Rabu, 27 Juni 2012

The Blue Eyes of the Lighthouse (part 5)


       Depresi
       Satu-satunya kata yang cocok denganku. Aku menatap monitor komputerku. Sebenarnya apa yang membuat tiga penerbit tidak menerima naskah novelku? Tiga penerbit. Apa tulisanku sejelek itu? Tiga-tiganya pun berkata naskahku belum matang untuk dijadikan novel. Apa sih maksud mereka? Aku merasa gagal dalam usaha pencapaian cita-citaku. Aku teringat Nicky yang gagal jadi pemain sepak bola. Aku mengerti perasaannya sekarang. aku menghela nafas panjang, lalu menyalakan televisi untuk menghilangkan pening di kepalaku.
       Lagi-lagi Westlife.
       Saat aku menyalakan televisiku, aku langsung melihat liputan tentang boyband baru bernama Westlife dan kesuksesan album pertamanya. Ya, Nicky salah satu anggotanya. Ia lolos audisi seleksi bersama satu orang dari Dublin, Brian McFadden. Kulihat Nicky, wajahnya bahagia sekali disana. Tentu saja, Mimpinya yang lain sudah terwujud.
       Seluruh dunia sudah mengenal mereka sekarang. perlu diakui aku juga suka lagu-lagu mereka. Aku suka melihat wajah-wajah personilnya, aku bisa disebut salah satu fans mereka. Dan sampai sekarangpun, aku tidak berhenti mencintai Nicky. Aku justru makin gila. Melihatnya bernyanyi layaknya seorang idola justru membuatku makin jatuh cinta. Kapan aku akan bisa melupakannya? Entahlah...aku menghela nafas sambil meraih ponselku yang daritadi berbunyi. Jantungku berdentum kencang. Telepon dari Nicky.
       “Hello?” aku berkata takut-takut.
       “Hi, Michelle...lama tidak bertemu denganmu...” katanya, masih dengan suara yang kusukai. “How are you?”
       Aku menahan tangis. Aku sangat merindukannya, tapi tidak mungkin kukatakan. Aku sulit bernafas saat aku menjawab “I’m fine”
       “Michelle, aku ingin berterimakasih padamu.” Katanya. “Kalau bukan karena kau, mungkin aku nggak akan begini sekarang. kalau kau tidak menyuruhku untuk beralih pada dunia menyanyi, mungkin aku bukan siapa-siapa sekarang. aku beruntung mengenalmu. Thank you so much...”
       Aku mati-matian menahan tangis. Aku tidak bisa menjawab apa-apa.
       “Michelle, nanti malam kau mau dinner dengan Westlife?” tanya Nicky.
       Aku melotot.
       “Sorry?” aku tidak percaya.
       “Makan malam di Artane restaurant. Kau tahu tempatnya?aku hanya bisa melakukan ini untuk berterimakasih. Kau bisa ketemu Shane Filan, Mark Feehily, Kian Egan dan Brian McFadden yang dipuja cewek-cewek.” Nicky tertawa. “Wah, kau berdosa pada gadis-gadis di seluruh dunia kalau kau menolak”
       Aku mematung.
       “Pokoknya kami tunggu kau disana jam tujuh!sudah ya, ada fans yang ingin minta foto. Kalau kau nggak tahu tempatnya, sms aku secepatnya. Bye!” Nicky menutup telepon.
       Yang benar saja...
       Aku langsung kalang kabut. Aku langsung mandi, menggosok badanku sebersih mungkin, menyikat gigiku berkali-kali, memakai baju terbaikku, memakai make up sebagus mungkin, memilih sepatu dengan susah payah, memberi rambutku conditioner, menyisirnya serapi mungkin, memilih aksesoris yang akan kupakai, dan menatap cermin berkali-kali. Mimpi apa aku semalam...
       Aku memakai parfum  berkali-kali, lalu melirik jam tangan. Jam enam lewat tiga puluh. Rupanya aku kelamaan dandan. Aku langsung panik. Aku meraih tasku dan cepat-cepat berlari keluar rumah, lalu mencari taksi. Aku duduk ditaksi dengan jantung yang sudah tidak jelas lagi detaknya. Seperti ingin berhenti berdetak. Walaupun Nicky mengenalku, aku nggak berpikir sampai kesini. Aku nggak berpikir akan makan malam bersama Westlife. Makan malam bersama west..........
       Aku merosot di jok mobil. Aku ingin teriak.
       Lagipula, aku bisa melepas kerinduanku pada Nicky. Aku bahagia bisa bertemu lagi dengannya. Aku tidak henti-hentinya tersenyum. Aku bahagia hingga ingin menangis! Ketika melihat restoran yang kutuju, tubuhku makin kaku. Aku keluar dari taksi dan mengatur nafasku. Sebaik mungkin.
       Aku masuk kedalam restoran. Mencari-cari Nicky dengan bolamataku. Aku dikagetkan dengan tepukan dipundakku. Aku menoleh dan melihat Nicky tersenyum dibelakangku. Tuhan...wajah Nicky masih seperti yang kukenal, matanya...kedua mata birunya menatapku seperti dulu. Kedua mata yang kupuja. Senyumnya semanis dulu, hanya saja ada aura berbeda yang melekat padanya. Itu pasti karena ia sudah jadi orang terkenal sekarang. baunya harum sekali. Rambut blonde spikenya terlihat keren. Ia sangat tampan. Bahkan lebih tampan dari terakhir kali aku bertemu dengannya.
       Aku merasa bermimpi saat ia memelukku. Iya, ia memelukku erat-erat. Aku terkejut. Tapi aku merasa hangat dipelukannya, hangat dan harum. Aku nyaris menangis. Kukuasai diriku. Aku tidak boleh berharap. Tidak boleh...tidak boleh...aku sulit bernafas. Bahkan setelah ia melepas pelukannya.
       “Lama nggak ketemu ya?” cengirnya. “teman-temanku ada disebelah sana...”
       “Hahaha...iya” tanggapku, jantungku berdetak tidak karuan. Aku menatap kearah sebuah meja. Disana terlihat empat cowok yang...God...mereka tampan sekali. Mark Feehily, ia pemuda yang sangat cool, berambut dark brown dan berbolamata biru jernih, bibirnya kemerahan, senyumnya manis sekali. Dan aku tidak percaya aku sedang menjabat tangannya. Ia tersenyum ramah padaku.
       Setelah itu aku melihat Shane Filan, penyanyi leader didalam Westlife. Bolamatanya hazel seperti bolamataku. Rambutnya dark brown seperti Mark. Ia terlihat sangat cool dengan baju tanpa lengan. Kian Egan, rambut blondenya ditata sangat menarik, aku suka poninya, bolamatanya biru dan ia punya bekas luka dipipinya. Terakhir, aku melihat Brian McFadden. Wajahnya jenaka, dagunya belah, rambutnya blonde dan bolamatanya juga biru. Aku suka senyumnya, ia terlihat lucu.
       “Gosh...shes’s beautiful, Nick” kata Kian, aku tidak percaya mendengar kata-katanya.
       “Ha! Dasar playboy! Mau berapa cewek sih yang kau pacari?!” Shane menonjok lengan Kian. “Nice to meet you Michelle. Santai saja ya. Kalau kau teman Nicky, berarti kau juga teman kami. Kita bisa bertemu kapanpun kalau sempat”
       Aku perlu mengorek telingaku.
       Aku ingin tertawa melihat Brian membuat berbagai macam ekspresi aneh. Lalu aku menatap Mark, Ia lebih banyak diam. Parasnya cool, tapi aku bisa melihat wajahnya bersemu merah saat kami bertatapan.
       “So, what’s your job, Michelle?” tanya Brian sambil memainkan garpu ditangannya.
       “Failed writer...” jawabku. Aku tidak bermaksud melawak, tapi Brian malah tertawa mendengar jawabanku.
       “What do you mean with that?” tanyanya.
       “Sudah tiga penerbit menolak naskah novelku. Aku bekerja sambilan di toko buku. Mengumpulkan uang sedikit-sedikit...” kataku jujur.
       Sunyi.
       “Jadi, kalian mau pesan apa?” Nicky mengalihkan pembicaraan. Menatap buku menu. “Aku sedang ingin makan spagetti, kalian apa?”
       “Aku salad...” ucapku. Yang lain menyebutkan pesanannya ketika waiter menghampiri meja kami. Mereka benar-benar lucu, memesan makanan saja ributnya setengah mati. Aku tertawa-tawa saja melihat kelakuan mereka. Kami makan sambil ngobrol. Membicarakan apa saja. Tentang Westlife yang akan berangkat world tour dua minggu lagi, tentang cerita-cerita lucu selama mereka bernyanyi di panggung, dan Nicky menanyakan Darren, aku sesak kembali saat mengingat Darren. Ia pindah ke London untuk menjalankan usaha butiknya. Aku ingat sekeras apa aku menangis saat kami berpisah.
       “Katanya pulang world tour, Nicky akan bertunangan dengan Georgina.” Shane tersenyum. “Bagaimana sudah fix kan?”
       Aku berdebar.
       “Ah...itu...” Wajah Nicky memerah. “Yah, doakan saja”
       Seketika hatiku seakan dibanting keras-keras. Aku berusaha untuk tidak gemetar. Hatiku sakit sekali. Kenapa? Bukankah aku sudah tahu hari itu akan datang? Seketika nafsu makanku hilang. Aku menahan airmataku dan lama-lama aku tidak tahan. Aku meletakkan alat makanku dan menatap mereka berlima.
       “Aku nggak enak badan. Aku pulang dulu ya, lads?” Kataku sambil menunduk. Mengambil tasku.
       “Are you okay?” Nicky mengangkat alis.
       Aku mengangguk.
       “Kuantar kau pulang ya?” tiba-tiba Mark bangkit dari duduknya. Aku agak kaget. Diantar pulang oleh Mark Feehily? Aku pasti mimpi. Aku cepat-cepat menggeleng. Tidak mau merepotkannya. “Kumohon biarkan aku mengantarmu pulang...” Kata Mark lagi. Ia menatapku serius. Belum sempat aku membalas ucapannya, ia cepat-cepat menarik tanganku keluar restoran. Aku kaget setengah mati.
       “Mark...Mark!apa yang kau pikirkan? Aku bisa pulang sendiri!” ujarku, merasa tidak enak. Aku melepas genggaman Mark.
       “Mana bisa aku membiarkan gadis sepertimu pulang sendirian dengan keadaan kurang sehat?” Mark menatapku serius. “Aku benar-benar nggak keberatan.”
       Aku terdiam. Lalu menggeleng. Aku tidak mau menerima kebaikan Mark ditengah keegoisanku dan kecemburuanku yang luar biasa. Aku memegang pundak Mark, tersenyum padanya. “Nggak usah...” kataku pelan. Aku langsung memanggil taksi dan masuk kedalamnya. Mark terus menatap taksi yang kunaiki hingga hilang dari pandangannya. Aku merasa bersalah pada Mark tapi aku benar-benar tidak kuat lagi. Aku menangis sepuasnya didalam taksi.
       Menangisi orang itu lagi. Lagi dan lagi hingga aku bosan. Nicky, sebentar lagi ia bertunangan dengan Georgina. Seharusnya aku tahu. Seharusnya aku nggak menangis dan berbuat bodoh. Seharusnya sekarang aku masih duduk di restoran bersama Westlife dan memberi Nicky selamat. Tapi hatiku menolak. Aku tidak mau menangis didepan mereka. Bodoh sekali kalau aku sampai menangis sedangkan mereka menatapku keheranan. Jadi aku pergi begitu saja.
       Sudah bertahun-tahun aku menyimpan cinta yang percuma ini. Aku terus memikirkan Nicky. Memikirkan semua yang ada pada dirinya. Tapi aku bingung, diantara ribuan bayangan tentang Nicky, terselip satu wajah ditengahnya.
       Mark.

***

       “Really?!” Aku berteriak tidak percaya.
       “Yeah Ms. Myron...kami suka naskah novel anda. Kami harap kami bisa menerbitkannya secepatnya”
       Aku seakan bermimpi. Itu pembicaraan yang sangat kuingat tadi pagi di telepon. Akhirnya aku berhasil menarik perhatian penerbit keempat setelah nyaris patah semangat. Aku sudah menyusun jadwal pertemuanku dengan penerbit itu. Aku turun kebawah, ke ruang keluarga dan memekuk Mum yang sedang menonton televisi erat-erat. Ia terbingung-bingung melihat wajahku yang sudah berminggu-minggu suram seketika menjadi sangat cerah.
       “What’s going on?” tanyanya heran.
       “Mum, jangan heran ya kalau tiba-tiba saat kau nonton TV dan tiba-tiba anakmu ini muncul sebagai orang terkenal...” kataku agak melunjak. “Aku berhasil Mum...novelku akan diterbitkan!”
       Mum tersenyum senang mendengarnya.
       “I know that you can dear...” kata Mum. “You’ll be the best writer in the future”
       Saat ini kami menjadi sepasang ibu dan anak paling berlebihan diseluruh dunia. Tapi kemudian Mum menatapku serius dengan alis berkerut.
       “Tapi Mum belum membaca naskahmu sama sekali...” katanya. “Selama ini kau hanya ribut soal novel. Tapi ceritanya saja kau tidak memberitahunya sama sekali”
       Sunyi.
       “Aku menulis love story...” wajahku bersemu merah.
       Wajah Mum berubah menjadi wajah mencibir.
       “Oh...itu sebabnya kau berubah jadi gadis rapi?” Ia mengangkat alis.
       Aku diam saja. Mum tidak tahu hatiku sudah terbanting-banting oleh laki-laki yang kutulis dalam novelku dengan nama samaran. Mum mematikan TV dan berjalan menuju dapur. Pasti ia mau membuat kue. Aku tahu kebiasaannya kalau sedang senang. Aku menyusulnya ke dapur.
       “Kau tahu Westlife kan?” tanya Mum tiba-tiba.
       Aku nyaris memecahkan mangkuk mendengar pertanyaan Mum.     
       “Yeah, of course. I met them some weeks ago” kataku jujur. Tapi Mum justru tertawa-tawa sinting menanggapinya. sepertinya ia tidak percaya. Biarkan sajalah. Siapa yang minta dia percaya? Mum nggak tahu apa-apa. Bahkan ia tidak tahu salah satu personil Westlife adalah tetangganya sendiri.
       “I just love their songs...” kata mum, mengambil beberapa butir telur. “Personilnya yang namanya Mark Feehily itu ganteng”
       Aku menahan tawaku. Mum memang selalu melirik cowok ganteng. Siapapun. Penyanyi, aktor, bahkan orang lewat sekalipun. Mum pasti akan pingsan kalau tahu Mark pernah minta mengantarku pulang. Tiba-tiba aku merindukan Mark. Aku terlalu sakit hati untuk memikirkan Nicky lagi. Westlife sedang dalam world tour sekarang. Mereka sedang di Asia tenggara.
       Sebenarnya beberapa hari ini aku selalu texting dengan Mark. Ia mengirim SMS lebih dulu. Pasti ia mendapat nomorku dari Nicky. Aku selalu tidur larut malam demi membalas SMS nya. Karena perbedaan waktu. Dan sepertinya Mark tidak menyadari di Irlandia sudah larut malam saat ia dengan cepat mengirimiku SMS demi SMS. Sosoknya yang pemalu, cool, calm, ternyata hanya cover depannya. Ia sangat asyik untuk dijadikan teman ngobrol. Ia suka melucu. Dan aku merasa nyaman dengan itu.
       Aku meninggalkan Mum sebentar di dapur untuk mengecek handphoneku. Dan benar saja. Ada tiga SMS dari Mark. Aku tertawa kecil. SMS pertama berbunyi: “Michelle, setelah Westlife pulang dari world tour seminggu lagi aku ingin bertemu denganmu. Ada yang ingin kubicarakan” yang kedua: “Hmmm...apa aku salah bicara?”  yang ketiga: “I’m sorry. Are you angry?”
       Yaampun Mark! Cowok satu ini benar-benar bikin ketawa! Memangnya siapa yang bakal marah karena diajak ketemuan?! Apalagi dia selebriti papan atas. Aku membalas SMS nya sambil tertawa-tawa.
       “Mark, you’re silly! Of course. We’ll meet a week later :)”

***

       “Mark!!”
       “Sssssssshhhh!!!jangan keras-keras!” Mark menempelkan jari telunjuk dibibirnya. “Dari tadi orang-orang melihat kearahku. Jangan sebut namaku!”
       “Ups, sorry” Aku menutup mulutku.
       Seperti janjiku, aku dan Mark bertemu sehari setelah Westlife pulang world tour. Kami bertemu disebuah cafe. Mark memakai jaket yang ada tudung kepalanya. Aku duduk diseberangnya.
       “How’re the lads?” tanyaku.
       “They’re fine” Mark tersenyum, menatapku. “Hey,I miss you...”
       Aku tertawa.
       “How come? I met you just once!”
       Mark ikut tertawa. Sepertinya ia salah tingkah gara-gara kata-katanya.
       “Aku nggak akan seaneh ini dengan cewek lain. I don’t know...you’re different” Katanya. “Bagaimana novelmu?”
       “A, akan diterbitkan secepatnya” jawabku.
       Kemudian kesunyian menyelubungi kami. Jantungku berdebar-debar. Suasananya benar-benar aneh dan kaku. Aku tidak tahu harus membuka obrolan apa. Ia bilang ia mau membicarakan sesuatu. Tapi ia justru diam saja sekarang. Aku gemas. Tapi terlalu takut untuk menegurnya.
       Tiba-tiba Mark duduk tegak, lalu menatapku serius.
       “Begini...” katanya dengan wajah merah padam. Ia menarik nafas dalam-dalam. “Maybe it sounds stupid but I think my heart was stolen by you. I don’t know how come but I think I love you, Michelle. Will you be my girlfriend?”
       Aku bengong.
       Hening.
       “Hah?” Aku tidak bisa berkata apa-apa selain itu. Tubuhku kaku. Aku merasa sedang bermimpi. Wajahku pasti kelihatan seperti orang idiot. Aku tidak berkedip, tubuhku tidak bergeser sedikitpun. Wajah Mark merah sekali. Ia terlihat benar-benar malu. Ia menunduk. Tidak berani menatapku.
       “Why?hahahaha...” tawanya kaku. “Sorry. Sudah kuduga aku bakalan ditolak. Kau suka pada Nicky kan? Aku bisa melihatnya dari matamu.”
       Nicky lagi. kenapa selalu Nicky? Apakah aku gampang sekali ditebak?
       Tapi,daripada itu...Mark ini apa-apaan sih?! Barusan dia ngomong apa?!
       “You’re joking Mark...” aku menggeleng-geleng. “We met some weeks ago and it was the first time we met. You texted me, I texted back...and...we meet again today”
       “Yeah...simple, huh?” Mark tertawa. “But I’m not joking. I’m 100 % serious”
       “But...” aku tidak tahu harus bilang apa.
       “Nggak usah tegang begitu. Aku tahu kok kau nggak suka padaku...” Mark tertawa kecil. “Kau mau minum apa? kutraktir”
       Tunggu...
       MANA MUNGKIN MARK JATUH CINTA PADA CEWEK SEHANCUR AKU?!
       Aku ingin teriak. Dunia ini terlalu aneh.
       “I will...”
       Mark terpaku.
       “So, sorry?” ia menatapku, memastikan kata-kata itu berasal dari mulutku.
       “I will...” ulangku.

***

Selasa, 26 Juni 2012

The Blue Eyes of the Lighthouse (part 4)


      “Happy birthday Darren!!”
       Darren memandangiku dari kepala sampai kaki. Memandang tatanan rambutku, dress biru lautku hingga sepatu wedgesku. Kemudian menatap kado ditanganku.
       “Wow...” katanya. “Kau cantik”
       “Thanks” cengirku sambil masuk kedalam rumah Darren. Hari ini Darren merayakan ulang tahunnya yang ke-17 dirumahnya yang besar. Ia mengundang teman-teman kelas kami. Saat itu sudah mulai ramai, dan aku menyadari aku sedikit terlalu terlambat untuk datang ke pesta ulang tahun teman baikku.
       “Aku hampir berpikir kau nggak datang” tawa Darren. Malam ini ia benar-benar cantik dengan dress maroonnya. “Thanks kadonya...Nicky sudah menunggu disana!”
       “Menunggu?” aku naik darah. Menatap Nicky dan Georgina yang sedang duduk di sofa. “Apa maksudmu menunggu hah?! Kau nyindir? Kau menyebut cowok yang datang bersama pacarnya itu “menunggu” ku? Aku menyesal sudah memberitahumu tentang dia”
       “Hahahaha...santai dong! Dia tadi bertanya padaku kok kau ada dimana. Senang kan?” Darren memberiku segelas minuman.
       “Bagaimana bisa aku senang selama dia punya cewek yang dia sayangi?” Aku meminum minumanku. “Sudahlah Darren...aku sedang dalam usaha move on. Nggak usah membicarakan dia oke? Lebih baik jangan ganggu aku makan. Kau lebih baik temani pacarmu sana!”
       “Pikiranmu makan melulu...” Darren berdecak kesal. Berjalan meninggalkanku.
       Aku menghampiri meja yang penuh dengan makanan. Lalu meraih apapun yang bisa kumakan. aku melihat disampingku seseorang sedang mengambil segelas soda. Aku hampir tersedak saat menyadari orang itu adalah Georgina. Aku memasang tampang sok cool. Ia tersenyum kearahku. Aku membalas dengan senyuman paling tolol yang kupunya. Aku ingin buru-buru pergi dari situ lalu menghampiri Darren dan Edward. Tapi tiba-tiba ia menatapku dan berbicara dengan suara nyaris tak terdengar.
       “Kau suka pada Nicky?”
       Aku merasa jantungku melompat entah kemana. Tidak mempercayai pertanyaan yang tiba-tiba terlontar dari mulut Georgina. Mulutku penuh makanan. Aku terjebak dalam suasana yang benar-benar tidak bagus.
      “Hmmp...” aku berusaha mengunyah makanan secepat mungkin dan menelannya. Wajahku pasti tidak karuan sekarang. Aku merasa bodoh. Aku panik. Georgina sepertinya jijik melihat ekspresi ajaib itu. Tuhan, setidaknya jaga image-ku didepan gadis level atas begini. Kenapa aku selalu terlihat tolol sih? Rasanya aku ingin lari, naik keatas kuda pacu dan menungganginya pulang kerumah.
      Aku menelan makanan.
      “Hahaha...kau bicara apa sih Gina?” kataku sok akrab.
      “Kau selalu memperhatikan Nicky, aku tahu itu...” katanya lagi.
       Rasanya aku ingin memberinya gas tidur. Ia menatapku dengan pandangan tenang, tapi kuat. Seakan ingin mempertahankan laki-laki yang dicintainya. Aku tidak kuat lama-lama menatap matanya. Aku menghela nafas sesaat sebelum ia melontarkan pertanyaan yang sama dengan suara datar.
       “Kau suka pada Nicky kan?”
       Aku meletakkan makanan yang kuambil diatas meja. Mau sampai kapan aku terlihat tolol? aku menatap matanya, kami bertatapan sesaat. Aku tersenyum.
       “Iya” jawabku sepenuhnya yakin.
       Georgina terpaku sesaat menanggapi ucapanku.
       “Kau tidak akan bisa mengambilnya dariku...” katanya tenang.
       Aku hanya tertawa menanggapinya.
       “Memangnya siapa yang mau mengambilnya? Nicky sangat mencintaimu. Kau juga kan? Kau gadis yang sangat cantik dan sempurna. Kalian pasangan paling serasi didunia ini. Walaupun aku ingin mengambilnya pun, dia pasti tidak akan mau melepaskanmu. Jadi kau tenang saja. Anggap saja aku salah satu fansnya...”
       “You’re different!” ujar Georgina.
      Aku melongo mendengarnya.
       Georgiana tampak ragu dengan kata-kata yang ingin ia ucapkan setelahnya. Ia lalu terdiam, menunduk. Ia berjalan meninggalkanku dan kembali duduk disebelah Nicky. Mungkin saja ia melaporkan pada Nicky, memberitahunya tentang perasaanku. Tapi aku sudah tidak peduli. Biarlah ia tahu semuanya. Biarlah ia tahu tentang perasaanku agar selanjutnya ia menjauhiku. Agar hidupku yang berat saat aku mengenalnya berubah seperti dulu. Menjadi hati yang paling damai.
       Tuhan, izinkan aku melupakannya. Buatlah aku jatuh cinta pada laki-laki manapun. Siapapun selain dia...

***
      
       “Babe?”
       Lamunanku buyar. Aku menyusun kembali kesadaranku dan menatap sosok tampan didepanku. Aku meraih cangkir kopiku dan meminum kopi panas yang menghangatkan tubuhku. Aku tersenyum menatap pacarku.
       “What, Mark?” sahutku dengan suara pelan.
       Sosok itu memandangku mesra.
       “Apa yang sedang kau pikirkan?” tanyanya.
       “Tentu saja album baru Westlife...aku sangat excited. Apa tadi judulnya?” cengirku.
       “Coast to coast” jawab Mark, tersenyum. “Wish us luck, Michelle...oh ya, besok Westlife akan berkumpul lagi, kau mau ikut? Nicky sepertinya kangen padamu”
       “Yang benar saja...” aku tertawa. “Ngapain dia kangen padaku? Dia kan sudah bertunangan dengan Georgina”
       Mark menggenggam tanganku. Aku tersenyum padanya. Mark sangat tampan. Sebenarnya aku tidak mengerti kenapa ia bisa menembakku saat Westlife pulang world tour. Selama ini aku tidak menyangka ia menyimpan perasaan khusus padaku. Rambut dark brownnya, mata birunya, bibir kemerahan miliknya, semuanya benar-benar menunjukkan ia benar- benar rupawan. Sekarang aku yakin padanya. Yakin dengan hubungan kami. Setiap ia melihat mataku, aku selalu yakin.
       Sejujurnya, aku sama sekali tidak memikirkan album baru Westlife tadi. Aku memikirkan hal lain. Aku ingat masa-masa saat aku bersekolah di Plunkit high school. Saat-saat aku jatuh cinta pada Nicky, aku mengingat itu semua begitu saja. Aku bahagia aku memiliki Mark sekarang. Hidupku sangat sempurna dengannya disampingku. Aku mencium pipi Mark saat kami keluar dari kedai kopi. Entah mengapa, aku merasa ingin menciumnya saat itu juga.
       “Michelle...” pipinya memerah. Wajahnya terlihat lucu sekali.
       Ia menatapku, menyentuh wajahku, mendekatiku, kemudian perlahan memejamkan matanya. Aku memegang kedua pundaknya.
       “PACARAN MELULU!!!” aku kaget setengah mati saat mendengar suara seruan usil itu. Aku buru-buru menyingkir dari Mark. Wajahku merah padam menyadari baru saja kami hendak berciuman. Aku menganga saat melihat Nicky dan Brian didepan kami.
       “Ups...kami ganggu ya?” Nicky memasang tampang menyebalkan.
       “Nico!kau konyol banget!kau mencuri ideku! Harusnya aku yang mengagetkan mereka!” Brian berteriak di telinga Nicky.
       “Nggak usah teriak di telingaku bisa nggak?!” ujar Nicky kesal. Mengacak-acak wajah Brian dengan tangannya. Brian membalasnya dengan mencubit kedua pipi Nicky, Nicky menendang lutut Brian.
       “SAKIT, pirang!” jerit Brian.
       “Kau juga pirang, pirang!!” Balas Nicky tidak mau kalah.
       Aku dan Mark melongo memandang mereka berkelahi seperti bocah umur 5 tahun. Aku menjewer telinga mereka berdua.
       “Tenang saja. Kalian berdua berhasil mengagetkanku setengah mati!” teriakku kesal.
       Mereka meringis.
       “Kenapa kalian ada disini?” tanya Brian.
       “Harusnya aku yang bertanya!” ujarku.
       “Nicky mau beli kado ulang tahun untuk Gina, aku menemaninya” Kata Brian. “Oh ya...Shane dan Kian bilang mau makan malam bersama, mau ikut nggak?”
       “Tentu saja kan?” Mark tersenyum. “Hei, lagipula kalian harus bayar perbuatan kalian. Gara-gara kalian aku nggak jadi dapat ciuman!”
       “Cium saja lagi. susah amat sih?!” Brian memasang ekspresi berlebihan.
       “Jangan pasang wajah ajaib begitu atau kucium kau!” Mark kesal.
       “Sorry Marco, I love you...tapi aku nggak mau dicium olehmu” kata Brian dengan tampang serius. Aku tertawa terbahak-bahak.
       “Sudahlah! Ayo kita jalan dasar bocah-bocah bodoh!” aku menahan tawaku. Menggandeng tangan Mark dan Brian.
       Lagi-lagi aku mengingat masalaluku saat kami berempat masuk kedalam mobil. Aku merindukan Darren. Oh ya...Darren...apa kabar dia sekarang? Aku terus berpikir hingga aku tertidur di mobil bersama bayang-bayang masalaluku.

***

       Aku mendapat nilai tertinggi dalam ujian akhir sekolah. Anak-anak dikelasku sepertinya ingin memasukkanku ke jurang saat melihat nilaiku. Aku sih, biasa saja. Bukannya sombong. Habis disaat mereka liburan ke pantai, berselancar, berjemur, membuat istana pasir, aku justru berdiam diri dirumah. Belajar dan menyelesaikan novelku.
       Alasannya, Cuma satu...Aku tidak mau melihat wajah Nicky selama aku bisa. Aku belum bisa melupakannya. Dan aku benci jatuh cinta lagi, dan jatuh cinta lagi setiap melihatnya. Sekarang lihat saja disana...Darren sedang berdiri bak batu karang, berkacak pinggang dan menatapku dengan wajah setan.
       “Apa-apaan nilaimu itu hah nenek sial?!” jeritnya.
       Aku meraih tasku dan berjalan keluar kelas, menghiraukannya.
       “HEY!!apa-apaan kau?!dasar anak sialan!siapa yang mengizinkanmu pergi?!” ia meraih lenganku dan mencubit pipiku kencang-kencang.
       “SAKIIIIIIIT!!” jeritku, balik mencubit pipinya. “Makanya belajar, jangan pacaran melulu, jangan shopping melulu, jangan jalan-jalan setiap sedetik sekali!”
       “Berisiiiik! Aku kesal beneran nih! Kenapa cewek yang dulunya lebih berantakan dari kapal pecah bisa dapat nilai paling bagus?!” Darren mencubit hidungku, lalu tersenyum. “Kau ajaib sekali, selamat ya...”
       Mataku berkaca-kaca. Aku tahu dengan berakhirnya ujian sekolah ini, kami akan segera berpisah. Aku memeluk Darren. Ia benar-benar sahabatku yang paling baik. Dan aku tidak mau berpisah dengannya. Lama-lama tangisku makin deras. Pundakku bergetar dan aku memeluknya makin erat
       Darren ikut menangis. Ia ikut memelukku.
       “Jangan lupakan aku ya...” katanya lirih.
       “Nggak akan!” ujarku penuh emosi. Aku sangat menyayangi gadis dipelukanku ini. Ia melepaskan pelukannya. Memegang bahuku.
       “Kau benar-benar menyerah soal Nicky?” Tanyanya penuh perhatian.
       Aku mengangguk, menyeka airmataku.
       “Menyerah seratus persen. Hahahaha...doakan aku biar dapat cowok yang lebih ganteng ya! Sebentar lagi aku tidak akan bisa bertemu Nicky lagi. cukup lega...tapi lumayan sedih juga...katanya dia ingin ikut audisi seleksi anggota boyband dari Sligo...”
       Darren mengangkat alis.
       “Boyband?boyband apa?” tanyanya.
       “Boyband dari Sligo. Kalau nggak salah namanya...” Kataku, berusaha mengingat.
        
       “I O YOU...”

***
      

Senin, 25 Juni 2012

Created by me

Kalau kalian cemburu, dimohon jangan meniru perilaku saya. karena tidak sesuai dengan perikeistrian. terima kasih...dimohon kalian jangan lari dari kenyataan. okay, aku nyebur sumur dulu - Malika


Sabtu, 23 Juni 2012

The last day of Westlife

I can't say anything :'(
I LOVE THEM MORE THAN WORDS CAN SAY!!
I LOVE THEM BIGGER THAN THE WORLD!!
I'm on twitter with Westlifers. and Westlife is trending
#ThankYouWestlife

Jumat, 22 Juni 2012

The Blue Eyes of the Lighthouse (part 3)


       Aku hampir tidak percaya saat nama Kyla terpampang di display handphoneku. Aku duduk di tempat tidurku. Buru-buru membuka dan membaca SMS itu.
       “Hey Michelle...maaf aku tidak pernah menghubungimu selama ini. Tadinya aku benar-benar tidak mau menghubungimu lagi. Tapi kurasa ini tidak adil untukmu...Michelle, maaf. Sebenarnya sejak dulu, sejak kita bersahabat di Mullingar...Mum selalu tidak suka denganmu. Sejak dulu ia selalu melarangku berteman denganmu. Ia selalu mengomentari apapun tentangmu. Caramu berpakaian, rambutmu, caramu bicara, caramu berjalan, dan semuanya. Kau sudah tau kan bagaimana keluargaku?Mum menginginkanku berteman dengan orang yang dianggapnya baik. Bahkan mungkin keterlaluan sopan. Tapi aku tidak peduli karena kupikir kau asyik.”
       “Tapi kemudian kau meninggalkanku Michelle...kau pindah ke Baldoyle. Jadi kupikir untuk apa mempertahankan persahabatan kita?aku bosan dengan omelan Mum tentangmu. Ia bahkan mengancamku tidak akan mengizinkanku masuk universitas pilihanku kalau aku masih berteman denganmu. Mum selalu serius dengan omongannya Michelle...kau tahu itu. Aku merasa memang kita tidak ditakdirkan untuk berteman lagi. aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatanku untuk masuk universitas bagus hanya karena orang yang sudah meninggalkanku. Aku yakin kau punya banyak teman baru yang baik disana. Yang jauh lebih baik daripada aku. Maafkan aku Michelle.terima kasih selama ini.selamat tinggal...”
       Aku terdiam menatap display handphoneku. Aku mematung, terpaku. Rasanya aku tidak bisa bernafas. Rasanya aku ingin mati saja. Detik itu juga. Darahku seakan tidak mengalir lagi. jantungku terasa melambat, dan saat itu kurasakan ada air bening yang hangat mengalir menuruni pipiku.
       Hatiku terasa sakit. Lebih sakit dari kesakitan yang pernah kuderita selama ini. Airmataku terus mengalir. Aku berteriak sekencang-kencangnya. Berusaha melepas sakit yang mengurung hatiku. Aku berlari keluar rumah. Tidak peduli walaupun Mum memanggilku berkali-kali. Diluar langit benar-benar gelap. Awan hitam berkumpul, menurunkan hujan yang lama-kelamaan semakin deras.
      Berlari, aku berlari. Entah berlari kemana. Aku berlari tanpa tujuan. Ditengah hujan. Sendirian. Aku terpeleset aspal yang licin. Aku terjatuh keras keatas aspal. Aku merasa seluruh tubuhku nyeri. Tapi aku berdiri kembali dan melanjutkan lariku.
       “Menurutku, pakai blazer yang tidak dikancingkan itu keren!”
       Kata-kata itu terngiang. Kata-kata Kyla yang membuatku makin semangat untuk tampil berantakan. Cowok-cowok dikelasku selalu menyebutku siluman cewek. Tapi kemudian Kyla berdiri didepanku dan melepas kancing blazernya.
       “Kalau kalian mau menjelek-jelekkan Michelle, jelek-jelekkan aku juga!”
       Aku terengah-engah. Terus menangis sepanjang jalan. Kakiku luar biasa sakit dan aku menggigil kedinginan. Tapi aku tidak mau berhenti. Aku terus berlari sampai akhirnya aku terjatuh lagi.
       “Michelle?” terdengar sebuah suara ditengah suara hujan yang bergemuruh
       Aku kenal suara itu.
       Suara yang kubenci.
       Aku mengangkat kepalaku. Nicky berdiri didepanku, menggenggam payung hitam yang melindunginya dari hujan.
       Ia menatapku panik.
       “Astaga! Kenapa kau hujan-hujanan?!kau luka-luka!” ia membantuku berdiri. Aku tidak bisa berbuat apapun. Aku sudah mati rasa. Ia memegangiku sambil memayungiku. Kami berjalan beberapa lama hingga kami sampai disebuah rumah. Ini pasti rumahnya, aku duduk diteras rumahnya yang luas. Ia masuk kedalam rumahnya dan memberiku handuk. Kemudian menatapku.
       “What happen to you?” tanyanya.
       Aku menggeleng.
       “You...you don’t have to know. you don’t have to bring me here. You don’t have to care about me. I hate you! You know that I hate you!!” jeritku.
       Ia terdiam. Menatapku dengan mata biru itu, mata biru yang bahkan tidak bisa berhenti kukagumi. Sampai sekarang.
       “Why do you hate me?...” gumamnya pelan.
       Tiba-tiba ia mengelus pipiku dengan salah satu tangannya.
       Aku kaku.
       Aku mengingat-ingat kenapa aku benci padanya. Karena ia menabrakku dan membuat lututku luka bahkan dihari pertama aku bertemu dengannya? karena ia selalu mengejekku? Karena ia lebih segala-galanya dariku? Atau...karena ia membuatku jatuh cinta dengan percuma?...
       “I won’t tell you why...” jawabku dengan muka datar.
       “You’re really a messy girl” katanya. “Totally different with Gina...”
       “Can you shut your m...”
       “But I see something inside of you...” kata Nicky memotong kata-kataku.
       “What do you mean?” tanyaku ketus.
       “I won’t tell you” jawabnya datar.
       Aku terdiam. Kali ini aku merasakannya lagi. merasa jantungku berdetak makin cepat. Merasa dada dan wajahku panas. aku memandanginya. Memandangi rambut blondenya, parasnya yang cool, bibirnya yang tipis, matanya yang biru, sebenarnya aku tahu dari awal orang ini benar-benar mengambil hatiku dan tidak mengembalikannya lagi. Aku tidak bisa membohongi hatiku lagi. tidak bisa memungkiri lagi bahwa cintaku padanya lebih besar daripada benciku.
       Tapi ini cinta yang tidak akan pernah kuungkapkan.
       Karena walau kuungkapkan, tak akan ada artinya. Sedikitpun...

***
      
        “Michelle, do you wanna hang out with me after school?” Darren menghampiri mejaku.
       Aku menutup buku yang sedang kubaca, menatap Darren.
       “I think, I can’t...I’m sorry Darren” aku kembali pada bukuku. “I’ve to prepare myself for the examination next week”
       “I still got no idea...actually what happen to you in the last five months?” Darren duduk disampingku. “you’ve changed”
       “Really?and then what about you?you’re too busy with your beloved boyfriend” kataku berusaha setenang mungkin.
       “What do you mean with that?!” Darren meninggikan suaranya. “You’re still my best friend. You have no boyfriend so you can’t understand!”
       Aku menutup bukuku lagi.
       “Yes. I have no boyfriend because I’m not beautiful like you...” kataku.
       “Michelle don’t make me emotional” Darren menghela nafas.
       Aku bangkit dari kursiku, keluar dari kelas dan menuju toilet wanita. Aku terdiam didepan cermin. Apa aku salah? Lima bulan telah berlalu sejak hari aku menerima SMS dari Kyla. Sejak hari itu, aku bertekad untuk keluar. Keluar dari hidupku yang sebelumnya. Aku memutuskan berubah.
       Dan disinilah aku, di toilet sekolah, memandangi sosokku di cermin. Rambut light brown ku sekarang lebih panjang dan sangat rapi. Setiap pagi aku selalu memberinya conditioner dan menyisirnya hingga rapi, aku memotong poniku yang berantakan, aku ke salon setiap seminggu sekali, aku selalu membersihkan wajah dan kulitku, dan aku berolahraga kapanpun aku bisa. Aku sudah kehilangan banyak berat badan. Dan aku sekarang selalu mengancingkan blazerku.
       Kyla tidak ingin berteman lagi denganku karena sosokku yang dulu.
       Nicky membanding-bandingkan aku dengan Georgina karena sosokku yang dulu.
       Cukup beralasan bagiku untuk mengubah diriku. Dan sekarang Darren malah bertanya apa yang terjadi padaku. Tentu saja ia tidak tahu apa yang terjadi padaku. Pacarnya jauh lebih penting daripada aku.
       Akupun sudah lama tidak bicara pada Nicky. Aku pindah tempat duduk ke meja yang lebih depan agar bisa menerima pelajaran dengan baik. Aku selalu mendapat nilai terbaik sekarang. aku bahkan mengalahkan Nicky dalam semua pelajaran kecuali olahraga. Hari liburku kugunakan untuk belajar.
       Itu sama sekali tidak mudah. Tapi aku berhasil.
       Walaupun begitu lama tidak berbicara dengan Nicky membuatku gila. Kadang ketika pelajaran sedang berlangsung aku melihatnya dari kejauhan. Menatap setiap gerakan yang ia buat. Menatap wajah seriusnya yang sedang konsentrasi pada buku catatannya, menatap gerakan tangannya saat menulis, menatap ia menguap didalam kelas. Itu saja sudah membuatku merasa jauh lebih baik.
       Aku terpaku.
       Sosok Nicky langsung terlihat dipinggir lapangan bola ketika aku keluar dari toilet. Aku mengerutkan dahi. Wajahnya terlihat sedih, ia terlihat rapuh, dan aku hampir tidak pernah melihatnya hanya menonton pertandingan bola. Biasanya ia selalu ikut bermain. Jadi keeper ataupun jadi pemain.
       Aku berusaha tidak peduli. Tapi rasa cintaku yang masih melekat ini mengalahkan segalanya. Aku menghampirinya dan duduk disebelahnya dengan hati-hati.
       “Ada apa?” tanyaku takut-takut.
       Nicky menoleh kearahku.
       “Kau peduli? Kalau nggak salah kau bilang kau membenciku...” Nicky berusaha terlihat usil seperti biasanya. Tapi hatinya sepertinya tidak setuju. Ia tetap terlihat rapuh dimataku.
       “Su, sudah deh jawab saja kenapa sih! Kalau nggak mau jawab ya aku pergi saja!” aku bangkit dari dudukku.
       Ia menarik tanganku.
       “Please stay...” gumamnya. Menggenggam tanganku erat-erat.
       Wajahku memerah. Aku tidak mungkin meninggalkannya. Jadi aku duduk lagi disampingnya. Berusaha bersikap normal.
       “Kau pernah patah semangat?” Nicky bertanya tanpa melihat wajahku.
       “Hidupku selalu penuh dengan patah semangat” jawabku.
       Nicky tertawa.
       “Kau bilang begitu sedangkan sekarang kau sudah mengalahkan nilai-nilaiku ha? Kau sebut itu patah semangat?”
       Aku diam saja.
       “Kau pasti tahu aku ingin sekali jadi pemain bola” Katanya lagi.
       “Kupikir disini nggak ada yang nggak tahu...” kataku.
       “And I have to forget it. I have to forget my dream to be a famous footballer” ia tersenyum sedih. “You know why?”
       Aku menggeleng bingung.
       “Tinggi badanku tidak memenuhi syarat” Kali ini Nicky tertawa. Tawa yang menyayat hatiku. “Hurt, eh?”
       “Hey Nicky...kau kan masih bisa tumbuh lebih tinggi! Jangan cengeng dong!” ujarku gemas. “Kau kan bukan kakek-kakek yang sudah berhenti tumbuh!”
       Nicky menggeleng.
       “Aku sempat bertemu dengan calon-calon pemain sepak bola Leeds United. Dan aku paling pendek disana. Aku hanya tumbuh beberapa sentimeter sejak masuk sekolah ini. Umurku sudah 17 tahun dan waktuku tidak lama untuk meninggikan badan.” Katanya. “Aku berusaha berpikir realistis. Karena kalau aku tetap tidak tumbuh sesuai keinginanku sedangkan aku memaksa kehendakku rasanya akan lebih sakit.”
       Aku tidak bisa berkata apa-apa.
       “Kau mau jadi apa, Michelle?” Tanyanya tiba-tiba.
       Aku ingin hidup bersama denganmu...jawabku dalam hati.
       “Penulis terkenal...” kataku akhirnya. “Penulis yang bukunya selalu dipajang di etelase sebagai best seller. Itu mimpiku sejak kecil.
       “Kau nggak perlu tinggi badan untuk jadi penulis...” Nicky tertawa.
       “Berhenti membicarakan tinggi badan!” ujarku. “Aku jadi merasa luar biasa pendek tahu. Aku kan lebih pendek darimu. Dengar, suaramu bagus. Kenapa kau nggak coba jadi penyanyi? Bahkan sejak sekarang saja kau sudah punya banyak fans. Jangan stuck pada satu hal kalau kau punya yang lain! Lagipula kalau kau jadi penyanyi pasti Georgina bakalan bangga banget padamu”
       Nicky menatapku, tersenyum. Belum sempat aku membalas senyumnya, Georgina sudah muncul didepan kami.
       Aku kaget melihatnya tiba-tiba datang. Ia terlihat cantik seperti biasanya. Bukan hanya cantik, kali ini tatapannya tajam. Dan tatapan itu mengarah kearahku. Aku mulai merasa...agak panik.
       “Who are you?” tanyanya. Suaranya ramah. Tapi tatapan tajamnya benar-benar terasa menusuk mataku. “I’m sorry, but can I take Nicky from here?”
       Michelle, Nicky adalah milik gadis cantik yang ada didepanmu. BUKAN milikmu. Aku terus membatin dalam hati. Berusaha tidak menyakiti hatiku sendiri. Aku harus kembali realistis. Tidak boleh berharap sedikitpun.
       “Sure...we just talked about the lesson in our class” aku tersenyum ramah pada Georgina. “I wanna go back to class now. Hahaha”
       Aku bangkit dari dudukku. Berjalan menjauh. Kenapa rasanya sakit? Kenapa rasanya dadaku disumbat sesuatu sehingga aku tidak bisa bernafas normal? Kenapa mataku panas? dan kenapa sekarang aku malah nangis?!
       Aku mengusap airmataku. Menarik nafas dalam-dalam. Aku tidak boleh menangis. Tapi tetap saja airmataku jatuh lagi. aku mengusap airmataku lagi. berusaha menghapus sesak didadaku tapi aku tidak bisa. Aku ingin senyumnya selalu ada didepan mataku, aku ingin suara tawanya selalu terdengar oleh telingaku. Aku ingin matanya birunya selalu menatap kearahku. Aku benar-benar jatuh kedalam lubang yang selama ini kuhindari. Bodoh... Benar-benar bodoh.
       “What’s wrong?” Darren muncul didepanku. Melihatku sedang menangis. Aku tahu aku tidak punya siapa-siapa selain dia. Ia temanku yang paling dekat walaupun sesering apapun ia meninggalkanku. Aku tidak tahan lagi. tangisku meledak. Darren panik dan langsung memelukku.
       “Ada apa Michelle? Ada apa?!” tanyanya.
       “I’m in love with him...” kataku jujur. Airmataku tidak bisa kukendalikan. Nafasku terasa berat. “I know that I’m so damn stupid but I love Nicky. I can’t fool my heart. I love him...I love him so much...”

***