoba meraih kertas didepanku.
“Writing a letter.” Aku menarik kertasitu menjauh dari jangkauan Correta.
“What letter?” Tanya Correta setelah menggerutu sesaat.
“Letter for my old friend.” Jawabku.“Walaupun aku nggak mengharapkan balasan.”
“Why not?”
“Aku selalu dilupakan teman lamaku.” Jawabku santai.
“Kalau begitu, aku nggak akan melupakanmu deh.” Cengir Correta.
“Trims.” Aku melipat kertas dan memasukkannya kedalam amplop.
Sesaat setelah bicara, aku terbelalak. Aku melihat laki-laki blonde misterius yang kemarin kulihat. Ia berdiri didepan cafeteria, menatapku lurus. Aku cepat-cepat memalingkan wajahku.
“Ah, I wanna go to the toilet.” Tiba-tiba Correta bangkit dari duduknya.
“D, don’t leave me alone! I, I’ll followyou.” Ucapku dengan wajah pucat.
“Tapi rotimu belum habis. Aku cuma sebentar kok.” Correta buru-buru berlari menuju toilet. Aku ikut bangkit dari dudukku, ingin menyusulnya, tapi sebuah tangan menahanku, tangan laki-laki itu menggenggam lenganku. Aku panik.
“Wh, who are you?!” jeritku.
“Michelle…” laki-laki itu tersenyum padaku untuk pertama kalinya, senyumnya membuatku luluh. Bibir tipisnya, tatapan dari mata birunya juga tiba-tiba saja meluluhkanku. Tapi darimana ia tahu namaku? Aku terpaku menatapnya.
“Kau Michelle kan?” ia berkata lagi. “Jangan takut padaku. I’m Nicky Byrne, satu jurusan denganmu.”
“Terus kau mau apa?” tanyaku, sudah mulai tenang. “Lagipula darimana kau tahu…”
“Aku tahu semuanya.” Ia tersenyum.“Jadi, apa kau memimpikanku semalam?”
Cukup, aku benar-benar takut sekarang.
“W, w, who are you…” aku hampir menangis saking takutnya. “Lepaskan aku…mimpi apanya, aku tidak mengenalmu.”
“Tapi kau selalu bermimpi kan?” ia menatapku serius.
“Bukan urusanmu.” Aku pucat. Kutarik lenganku sekuat tenaga, lalu aku berbalik badan.
“Michelle Meckenzie Myron, 19 tahun, ulang tahun 15 Juli, sempat tinggal di Baldoyle, tinggal di sebuah apartemen, golongan darah A, sedang berharap pada seseorang…”
“Cukup!!” jeritku takut.
“Aku sama denganmu, Michelle. Kau melihat masa depan dari mimpimu, dan aku bisa tahu segala hal tentang seseorang hanya dengan melihat matanya. Lalu kenapa kau harus takut padaku?”
“Mungkin kau pikir kau bisa berteman baik denganku karena kita punya kesamaan.” Tanpa sadar aku meremas amplop ditanganku. “Tapi aku kurang suka dengan kemampuanku dan kupikir lebih baik tidak berhubungan dengan orang sepertimu, sorry.”
Ia terdiam mendengar kata-kataku.
Aku memalingkan wajahku dan berbalik badan, menghela nafas dalam-dalam, mengumpulkan udara didadaku. Rasanya selama ada didepan orang itu, aku jadi punya masalah pernafasan. Aku menoleh sekali setelah berjalan beberapa langkah, ia masih berdiri ditempat tadi. Aku cepat-cepat melanjutkan langkahku, setengah berlari menuju toilet wanita. Saat aku menoleh sekali lagi, ia sudah pergi dari tempat semula. Aku bernafas lega.
***
Aku bangun seperti biasa di flatku. Kali ini aku bermimpi jalan-jalan. Makan di restoran dan nonton film di bioskop. Mimpi yang biasa saja. Dengan malas aku turun dari tempat tidur dan membuka tirai di jendela kamarku. Pagi musim semi yang cerah. Aku membuka jendela lebar-lebar. Rasa kantukku langsung hilang. Aku buru-buru meraih kertas dan pena. Kemudian aku menulis surat lagi dan memasukkannya ke amplop. Aku berjalan kearah lemari bajuku dan mengeluarkan sebuah kotak yang lumayan besar, lalu memasukkan surat itu kedalamnya. Aku terdiam menatap kedalam kotak itu. Kotak itu sudah penuh. Sudah lama aku berbuat tolol begini. Menulis surat dan menyimpannya sendiri seperti orang idiot. Surat untuk teman lamaku. Itu yang selalu kukatakan pada orang-orang.
“Should I stop?” gumamku pada diriku sendiri saat susah payah menutup kotak itu.
Begitu keluar dari gedung flat, aku terkena serangan jantung.
Laki-laki itu, Nicky Byrne, ada didepan sebuah mobil, seperti menunggu seseorang. Seharusnya aku sudah tahu siapa yang ia tunggu saat ia memanggilku. Aku buru-buru berbalik badan, masuk lagi kedalam. Ia mengejarku, menarik lenganku.
“Kalau kau tanya darimana aku tahu dimana kau tinggal, aku rasa aku sudah bilang kalau aku bisa membaca mata…”
“Aku nggak mau tahu.” Potongku cepat.“Aku tidak mau berurusan dengan penguntit.”
“Ah, kau habis menulis surat ya? Untuk siapa? Kau belum sarapan? Kau baru mau sarapan di restoran burger diseberang sana kan? Kalau begitu aku juga…”
“Berhenti mengintip!!” jeritku marah,menutup kedua mataku. “Jangan ganggu hari mingguku yang berharga! Pergi!! Aku tidak mau berurusan denganmu! Kau punya kuping kan?!”
“Hari yang cerah untuk hang out kan?” ia benar-benar menghiraukan omonganku.
“Memangnya kenapa?!”
“Ayo jalan-jalan denganku. Kita sarapan didepan dulu, lalu nonton film dan makan siang. Bosan kan kalau seharian didalam flat?” ia tersenyum. Senyum yang meluluhkan.
“Oh, kau benar-benar tuli ternyata!”ujarku. “Dengar ya, aku tidak mau pergi denganmu. Pokoknya aku tidak akan pernah mau pergi denganmu!!”
Semenit kemudian, aku sudah duduk didalam mobilnya.
“Michelle Myron…sebenarnya apa yang kau lakukan…” bisikku pada diriku sendiri.
Nicky membuka pintu mobil dan masuk kedalam membawa kantung kertas. “Nih, sarapanmu. Beef burger. Kita mau nonton di bioskop mana?”
Dengan enggan aku meraih kantung kertas itu.
“Terserah.” Aku menggigit burgerku.
Ia tertawa kecil. Tawa yang lagi-lagi menghangatkan tubuhku.
Kenapa? Kenapa aku mengikutinya? Kenapa ia seakan menghipnotisku? Dan kenapa aku tidak memimpikannya?
Damn it all, yang paling aneh kenapa tiba-tiba saat ia tersenyum atau tertawa aku merasa nyaman berada disisinya? Kalau tidak salah aku pernah bilang kalau aku benci padanya ya kan? Aku suka melihat wajahnya yang tampan. Padahal sebelumnya aku ketakutan setengah mati melihatnya. Dan lagi, harum tubuhnya tiba-tiba membuatku memikirkan hal-hal indah, entah kenapa. Dan yang membuatku jatuh makin dalam pada hal aneh di hatiku, ia bernyanyi didalam mobil. Dan suaranya…bahkan tidak bisa kuungkapkan dengan kata-kata. Husky, lembut, merdu, indah…aku sempat berpikir ingin mendengar suara itu sampai mati.
Tapi tentu saja itu hanya salah satu dari seribu ketololanku. Aku kan tidak tahu siapa orang ini! Aku sendiri masih belum percaya aku benar-benar menyambut ajakannya walaupun mati-matian menjaga image dengan gengsi tinggi.
Akhirnya kami benar-benar pergi berdua. Kami berputar-putar tanpa tujuan sambil menunggu bioskop buka. Aku memutuskan untuk menceritakan mimpi-mimpi anehku padanya. Ia tertawa saat aku bilang aku tidak pernah bermimpi tentangnya.
Nonton film dan makan siang dengan orang aneh yang baru kutemui beberapa hari yang lalu. Aku ini sebenarnya mikir apasih? Dan lagi setelah makan siang ia tidak mengantarku pulang dan malah membawaku ke sebuah taman.
“Hah? The park? Nggak ada tempat yang lebih asyik?” tanggapku malas.
“Memangnya kenapa?” ia berjalan menyusuri taman, aku mengikutinya. “Kau pikir aku mau mengajakmu foya-foya digame centre atau di pub?”
Aku menghela nafas. Kami duduk di kursi taman sambil menikmati angin yang berhembus.
“Lihat tuh, bunga yang tumbuh disana. Kau suka warna ungu kan?” Nicky menunjuk pada satu arah.
Terlihat bunga-bunga kecil berwarna ungu dengan warna kuning ditengahnya. Bunga-bunga itu tumbuh tanpa dedaunan, mereka berdiri sendiri, tumbuh langsung dari akarnya. Mataku berbinar menatap bunga-bunga itu. Cantik sekali.
“Waaaaaaaaaaaah!!” aku berlari menghampiri bunga-bunga itu.
“Crocus Vernus, bunga musim semi yang bisa tumbuh dengan liar dimana-mana, tapi yang ini sengaja ditanam di taman ini.” Kata Nicky sambil mengekor.
Aku memetik satu tangkai bunga Crocus itu.
“Jangan dipetik!” seru Nicky. “Ah, kau baru saja membunuhnya. Mati itu sakit lho, Michelle…”
“Berisik ah, habis bunga ini bagus banget.” Aku mengelus mahkota bunga itu perlahan.
“Ampun deh, kayak anak kecil…” Nicky tertawa disampingku, lagi-lagi tubuhku menghangat.
***
“Kenapa senyum-senyum hoi!” Correta menyenggol lenganku. “Mencurigakan!”
“Siapa yang senyum-senyum?” aku mengelak. Bukannya mendapat kepercayaan, aku justru mendapat tatapan curiga orang-orang disekitarku. Correta, Mark, dan tiga teman ngeband Mark. Shane Filan, Kian Egan dan Brian McFadden.
“Kenapa kalian menatapku begitu?!” aku panik.
“Wajahmu seperti orang yang sedang jalan-jalan ke surga tahu.” Mark tertawa. Disambut tawa teman-temannya. Wajahku merah padam. Uh, idiot. Kenapa aku begitu senang gara-gara laki-laki itu sih? Setelah berhari-hari menghabiskan waktu dengannya, aku jadi aneh begini. Dan lagi, saat aku duduk dengan canggung di bangku cafeteria ini, ia melambai kearahku dari kejauhan. Aku membalas lambaiannya dengan senyuman kecil. Takut orang-orang di sekitarku menyadarinya.
“Jangan-jangan kau sudah punya pacar?” tebak Shane.
“Oh, cinta memang biasa membuat orang jadi sinting.” Sahut Kian sambil tertawa.
“mmmuuuuuuu…” Brian memonyongkan bibirnya.
“Kalian berisik amat sih!!” Jeritku malu. “Aku nggak punya pacar!”
“Masa sih? Michelle kan cantik.” Mark tersenyum.
Wajahku makin panas. Lesung pipinya membuatku ingin teriak.
“Sudah ah! Aku mau pulang…” aku bangkit dari dudukku dan berjalan keluar cafeteria. Mereka masih saja menyorakiku darimeja mereka. Aku menghela nafas. Rasanya jantungku mau meledak. Semalam aku memang bermimpi wajahku merah padam dan aku mendengar suara-suara usil disekitarku. Tapi saat terjadi tetap saja menyebalkan.
“Michelle!” Nicky memanggilku dengan nada ceria. Hari ini ia memakai kemeja putih. Senyumnya membekukanku, seperti biasa. “Hari ini pergi lagi yuk! Kali ini kemana?”
Aku tidak bisa menolak. Senyumnya membuatku terhipnotis seperti biasa. Aku heran, kenapa aku tidak pernah sekalipun memimpikannya. Dan seperti hari-hari sebelumnya, kami pergi ke taman, lalu ke bioskop, minum teh sore dan ia mentraktirku makan malam. Ia selalu tahu film apa yang ingin kutonton dan makanan apa yang ingin kumakan.
Aku bahagia. Bahagia dengan hanya melihat senyumnya, aku merasa nyaman saat ia spontan menggandeng tanganku, jantungku berdebar saat ia menatap mataku, wajahku terasa panas saat ia mengelap mulutku yang belepotan makanan, apakah ini…
“Mmmmmmhhh!” ia meregangkan tubuhnya saat keluar dari restoran seafood. “Hari ini menyenangkan seperti biasa.”
Aku tersenyum, memang menyenangkan.
Ia menggenggam tanganku, lalu menatap lurus kearah mataku. Entah apa lagi yang ia baca dimataku. Tapi kemudian ia tersenyum. Senyum tulus yang tidak pernah kulihat pada laki-laki lain. Ia menarikku lebih dekat, lalu memeluk tubuhku. Anehnya aku tidak merespon, malam ini dingin, itu yang ada dikepalaku. Jadi tubuhku jauh lebih hangat dipelukannya. Lalu aku merasa ia mencium dahiku, mengelus lembut pipiku.
Tiba-tiba aku melepaskannya.
“Wait…wh, what are you doing?” aku tersadar.
“I love you.” Katanya singkat, dadaku terasa hangat, jantungku berdegup kencang. Tapi aku diam saja walaupun kebahagiaan merayap dihatiku.
“Kenapa?” tiba-tiba ia menunduk. Ia tidak mau menatap mataku lagi dan membaca apapun. “Sesaat lalu, saat aku menatap matamu, aku membaca bahwa perasaanmu sama denganku. Apa kali ini aku salah?”
Tidak…tentu saja tidak salah…
Tidak ada suara yang keluar dari mulutku. Aku mengingat-ingat nama Mark, laki-laki yang selama ini kukagumi. Tiba-tiba saja nama itu seakan hilang seperti salju yang mencair, lalu mengering.
“Aku ingin pulang…” hanya kata-kata ituyang kuucapkan.
Wajah Nicky yang rupawan seakan tertutup kegelapan malam. Ia tersenyum dan mengangguk.
Seharusnya aku mengungkapkan perasaanku padanya. Tapi kenapa? Kalau saja aku tahu…malam ini aku akan bermimpi Nicky pergi jauh dariku.
Pergi jauh, jauh, jauh hingga aku tidak bisa meraihnya lagi.
***
Aku sering mimpi buruk. Orang-orang yang mimpi buruk akan lega saat terbangun. Tapi itu sama sekali tidak berlaku untukku. Hal yang paling kutakuti adalah mimpi burukku. Karena mimpi itu sudah pasti akan terjadi. Dan malam ini aku mimpi buruk. Aku bisa melihat diriku berdiri di Summerhill College. Langit masih gelap. Suara dedaunan yang bergemerisik tidak enak didengar. Dan didepanku berdiri dia. Untuk pertama kalinya muncul dalam mimpiku. Nicky menatapku tersenyum, tapi wajahnya menyiratkan ekspresi sedih. Lalu ia berbalik badan dan menjauh dariku.
Aku tidak bisa meraihnya lagi. tubuhku terasa berat. Dan tiba-tiba aku terbangun dengan perasaan yang tidak pernah seburuk itu.
Matahari belum bertengger ditempat kejayaannya saat aku sudah sampai di Summerhill College. Aku terengah-engah. Aku langsung berlari kesini saat bangun tidur. Mimpiku…mimpi paling buruk seumur hidupku…yang akan jadi kenyataan…Nicky akan pergi dariku? Tapi aku baru saja menemukannya, menemukan hartaku. Walaupun pertemuan kami singkat, tapi aku menyadari perasaanku padanya. Aku seakan sudah mengenalnya bertahun-tahun.
“Nicky…” panggilku, suaraku hanya berupa desahan. Aku tahu mimpiku pasti akan jadi kenyataan. Aku tahu Nicky akan pergi dariku, maka dari itu tubuhku benar-benar lemas. Aku duduk di kursi taman kampus. Langit masih gelap. Aku tahu ini masih jam empat pagi. Aku tahu aku tidak akan bertemu dengannya sepagi ini. Aku tahu…
“Ada apa Michelle?” Aku menoleh cepat kearah sumber suara. Nicky berdiri di belakangku. “Kau memanggilku?”
Aku terbelalak tidak percaya. Sedang apa diadisini, sepagi ini?
“Jangan pergi…” kataku lirih.
Nicky mengulurkan tangannya, memegang sebuah bunga Crocus.
“Siapa yang akan pergi?” ia meletakkan bunga Crocus itu ditanganku. “Aku tidak akan pernah meninggalkanmu lagi.”
“Lagi?” aku melebarkan mataku.
“Kau mimpi buruk ya? Tenang saja, mimpimu nggak akan terjadi…” ia tersenyum. “Aku tidak akan pergi seperti waktu itu, aku janji.”
Ia terus tersenyum kearahku.
“I’m not leaving…”
“What do you mean?” aku pucat pasi.
“Kau suka bunga Crocus kan? Aku sudah membawakannya untukmu, tapi, ternyata dia layu…aku memetiknya. Padahal, seharusnya tidak boleh kupetik.”
Kupandangi bunga Crocus layu itu ditanganku. Jantungku berdebar, sesuatu menyentak dadaku hingga sakit. Airmataku tiba-tiba menghambur keluar dari kedua mataku, turun dengan cepat melewati kedua pipiku. Aku ingat kata-katanya waktu itu.
“Mati itu sakit lho, Michelle…"
***
Sepuluh tahun yang lalu, musim semi di Baldoyle, Dublin.

Siang itu aku menangis seperti biasa. Dibelakang sekolah, ditengah rerumputan yang tumbuh liar. Banyak sekali alasan kenapa aku menangis. Karena aku memang luar biasa cengeng. Kali ini aku menangis karena nilaiku jelek, dimarahi guru, dan bekalku dirampas anak berandal. Lalu disana, berdiri anak itu, menatapku dengan pandangan teduh.
“Nico…” rengekku.
“Jangan cengeng dong.” Ia berjongkok didepanku. “Ulurkan tanganmu.”
Aku mengulurkan tangan kananku. Ia meletakkan setangkai bunga berwarna ungu diatasnya.
“Waaaaah!” mataku berbinar. “Bagus!”
“Itu namanya bunga…ng, apa ya? Aku lupa.” Ia menggaruk kepalanya.
“Nico payah! Kau petik dimana?” tanyaku, menghapus sisa-sisa airmataku.
“Dimana-mana tumbuh kok. Sekarang kan musim semi sudah datang.” Ia tersenyum.
“Keren, Nico keren, anak umur sembilan tahun paling keren!”
“Apaan sih? Aku kan Cuma memetik bunga.”
Aku tertawa, aku bahagia memilikinya. Memiliki anak yang biasa kupanggil Nico itu. Ia satu-satunya hartaku. Aku hanya punya dia untuk meredam tangisku. Wajahnya bersemu merah menatapku. Aku makin tertawa melihat wajahnya merah.
“Kapan-kapan, petik lagi ya…” kataku.
“Pasti!” cengirnya. “Besok kupetik lagi!”
“Tapi Mum bilang besok akan hujan badai.” Aku menggeleng.
“Nggak apa-apa! Akan kuterjang badai begituan!” ia berkata yakin.
“Nico kereeeeen!” aku mengacak-acak rambut blondenya.
Ia menatapku serius.
“Hey, Michelle…” katanya.
“Apa?” sahutku.
“Aku suka kamu…”
Itu adalah kalimat terakhir yang kudengar darinya. Aku tidak bisa berhenti menangis saat aku tahu badai itu merenggut nyawanya. Seharusnya saat itu kubalas kalimat itu. Seharusnya aku tidak memintanya memetik bunga itu. Seharusnya aku tidak membaca tulisan diatas memo kecil yang ditemukan di saku celananya.
“Hari ini hujan badai, tapi aku tidak peduli, aku akan memetik Crocus ungu untuk Michelle.”
***

Ratusan surat yang bertahun-tahun kutulis dan kusimpan ternyata adalah surat untuk Nicky Byrne. Sejak kepergiannya aku tidak bisa berhenti menulis surat untuknya, aku tahu aku tidak bisa mengirim surat itu padanya. Jadi surat itu kusimpan hingga menumpuk.
Aku sama sekali tidak berpikir ia adalah Nico-ku. Wajah Nico yang kusayangi perlahan hilang dari memori otakku. Sudah terlalu lama aku tidak bertemu dengannya, hingga aku melupakan wajahnya.Tiba-tiba ia datang padaku, dengan sosok yang begitu indah. Aku bahagia bisa melihat sosok dewasanya yang sejak dulu ingin kulihat.
Setidaknya aku sudah tahu apa arti mimpiku. Nicky memang pergi dariku. Setidaknya sudah pergi dariku sejak dulu. Aku tidak mengerti apa yang terjadi. Aku terpuruk dan bahagia karena pertemuan ini, tapi aku juga memutuskan berusaha percaya padanya. Ia bilang ia tidak akan pergi lagi. Apa itu artinya ia benar-benar akan selalu ada disampingku?
Aku menatap keluar jendela kelas, ia ada disana, tersenyum sambil melambaikan tangan padaku. Aku tidak mengerti, aku tidak mengerti, aku tidak mengerti…aku berpaling pada buku tebal didepanku, akutakut tiba-tiba aku akan menangis lagi. Aku ingat saat aku ingin mengungkapkan perasaanku padanya, ia malah menyuruhku diam.
“Aku bilang aku bisa membaca mata siapapun. Sejak aku kecil aku sudah tahu apapun yang ada diotakmu. Aku tahu perasaan kita sama sejak dulu, makanya kita bertemu lagi. walaupun bukan pertemuan yang kita harapkan.”
Saat mata kuliah terakhir selesai, aku membawa buku-bukuku sambil tersenyum. Diluar kelas ia masih menungguku. Dalam tata bahasa yang benar, bisa dikatakan kalau aku ditunggui oleh hantu. Tapi itu bukan sebutan yang tepat baginya.
“Mau ke cafetaria dengan teman-temanmu dulu?” tanyanya.
“I’m not hungry. Lagipula mereka sudah berlari pulang daritadi.” Kataku.
“Hari ini kita kemana?” ia menatapku hangat.
Sebutlah aku sinting. Aku rela menjadi orang sinting selama ia terus ada disampingku dan tidak pergi lagi. sebutlah aku sinting karena aku ingin hidup bersamanya. Lagipula kalau setiap hari aku bermimpi, bukan tidak mungkin ternyata semua ini hanya mimpi kan? Mimpi atau kenyataan, aku sudah tidak peduli lagi. walaupun ini mimpi, ini adalah mimpi buruk yang indah.
Aku tersenyum.
“Kemana saja yang kau inginkan…”jawabku.

***

Sligo, 9th of March 1997

Nico, aku lumayan menikmati kuliahkuseperti biasa. Aku tidak pernah menulis lagu sebelumnya. Tapi tiba-tiba boyband Mark memintaku untuk menulis lirik lagu! Aku yakin aku sudah melakukan yang terbaik walaupun tentu saja aku bukan seorang pro. Ditengah proses penulisan, tiba-tiba aku ingin menulis surat lagi untukmu. Surat yang lagi-lagi akan memenuhi kotak penyimpananku.
Aku ingin bilang, terima kasih telah kembali untukku, terima kasih telah datang dan berjanji untuk selalu ada disisiku. Aku sebenarnya tidak terlalu mengerti apa yang terjadi pada hidupku.Tapi selama aku bisa melihat senyummu, kurasa aku tidak peduli pada apapun.
Kali ini aku mau bilang, aku tidak menginginkan bunga Crocus atau traktiran makan malam. Tapi tepatilah janjimu ya? Suatu saat aku yang akan pergi kesana. Sekarang aku sedang mencoba menyukai mimpi-mimpiku setiap malam.
Maaf jika aku terlalu terlambat mengatakannya. Aku tidak peduli walau kau bilang kau sudah membaca semuanya dimataku. Aku ingin mengatakannya sesering mungkin hingga kau bosan. Aku tidak ingin menyesal lagi.
I love you, and I always will.

With love,
Michelle Myron x


THE END

Selasa, 31 Juli 2012

The Blue Eyes of the Lighthouse (part 13)


*Michelle’s Pov*

       Dingin.
       Itu yang kurasakan saat ini. Bukan hanya karena salju awal januari yang turun dan suhu udara yang menusuk tulang. Rasa dingin yang membekukan terasa hingga jauh kedalam hatiku. Kutatap butiran salju yang turun dengan tenang dari balik kaca jendela mobil Clark.  Kudengarkan lagu Boyzone, no matter what yang mengalir dari radio mobil. Aku tidak mau menatap Clark. Karena aku tahu sesungguhnya ia tidak suka dengan keputusanku. hingga lagu habis, aku terus menatap kearah butiran salju yang mulai berhenti berjatuhan. Lagu berganti menjadi lagu Westlife, you make me feel. Aku buru-buru mematikan radio, kudengar desahan Clark yang berat.
       “Michelle…” panggilnya.
       “Please Clark. It’s my decision…” aku tidak menatap wajahnya.
       “Kau baru sembuh dari demam dua hari yang lalu, dan sekarang kau benar-benar mau terbang sendirian ke New York? Aku tahu ini berat untukmu. Tapi…”
       “Selama aku ada di Irlandia, aku akan menderita.” Aku memejamkan mataku. “Bukan hanya aku. Nicky…aku tidak sanggup melihat wajahnya saat aku bilang tidak bisa melanjutkan hubunganku dengannya. Tapi aku lebih tidak sanggup kalau hidupnya akan berantakan karena hidup bersama orang seperti aku.”
       “You know…menurutku kalian belum resmi putus. Putus itu harus disetujui dua pihak. Dan aku tahu dia tidak mau putus denganmu.” Kata Clark.
       “Lama kelamaan dia pasti capek menunggu.” Aku tersenyum. “Aku lebih baik pergi dari hidupnya. Setidaknya aku sudah terbiasa patah hati. Tapi Georgina belum tentu sudah melupakannya. Kalau aku jadi Georgina, aku pasti merasa ingin membunuh Michelle Myron. Si pengacau itu…”
       “Menurutku kau tidak usah memikirkan kata-kata pedas orang-orang tentangmu sampai bertindak sejauh ini…” Clark membelokkan mobilnya kedalam airport.
       “Orang-orang itu benar kok. I’m such a bitch…padahal aku bukan siapa-siapa. Tapi aku merebut waktu berharga dalam hidup Nicky dan Mark.” Aku menempelkan pipiku di kaca jendela. “I’m okay…I’m okay Clark. Aku janji aku akan mengetik novelku disana. Walaupun aku tidak jamin akan ada yang membeli novelku.”
       Clark memarkir mobil.
       “Kau yakin tidak mengabari Nicky?” Tanya Clark.
       Aku menggeleng.
       “Hmmm keberatan membantuku membawa koper?” aku menatapnya.
       Clark langsung turun dari mobilnya dan mengambil salah satu koperku dari jok belakang. Aku menyeret koperku yang lain. Kupakai syalku hingga menutupi mulutku, lalu kukenakan kacamata hitam. Clark berjalan disampingku. Saat ini ia yang selalu mendampingiku. Aku memeluknya saat ingin memasuki ruang tunggu.
       “Thanks, Clark…” bisikku ditelinganya.
       “Anything for you Michelle…” Ia tersenyum. “Kabari aku setiap hari, please?”
       “Okay.” Aku balas tersenyum, mengambil koper yang dipegang oleh Clark dan berjalan menjauh. Aku menghela nafas sambil berjalan.
       Apanya yang baik-baik saja?
       Jalanku melambat.
       Apanya yang baik-baik saja?
       Aku berusaha menahan airmata yang mendesak keluar. Ini adalah keputusan terberat dalam hidupku. Padahal aku dan Nicky sudah bisa hidup bersama. Tapi ternyata aku salah…aku tahu aku tidak boleh ada disisinya.
       Kuambil ponselku. Aku akan mengabari Darren. Aku selalu lupa mengabarinya. Walaupun ia sedang marah padaku, tapi ia tetap sahabatku. Dan aku tidak boleh lupa lagi mengabarinya. Aku akan mengabarinya kalau aku pergi. Aku akan mengabarinya kalau aku meninggalkan Nicky, laki-laki yang sangat kucintai. Aku akan mengabarinya tentang apapun. Walaupun ia mungkin tidak mau mengenalku lagi setelahnya. Aku akan mengabarinya, aku akan mengabarinya.
       Pesan terkirim.

***
       “Bisa tinggalkan aku sendiri dulu, Ed?”
       Edward Nolan, saat itu sedang duduk dibelakang kemudi dengan seatbelt yang masih terpasang, menatap pacarnya cemas.
       “Are you okay, Darren?” ia mengangkat alis. “Beberapa hari ini kau kelihatan suram.”
       “I’m okay…aku hanya perlu sedikit istirahat, dan aku sedang butuh sendirian.” Darren menunduk. “Bisa turunkan aku di kedai kopi terdekat?”
       “Kau nggak marah padaku kan?” Edward terlihat takut.
       Darren tersenyum menatap pacarnya.
       “Mana mungkin aku marah padamu, love…” katanya. “So, please?”
       “Michelle lagi? Karena dia?” Tanya Edward.
       Darren terdiam. Tidak bisa menjawab.
       “Kenapa kau bersahabat dengan orang seperti dia sih?” Edward menghela nafas. “Aku tidak bisa melihatmu begini terus.”
       “Tolong jangan hina dia. Orang-orang sudah bicara pedas, dan aku nggak bisa mendengar laki-laki yang kucintai menghina sahabatku.” Darren menyandarkan dirinya pada jok mobil. “Walaupun…walaupun aku sudah memarahinya habis-habisan...”
       Edward mengerem mobilnya didepan sebuah kedai kopi.
       “Sorry…” katanya. “Hubungi aku.”
       Darren keluar dari mobil Edward, masuk kedalam kedai kopi dan duduk disalah satu kursi. Disana ia mengeluarkan airmata yang sudah ditahannya daritadi. Ia berusaha tidak mengeluarkan suara. Tapi ia tidak tahan, tangan kanannya menggenggam tangan kirinya erat-erat. Ia tidak bisa melupakan SMS yang diterimanya beberapa hari yang lalu. SMS yang berisi kabar. Kabar yang selalu dinantinya dari sahabatnya. Tapi justru kabar yang datang tidak sesuai dengan harapannya sama sekali.
       “Michelle…I’m sorry…” Katanya lirih, menunduk, airmata berjatuhan ke pangkuannya. Ia sadar mulai banyak orang yang mendengar suara tangisnya. Ia berusaha menghapus airmatanya, mengambil nafas dalam-dalam. Ia kemudian memesan secangkir kopi untuk menghangatkan tubuhnya. Begitu melihat ke sekeliling, ia tahu ia sedang menjadi pusat perhatian. Dan ada satu orang yang menatapnya seksama. Ia mengangkat alis, berusaha mengenali orang itu.
       Seorang perempuan berambut blonde tipis yang diikat rapi, bolamatanya berwarna abu-abu. Kulitnya pucat. Ia merasa pernah bertemu dengan perempuan itu. Ia akhirnya yakin saat perempuan itu bangkit dari duduknya, berjalan melewati mejanya dan menuju pintu keluar.
       “Errr…wait!” Darren spontan berseru.
       Perempuan itu menoleh kearahnya.
       “Are you…”
       “Yes…I’m Kyla Brennon.”
       Darren melebarkan matanya.
       “You…”
       “I think we’ve met before…” Kyla menunduk, canggung menatap Darren. “I’m sorry, but can I…can I sit here?”
       Darren menggigit bibirnya, tentu saja…bertemu dengan orang yang sudah dibentaknya habis-habisan sama sekali tidak bagus. Apalagi orang itu dibencinya. Tapi ia tidak mungkin menolak saat karena ia yang memanggil Kyla tadi.
       “Well…” ia mengangkat bahu. “silahkan.”
       “Sebenarnya, aku mendengarmu menyebut nama Michelle barusan…” Kyla duduk didepan Darren. “Aku yakin kau orang yang kutemui di airport bersama Michelle…aku…”

       Airmata Kyla tiba-tiba jatuh.
       “Ehm, sorry…” ia buru-buru menghapusnya. Ia menunduk beberapa lama, menahan airmatanya. “Aku…dulu aku teman baik Michelle…”
       “I know…” kata Darren. “Michelle sudah menceritakan semuanya.”
       “Kau sudah tahu? Semuanya?” Kyla menatap Darren seakan memastikan.
       Darren mengangguk.
       “Sebenarnya aku kurang suka melihatmu. Tadi aku hanya ingin memastikan.” Darren memutuskan jujur.
       “Aku tahu.” Kyla tersenyum. “Kau pasti teman Michelle yang sangat baik. Aku memang lebih baik tidak masuk lagi kedalam hidupnya. Tapi aku tidak bisa tenang…aku selalu mengingatnya, bertahun-tahun.”
       Darren tidak menanggapi.
       “Apa yang kukatakan pada Michelle memang keterlaluan. Tapi, itu tidak seratus persen dari dalam hatiku. Aku sangat menyayanginya. Dia keren deh! Blazernya nggak pernah dikancingkan walaupun sudah diperingati guru berkali-kali.”
       Kyla tidak bisa menahan tangisnya.
       “Maaf…maafkan aku…” ia menghapus air matanya lagi. “Aku selalu menyukainya sampai sekarang. Aku membaca novelnya walaupun tidak bisa memujinya secara langsung. Aku yang sekarang bukan apa-apa kalau dibandingkan dengannya. Aku kaget setengah mati saat tahu ia pacaran sama Mark. Soalnya aku suka Westlife. Aku suka banget sama Shane! Dia keren banget! Suaranya itu ya…pokoknya luar biasa!!”
       Darren bengong.
       “Ng, maaf…” Kyla menggaruk kepalanya.
       Darren menunduk. Tidak bisa menahan tawanya.
       “Hmmpp…hahahahahaha!” Ia memegangi perutnya. “Nggak heran kalau kau cocok sama Michelle. Kalian nggak beda jauh!”
       Wajah Kyla merah padam.
       “Jadi, kau benar-benar menyesal?” Darren mengangkat alis.
       “Iya…tapi aku nggak berharap bisa jadi temannya lagi…aku hanya, kangen padanya. Ingin tahu bagaimana kabarnya.” Kyla buru-buru berkata. “Aku tahu aku pantas dibenci olehnya.”
       “Oh ya? Sepertinya dia nggak membencimu.” Darren mulai bisa tersenyum pada orang didepannya. “Justru aku yang benci pada sosokmu yang ia ceritakan.”
       Hening beberapa lama.
       “She’s in New York now…” Darren menghela nafas.
       Kyla terbelalak.
       Wajah Darren kembali suram, beban dipunggungnya kembali terasa.
       “Dia tidak tahan dengan ucapan orang-orang tentangnya. Ia memutuskan untuk meninggalkan Nicky. Ia takut akan merusak hidup Nicky. Padahal aku tahu…She loves Nicky so much, more than anything, from long time ago.”
       “She really loves Nicky?” Kyla menatap Darren.
       “She loves him, with all of her heart.” Kata Darren pelan. “Mark isn’t her true love. Aku sempat marah padanya karena dia selalu mengambil keputusan tergesa-gesa. Tapi, aku kemudian berpikir, kalau aku jadi dia, aku pasti akan bertindak bodoh seperti dia. Aku akan mengambil keputusan yang sama dengannya. Aku sangat menyesal...aku menyesal tidak menepuk pundaknya saat dia dalam kesulitan begini. Sekarang ia pergi ke New York dan tidak ingin diganggu siapapun.”
       Darren menahan tangisnya.
       “Dia bilang aku tidak perlu khawatir…padahal, mana bisa…” Ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya. “Dia sama sekali tidak mengabari Nicky, Nicky seperti orang gila sekarang. Meneleponku berkali-kali dengan suara frustasi. Tapi dia melarangku untuk memberitahu Nicky. Aku bingung aku harus bagaimana. Aku terus-terusan seperti orang bodoh berbohong pada Nicky, berkata aku tidak tahu apa-apa…”
       Kyla tidak bersuara. Mata abu-abunya menatap Darren lurus.
       “Dia bertindak bodoh lagi…selalu saja bertindak tidak sesuai dengan kata hatinya.” Darren masih menutup wajahnya. “Tapi aku tidak bisa apa-apa…”
       “Kurasa kau bisa.” Kyla tersenyum. “Mengingat kau membentakku di airport waktu itu, aku tahu kau sahabat yang akan mati-matian membela sahabatnya. Kalau waktu itu kau bisa, kenapa sekarang tidak?”
       Darren menatap Kyla beberapa lama. Lalu ia berkata dengan tegas.
       “Kalau begitu, tolong aku…”

       ***
      
       Winter di Amerika lebih baik daripada di Irlandia. Itu yang kusimpulkan saat aku sudah berhari-hari memutuskan untuk stay disebuah hotel di New York, aku agak ragu kalau harus menyewa apartemen. Laptopku masih dalam keadaan mati berhari-hari, daritadi aku memandangi lukisan diatas tempat tidur kamar hotel yang kutempati. Pemandangan lautan dengan mercusuar yang menjulang disana. Lighthouse. Aku mengingat kenapa aku menyebut Nicky dengan panggilan itu. Ya, karena ia adalah cahaya yang menyinariku dalam gelap. Segelap apapun, ketika aku membayangkan wajahnya, muncul cahaya yang entah datang darimana.                                            
       Tapi sekarang, tidak ada lagi cahaya. Sejak aku tahu aku harus meninggalkannya. Bahkan secercah cahaya dalam kamar yang gelap ini ketika aku mematikan lampu terakhir dalam kamar. Gelap…aku menuju tempat tidur, membaringkan tubuhku, kemudian aku menyalakan lampu kecil disisi tempat tidur.
       “It’s so dark, isn’t it?” aku bicara sendiri. Aku melirik jam di dinding hotel. Malam sudah sangat larut. Hampir jam dua belas malam. Aku bahkan tidak bisa memejamkan mataku. Sama saja seperti malam-malam sebelumnya. Mataku akan terbuka lebar hingga pagi-pagi buta, kemudian aku akan tertidur dengan letih karena semalaman memikirkan terlalu banyak hal. Seharusnya aku tidak usah dilahirkan saja. Kalau tahu jadinya begini, lebih baik aku…
        “TING TONG”
        Mataku melebar. Aku terlonjak kaget mendengar suara bel kamarku. Tunggu dulu…ini tengah malam! Siapa yang datang? Aku duduk di tempat tidur, merinding. Tidak mungkin ada orang yang datang jam segini. Petugas hotel sekalipun. Aku jadi ingat cerita seram yang pernah Darren ceritakan padaku.
       Bel berbunyi lagi.
       Penguntit?
       Aku mencari-cari alat yang bisa dipakai untuk membela diri. Akhirnya kuambil sepatu heelsku. Lumayan. Aku menuju pintu depan dengan keringat dingin. Ketika bel berbunyi pada yang ketiga kalinya, tangan kananku sudah memegang kenop pintu. Aku mengintip keluar, darahku seakan tidak mengalir, aku tidak bisa mempercayai mataku. Apa aku berhalusinasi? Atau aku benar-benar diikuti hantu? Jangan-jangan aku bermimpi? Jika mataku masih normal, yang ada diluar sana benar-benar Georgina Ahern.
       Georgina Ahern…
       Nggak mungkin…
       Kubuka pintu didepanku dengan berdebar-debar. Aku berdiri didepan Georgina-khayalan ini dengan masih memegang sepatu heels. Ia menatap lurus kearah mataku, sudah lama aku tidak melihatnya. Tapi tentu saja ia masih membuatku terpesona dengan sosoknya.
       “Ngapain kau bawa heels?”
       Aku melirik heels di tangan kiriku. Buru-buru kujatuhkan heels itu ke lantai.
       “Gina?” suaraku benar-benar pelan. “H, how come…”
       “Aku punya dua tangan, Michelle Myron.” Katanya tegas.
       Aku hanya terdiam tidak mengerti. Kurasa wajahku pucat. Ini Amerika! Kalau aku ada di pinggiran Dublin sih aku masih bisa menganggap ini logis.
       Darimana dia…..
       “Aku masih punya satu tangan untuk menarik Nicky kembali ke sisiku. Dan aku masih punya satu tangan untuk menutup matanya, agar dia tidak melihatmu lagi.” Katanya. “Aku masih punya dua tangan. Kau yakin kau akan membiarkanku menggunakan kedua tanganku?”
       Aku benar-benar membisu.
       “Aku menyerah bukan untuk hal sekonyol ini, Michelle.” Georgina menggelengkan kepalanya. “Aku menyerah dan memberikan Nicky padamu karena dia sangat sayang padamu. Aku tidak meninggalkannya untuk dikhianati seperti ini olehmu. Kau pikir apa yang terjadi padanya setelah kau meninggalkannya?”
       “A, apa yang terjadi?”
       “Kau lihat saja sendiri, dia menunggumu dibawah.” Kata Georgina.
       “I, impossible…” aku berjalan melewati Georgina. Sebenarnya ada apa? Aku masuk kedalam lift dan menekan tombol ke lantai paling bawah. Nicky, ada di New York? Untuk menghampiriku? Tapi, bagaimana bisa? Yang tahu keberadaanku hanya Clark dan Darren. Itupun hanya Clark yang tahu pasti aku ada dimana. Nicky menungguku dibawah? Itu kan mustahil…
       Pintu lift terbuka, baru saja aku ingin melangkahkan kaki keluar, jantungku diserang lagi dengan pemandangan tidak masuk akal. Aku melihat Nicky berdiri didepan lift, menatapku dengan tatapan yang tak bisa kutebak. Ia melangkah masuk kedalam lift, menekan tombol disamping pintu lift, dan pintu bergeser tertutup.
       “Wait! Nicky, what are you doing? Ini kan lift! Lalu kenapa kau bisa…”
       “Hotel ini ada 50 lantai ya…” gumamnya memotong omonganku. Aku menganga saat ia menekan tombol angka 50 disamping pintu lift.
       “Ni…cky…”
       “Nggak buruk juga…” wajahnya agak terlihat pucat. “Seperti naik kapal…agak kangen juga. Berapa lama ya aku tidak naik lift…”
       Aku tidak bisa berkata-kata. Ia menatap mataku.
       “Kalau untukmu, aku tidak keberatan ada diatas benda ini sekarang. Tapi…Kenapa kau pergi, Michelle?” tanyanya. “Aku benar-benar jadi sinting gara-gara kau.”
       “Aku…” aku menunduk. “Tidak pantas untukmu.”
       “Kau mendengarkan semua yang orang-orang katakan” katanya. “Padahal mereka tidak tahu apa-apa.  Padahal mereka tidak tahu apa yang kita rasakan. Setelah bisa berdiri disisimu, apa pantas aku membiarkanmu pergi lagi? Kumohon. Jangan. Dengarkan. Mereka.”
       Nicky menutup kedua telingaku dengan kedua tangannya.
       “Jangan dengarkan mereka lagi, dengarkan aku baik-baik. Hanya aku yang boleh kau dengar.” Ia menatapku dalam-dalam. “Aku janji akan melakukan apapun agar para fans bisa menerimamu. Aku janji aku akan konsisten mulai sekarang. Aku memilihmu, dan selamanyapun akan terus memilihmu. Aku janji aku akan berusaha tidak egois seperti sebelumnya. Aku janji nggak akan membiarkanmu pergi untuk alasan bodoh, kau memang bodoh seperti biasanya.”
       Ia menyingkirkan kedua tangannya dari telingaku.
       “Dan yang harus kau dengar dengan jelas sekarang…dengarkan aku baik-baik.” Ia menghela nafas. “I love you, more than you can imagine…”
       Aku tidak bisa menahan airmataku.
       Pintu lift terbuka. Kami sampai di lantai 50. Jendela kaca yang sangat besar terlihat,  menampilkan pemandangan New York dari ketinggian lantai 50.
       “Do you love me?” tanyanya tanpa menatap kearahku. Pandangannya mengarah pada pemandangan indah itu. Kami bahkan bisa melihat patung liberty dari sini.
       “You’ve known what my answer is.” Tanggapku.
       “Kalau begitu, kita bisa menghadapinya kan?” Ia tersenyum. Senyumnya bahkan lebih indah daripada pemandangan diluar sana. Aku tidak bisa memalingkan wajahku. “Say it to the world, it’s my only wish.”
       Aku mengangguk.
       “Forgive me…” gumamku.
       Nicky hanya tersenyum menanggapinya. Tiba-tiba aku mendengar suara familiar.
       “Finding someone you love and who loves you back is a miracle.”
       Aku menoleh kearah belakang. Aku mendapat serangan jantung ketiga saat kulihat Darren, Kyla dan Clark berdiri di belakangku. Dan yang tadi kudengar adalah suara Kyla. Ia tersenyum kearahku.
       “It’s your quote, I’ve read your novel.” Kata Kyla. “You’ve found a miracle, it sucks if you throw it away, Michelle.”
       Aku benar-benar menangis sekarang.
       “Ini semua rencana mereka berdua.” Clark menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Aku menemukan hobi baru, sekarang aku hobi membongkar rahasiamu.”
       Darren dan Kyla tertawa.
       “Sekarang, guys…” Nicky menghela nafas panjang. “Bagaimana caranya aku turun dari sini?”
***