Selasa, 31 Juli 2012

The Blue Eyes of the Lighthouse (part 13)


*Michelle’s Pov*

       Dingin.
       Itu yang kurasakan saat ini. Bukan hanya karena salju awal januari yang turun dan suhu udara yang menusuk tulang. Rasa dingin yang membekukan terasa hingga jauh kedalam hatiku. Kutatap butiran salju yang turun dengan tenang dari balik kaca jendela mobil Clark.  Kudengarkan lagu Boyzone, no matter what yang mengalir dari radio mobil. Aku tidak mau menatap Clark. Karena aku tahu sesungguhnya ia tidak suka dengan keputusanku. hingga lagu habis, aku terus menatap kearah butiran salju yang mulai berhenti berjatuhan. Lagu berganti menjadi lagu Westlife, you make me feel. Aku buru-buru mematikan radio, kudengar desahan Clark yang berat.
       “Michelle…” panggilnya.
       “Please Clark. It’s my decision…” aku tidak menatap wajahnya.
       “Kau baru sembuh dari demam dua hari yang lalu, dan sekarang kau benar-benar mau terbang sendirian ke New York? Aku tahu ini berat untukmu. Tapi…”
       “Selama aku ada di Irlandia, aku akan menderita.” Aku memejamkan mataku. “Bukan hanya aku. Nicky…aku tidak sanggup melihat wajahnya saat aku bilang tidak bisa melanjutkan hubunganku dengannya. Tapi aku lebih tidak sanggup kalau hidupnya akan berantakan karena hidup bersama orang seperti aku.”
       “You know…menurutku kalian belum resmi putus. Putus itu harus disetujui dua pihak. Dan aku tahu dia tidak mau putus denganmu.” Kata Clark.
       “Lama kelamaan dia pasti capek menunggu.” Aku tersenyum. “Aku lebih baik pergi dari hidupnya. Setidaknya aku sudah terbiasa patah hati. Tapi Georgina belum tentu sudah melupakannya. Kalau aku jadi Georgina, aku pasti merasa ingin membunuh Michelle Myron. Si pengacau itu…”
       “Menurutku kau tidak usah memikirkan kata-kata pedas orang-orang tentangmu sampai bertindak sejauh ini…” Clark membelokkan mobilnya kedalam airport.
       “Orang-orang itu benar kok. I’m such a bitch…padahal aku bukan siapa-siapa. Tapi aku merebut waktu berharga dalam hidup Nicky dan Mark.” Aku menempelkan pipiku di kaca jendela. “I’m okay…I’m okay Clark. Aku janji aku akan mengetik novelku disana. Walaupun aku tidak jamin akan ada yang membeli novelku.”
       Clark memarkir mobil.
       “Kau yakin tidak mengabari Nicky?” Tanya Clark.
       Aku menggeleng.
       “Hmmm keberatan membantuku membawa koper?” aku menatapnya.
       Clark langsung turun dari mobilnya dan mengambil salah satu koperku dari jok belakang. Aku menyeret koperku yang lain. Kupakai syalku hingga menutupi mulutku, lalu kukenakan kacamata hitam. Clark berjalan disampingku. Saat ini ia yang selalu mendampingiku. Aku memeluknya saat ingin memasuki ruang tunggu.
       “Thanks, Clark…” bisikku ditelinganya.
       “Anything for you Michelle…” Ia tersenyum. “Kabari aku setiap hari, please?”
       “Okay.” Aku balas tersenyum, mengambil koper yang dipegang oleh Clark dan berjalan menjauh. Aku menghela nafas sambil berjalan.
       Apanya yang baik-baik saja?
       Jalanku melambat.
       Apanya yang baik-baik saja?
       Aku berusaha menahan airmata yang mendesak keluar. Ini adalah keputusan terberat dalam hidupku. Padahal aku dan Nicky sudah bisa hidup bersama. Tapi ternyata aku salah…aku tahu aku tidak boleh ada disisinya.
       Kuambil ponselku. Aku akan mengabari Darren. Aku selalu lupa mengabarinya. Walaupun ia sedang marah padaku, tapi ia tetap sahabatku. Dan aku tidak boleh lupa lagi mengabarinya. Aku akan mengabarinya kalau aku pergi. Aku akan mengabarinya kalau aku meninggalkan Nicky, laki-laki yang sangat kucintai. Aku akan mengabarinya tentang apapun. Walaupun ia mungkin tidak mau mengenalku lagi setelahnya. Aku akan mengabarinya, aku akan mengabarinya.
       Pesan terkirim.

***
       “Bisa tinggalkan aku sendiri dulu, Ed?”
       Edward Nolan, saat itu sedang duduk dibelakang kemudi dengan seatbelt yang masih terpasang, menatap pacarnya cemas.
       “Are you okay, Darren?” ia mengangkat alis. “Beberapa hari ini kau kelihatan suram.”
       “I’m okay…aku hanya perlu sedikit istirahat, dan aku sedang butuh sendirian.” Darren menunduk. “Bisa turunkan aku di kedai kopi terdekat?”
       “Kau nggak marah padaku kan?” Edward terlihat takut.
       Darren tersenyum menatap pacarnya.
       “Mana mungkin aku marah padamu, love…” katanya. “So, please?”
       “Michelle lagi? Karena dia?” Tanya Edward.
       Darren terdiam. Tidak bisa menjawab.
       “Kenapa kau bersahabat dengan orang seperti dia sih?” Edward menghela nafas. “Aku tidak bisa melihatmu begini terus.”
       “Tolong jangan hina dia. Orang-orang sudah bicara pedas, dan aku nggak bisa mendengar laki-laki yang kucintai menghina sahabatku.” Darren menyandarkan dirinya pada jok mobil. “Walaupun…walaupun aku sudah memarahinya habis-habisan...”
       Edward mengerem mobilnya didepan sebuah kedai kopi.
       “Sorry…” katanya. “Hubungi aku.”
       Darren keluar dari mobil Edward, masuk kedalam kedai kopi dan duduk disalah satu kursi. Disana ia mengeluarkan airmata yang sudah ditahannya daritadi. Ia berusaha tidak mengeluarkan suara. Tapi ia tidak tahan, tangan kanannya menggenggam tangan kirinya erat-erat. Ia tidak bisa melupakan SMS yang diterimanya beberapa hari yang lalu. SMS yang berisi kabar. Kabar yang selalu dinantinya dari sahabatnya. Tapi justru kabar yang datang tidak sesuai dengan harapannya sama sekali.
       “Michelle…I’m sorry…” Katanya lirih, menunduk, airmata berjatuhan ke pangkuannya. Ia sadar mulai banyak orang yang mendengar suara tangisnya. Ia berusaha menghapus airmatanya, mengambil nafas dalam-dalam. Ia kemudian memesan secangkir kopi untuk menghangatkan tubuhnya. Begitu melihat ke sekeliling, ia tahu ia sedang menjadi pusat perhatian. Dan ada satu orang yang menatapnya seksama. Ia mengangkat alis, berusaha mengenali orang itu.
       Seorang perempuan berambut blonde tipis yang diikat rapi, bolamatanya berwarna abu-abu. Kulitnya pucat. Ia merasa pernah bertemu dengan perempuan itu. Ia akhirnya yakin saat perempuan itu bangkit dari duduknya, berjalan melewati mejanya dan menuju pintu keluar.
       “Errr…wait!” Darren spontan berseru.
       Perempuan itu menoleh kearahnya.
       “Are you…”
       “Yes…I’m Kyla Brennon.”
       Darren melebarkan matanya.
       “You…”
       “I think we’ve met before…” Kyla menunduk, canggung menatap Darren. “I’m sorry, but can I…can I sit here?”
       Darren menggigit bibirnya, tentu saja…bertemu dengan orang yang sudah dibentaknya habis-habisan sama sekali tidak bagus. Apalagi orang itu dibencinya. Tapi ia tidak mungkin menolak saat karena ia yang memanggil Kyla tadi.
       “Well…” ia mengangkat bahu. “silahkan.”
       “Sebenarnya, aku mendengarmu menyebut nama Michelle barusan…” Kyla duduk didepan Darren. “Aku yakin kau orang yang kutemui di airport bersama Michelle…aku…”

       Airmata Kyla tiba-tiba jatuh.
       “Ehm, sorry…” ia buru-buru menghapusnya. Ia menunduk beberapa lama, menahan airmatanya. “Aku…dulu aku teman baik Michelle…”
       “I know…” kata Darren. “Michelle sudah menceritakan semuanya.”
       “Kau sudah tahu? Semuanya?” Kyla menatap Darren seakan memastikan.
       Darren mengangguk.
       “Sebenarnya aku kurang suka melihatmu. Tadi aku hanya ingin memastikan.” Darren memutuskan jujur.
       “Aku tahu.” Kyla tersenyum. “Kau pasti teman Michelle yang sangat baik. Aku memang lebih baik tidak masuk lagi kedalam hidupnya. Tapi aku tidak bisa tenang…aku selalu mengingatnya, bertahun-tahun.”
       Darren tidak menanggapi.
       “Apa yang kukatakan pada Michelle memang keterlaluan. Tapi, itu tidak seratus persen dari dalam hatiku. Aku sangat menyayanginya. Dia keren deh! Blazernya nggak pernah dikancingkan walaupun sudah diperingati guru berkali-kali.”
       Kyla tidak bisa menahan tangisnya.
       “Maaf…maafkan aku…” ia menghapus air matanya lagi. “Aku selalu menyukainya sampai sekarang. Aku membaca novelnya walaupun tidak bisa memujinya secara langsung. Aku yang sekarang bukan apa-apa kalau dibandingkan dengannya. Aku kaget setengah mati saat tahu ia pacaran sama Mark. Soalnya aku suka Westlife. Aku suka banget sama Shane! Dia keren banget! Suaranya itu ya…pokoknya luar biasa!!”
       Darren bengong.
       “Ng, maaf…” Kyla menggaruk kepalanya.
       Darren menunduk. Tidak bisa menahan tawanya.
       “Hmmpp…hahahahahaha!” Ia memegangi perutnya. “Nggak heran kalau kau cocok sama Michelle. Kalian nggak beda jauh!”
       Wajah Kyla merah padam.
       “Jadi, kau benar-benar menyesal?” Darren mengangkat alis.
       “Iya…tapi aku nggak berharap bisa jadi temannya lagi…aku hanya, kangen padanya. Ingin tahu bagaimana kabarnya.” Kyla buru-buru berkata. “Aku tahu aku pantas dibenci olehnya.”
       “Oh ya? Sepertinya dia nggak membencimu.” Darren mulai bisa tersenyum pada orang didepannya. “Justru aku yang benci pada sosokmu yang ia ceritakan.”
       Hening beberapa lama.
       “She’s in New York now…” Darren menghela nafas.
       Kyla terbelalak.
       Wajah Darren kembali suram, beban dipunggungnya kembali terasa.
       “Dia tidak tahan dengan ucapan orang-orang tentangnya. Ia memutuskan untuk meninggalkan Nicky. Ia takut akan merusak hidup Nicky. Padahal aku tahu…She loves Nicky so much, more than anything, from long time ago.”
       “She really loves Nicky?” Kyla menatap Darren.
       “She loves him, with all of her heart.” Kata Darren pelan. “Mark isn’t her true love. Aku sempat marah padanya karena dia selalu mengambil keputusan tergesa-gesa. Tapi, aku kemudian berpikir, kalau aku jadi dia, aku pasti akan bertindak bodoh seperti dia. Aku akan mengambil keputusan yang sama dengannya. Aku sangat menyesal...aku menyesal tidak menepuk pundaknya saat dia dalam kesulitan begini. Sekarang ia pergi ke New York dan tidak ingin diganggu siapapun.”
       Darren menahan tangisnya.
       “Dia bilang aku tidak perlu khawatir…padahal, mana bisa…” Ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya. “Dia sama sekali tidak mengabari Nicky, Nicky seperti orang gila sekarang. Meneleponku berkali-kali dengan suara frustasi. Tapi dia melarangku untuk memberitahu Nicky. Aku bingung aku harus bagaimana. Aku terus-terusan seperti orang bodoh berbohong pada Nicky, berkata aku tidak tahu apa-apa…”
       Kyla tidak bersuara. Mata abu-abunya menatap Darren lurus.
       “Dia bertindak bodoh lagi…selalu saja bertindak tidak sesuai dengan kata hatinya.” Darren masih menutup wajahnya. “Tapi aku tidak bisa apa-apa…”
       “Kurasa kau bisa.” Kyla tersenyum. “Mengingat kau membentakku di airport waktu itu, aku tahu kau sahabat yang akan mati-matian membela sahabatnya. Kalau waktu itu kau bisa, kenapa sekarang tidak?”
       Darren menatap Kyla beberapa lama. Lalu ia berkata dengan tegas.
       “Kalau begitu, tolong aku…”

       ***
      
       Winter di Amerika lebih baik daripada di Irlandia. Itu yang kusimpulkan saat aku sudah berhari-hari memutuskan untuk stay disebuah hotel di New York, aku agak ragu kalau harus menyewa apartemen. Laptopku masih dalam keadaan mati berhari-hari, daritadi aku memandangi lukisan diatas tempat tidur kamar hotel yang kutempati. Pemandangan lautan dengan mercusuar yang menjulang disana. Lighthouse. Aku mengingat kenapa aku menyebut Nicky dengan panggilan itu. Ya, karena ia adalah cahaya yang menyinariku dalam gelap. Segelap apapun, ketika aku membayangkan wajahnya, muncul cahaya yang entah datang darimana.                                            
       Tapi sekarang, tidak ada lagi cahaya. Sejak aku tahu aku harus meninggalkannya. Bahkan secercah cahaya dalam kamar yang gelap ini ketika aku mematikan lampu terakhir dalam kamar. Gelap…aku menuju tempat tidur, membaringkan tubuhku, kemudian aku menyalakan lampu kecil disisi tempat tidur.
       “It’s so dark, isn’t it?” aku bicara sendiri. Aku melirik jam di dinding hotel. Malam sudah sangat larut. Hampir jam dua belas malam. Aku bahkan tidak bisa memejamkan mataku. Sama saja seperti malam-malam sebelumnya. Mataku akan terbuka lebar hingga pagi-pagi buta, kemudian aku akan tertidur dengan letih karena semalaman memikirkan terlalu banyak hal. Seharusnya aku tidak usah dilahirkan saja. Kalau tahu jadinya begini, lebih baik aku…
        “TING TONG”
        Mataku melebar. Aku terlonjak kaget mendengar suara bel kamarku. Tunggu dulu…ini tengah malam! Siapa yang datang? Aku duduk di tempat tidur, merinding. Tidak mungkin ada orang yang datang jam segini. Petugas hotel sekalipun. Aku jadi ingat cerita seram yang pernah Darren ceritakan padaku.
       Bel berbunyi lagi.
       Penguntit?
       Aku mencari-cari alat yang bisa dipakai untuk membela diri. Akhirnya kuambil sepatu heelsku. Lumayan. Aku menuju pintu depan dengan keringat dingin. Ketika bel berbunyi pada yang ketiga kalinya, tangan kananku sudah memegang kenop pintu. Aku mengintip keluar, darahku seakan tidak mengalir, aku tidak bisa mempercayai mataku. Apa aku berhalusinasi? Atau aku benar-benar diikuti hantu? Jangan-jangan aku bermimpi? Jika mataku masih normal, yang ada diluar sana benar-benar Georgina Ahern.
       Georgina Ahern…
       Nggak mungkin…
       Kubuka pintu didepanku dengan berdebar-debar. Aku berdiri didepan Georgina-khayalan ini dengan masih memegang sepatu heels. Ia menatap lurus kearah mataku, sudah lama aku tidak melihatnya. Tapi tentu saja ia masih membuatku terpesona dengan sosoknya.
       “Ngapain kau bawa heels?”
       Aku melirik heels di tangan kiriku. Buru-buru kujatuhkan heels itu ke lantai.
       “Gina?” suaraku benar-benar pelan. “H, how come…”
       “Aku punya dua tangan, Michelle Myron.” Katanya tegas.
       Aku hanya terdiam tidak mengerti. Kurasa wajahku pucat. Ini Amerika! Kalau aku ada di pinggiran Dublin sih aku masih bisa menganggap ini logis.
       Darimana dia…..
       “Aku masih punya satu tangan untuk menarik Nicky kembali ke sisiku. Dan aku masih punya satu tangan untuk menutup matanya, agar dia tidak melihatmu lagi.” Katanya. “Aku masih punya dua tangan. Kau yakin kau akan membiarkanku menggunakan kedua tanganku?”
       Aku benar-benar membisu.
       “Aku menyerah bukan untuk hal sekonyol ini, Michelle.” Georgina menggelengkan kepalanya. “Aku menyerah dan memberikan Nicky padamu karena dia sangat sayang padamu. Aku tidak meninggalkannya untuk dikhianati seperti ini olehmu. Kau pikir apa yang terjadi padanya setelah kau meninggalkannya?”
       “A, apa yang terjadi?”
       “Kau lihat saja sendiri, dia menunggumu dibawah.” Kata Georgina.
       “I, impossible…” aku berjalan melewati Georgina. Sebenarnya ada apa? Aku masuk kedalam lift dan menekan tombol ke lantai paling bawah. Nicky, ada di New York? Untuk menghampiriku? Tapi, bagaimana bisa? Yang tahu keberadaanku hanya Clark dan Darren. Itupun hanya Clark yang tahu pasti aku ada dimana. Nicky menungguku dibawah? Itu kan mustahil…
       Pintu lift terbuka, baru saja aku ingin melangkahkan kaki keluar, jantungku diserang lagi dengan pemandangan tidak masuk akal. Aku melihat Nicky berdiri didepan lift, menatapku dengan tatapan yang tak bisa kutebak. Ia melangkah masuk kedalam lift, menekan tombol disamping pintu lift, dan pintu bergeser tertutup.
       “Wait! Nicky, what are you doing? Ini kan lift! Lalu kenapa kau bisa…”
       “Hotel ini ada 50 lantai ya…” gumamnya memotong omonganku. Aku menganga saat ia menekan tombol angka 50 disamping pintu lift.
       “Ni…cky…”
       “Nggak buruk juga…” wajahnya agak terlihat pucat. “Seperti naik kapal…agak kangen juga. Berapa lama ya aku tidak naik lift…”
       Aku tidak bisa berkata-kata. Ia menatap mataku.
       “Kalau untukmu, aku tidak keberatan ada diatas benda ini sekarang. Tapi…Kenapa kau pergi, Michelle?” tanyanya. “Aku benar-benar jadi sinting gara-gara kau.”
       “Aku…” aku menunduk. “Tidak pantas untukmu.”
       “Kau mendengarkan semua yang orang-orang katakan” katanya. “Padahal mereka tidak tahu apa-apa.  Padahal mereka tidak tahu apa yang kita rasakan. Setelah bisa berdiri disisimu, apa pantas aku membiarkanmu pergi lagi? Kumohon. Jangan. Dengarkan. Mereka.”
       Nicky menutup kedua telingaku dengan kedua tangannya.
       “Jangan dengarkan mereka lagi, dengarkan aku baik-baik. Hanya aku yang boleh kau dengar.” Ia menatapku dalam-dalam. “Aku janji akan melakukan apapun agar para fans bisa menerimamu. Aku janji aku akan konsisten mulai sekarang. Aku memilihmu, dan selamanyapun akan terus memilihmu. Aku janji aku akan berusaha tidak egois seperti sebelumnya. Aku janji nggak akan membiarkanmu pergi untuk alasan bodoh, kau memang bodoh seperti biasanya.”
       Ia menyingkirkan kedua tangannya dari telingaku.
       “Dan yang harus kau dengar dengan jelas sekarang…dengarkan aku baik-baik.” Ia menghela nafas. “I love you, more than you can imagine…”
       Aku tidak bisa menahan airmataku.
       Pintu lift terbuka. Kami sampai di lantai 50. Jendela kaca yang sangat besar terlihat,  menampilkan pemandangan New York dari ketinggian lantai 50.
       “Do you love me?” tanyanya tanpa menatap kearahku. Pandangannya mengarah pada pemandangan indah itu. Kami bahkan bisa melihat patung liberty dari sini.
       “You’ve known what my answer is.” Tanggapku.
       “Kalau begitu, kita bisa menghadapinya kan?” Ia tersenyum. Senyumnya bahkan lebih indah daripada pemandangan diluar sana. Aku tidak bisa memalingkan wajahku. “Say it to the world, it’s my only wish.”
       Aku mengangguk.
       “Forgive me…” gumamku.
       Nicky hanya tersenyum menanggapinya. Tiba-tiba aku mendengar suara familiar.
       “Finding someone you love and who loves you back is a miracle.”
       Aku menoleh kearah belakang. Aku mendapat serangan jantung ketiga saat kulihat Darren, Kyla dan Clark berdiri di belakangku. Dan yang tadi kudengar adalah suara Kyla. Ia tersenyum kearahku.
       “It’s your quote, I’ve read your novel.” Kata Kyla. “You’ve found a miracle, it sucks if you throw it away, Michelle.”
       Aku benar-benar menangis sekarang.
       “Ini semua rencana mereka berdua.” Clark menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Aku menemukan hobi baru, sekarang aku hobi membongkar rahasiamu.”
       Darren dan Kyla tertawa.
       “Sekarang, guys…” Nicky menghela nafas panjang. “Bagaimana caranya aku turun dari sini?”
***

Senin, 30 Juli 2012

MY FAVE!!!

I'm sure he's saying "Michelle my little one" *dancing*
Ini penampilan Nicky yang bikin aku jatuh cinta pada pandangan pertama sama dia. VC seasons in the sun. nama Michelle juga kuambil dari situ.


Me: "Wassap, Nicky my Lighthouse?" #Plak

Selasa, 24 Juli 2012

The Blue Eyes of the Lighthouse (part 12)

     
        Aku menghempaskan tubuhku ke sofa apartemenku. Sebelum meninggalkan apartemenku untuk sementara, aku lupa bersih-bersih. Hasilnya, tentu saja debu ada dimana-mana. Jadi begitu kembali ke apartemen, aku langsung membersihkan setiap sudut ruangan. Suatu prestasi untuk seorang Michelle Myron.
       Kubuka lebar-lebar jendela ruang kerjaku dan kubiarkan suara bising diluar sana masuk kedalam ruangan. Dalam menulis, aku memang moody, terkadang aku harus dikurung dalam kesunyian, tapi terkadang aku harus mencari inspirasi dari kehidupan manusia diluar sana. Mulai dari suara deru dan klakson mobil, suara angin dingin yang berhembus tenang, kemudian kupandang salju yang mulai turun ke permukaan bumi, berkunjung diatas ranting-ranting dan dedaunan pohon, orang-orang berbaju tebal yang sedang menyebrang jalan, dan sekarang kudengar suara bersinku. Buru-buru kututup jendelanya.
       Aku sedang asyik mengetik hasil dari suasana awal-awal winter itu, saat bel apartemenku berbunyi. Kuselesaikan satu kalimat, lalu aku bangkit dari dudukku. Kubuka pintu depan apartemenku dan kulihat seorang wanita yang memakai sweater rajut berwarna cokelat cerah, dilapisi mantelnya yang berwarna peach dan celana jeans. Dikepalanya terpasang topi rajut, rambut ikal merahnya terjuntai indah seperti biasanya.
       “Darren!” seruku girang. “Tahu darimana kau aku kembali ke apartemenku hari ini?”
       Darren menatapku diam dengan bolamata hijaunya.
       “Aku mengandalkan keberuntungan.” Katanya. “Memangnya pernah kau mengabariku kalau kau akan minggat dari apartemenmu? Mana kutahu kau ternyata pulang ke Baldoyle. Dan tentu saja aku juga tidak tahu hari ini kau kembali kesini. Walaupun aku memencet bel, aku sudah bersiap-siap mengetahui apartemen ini kosong seperti hari-hari kemarin saat aku berkunjung kesini. Oh, welcome Michelle.”
       “Hmmm…sorry?” Aku memaki-maki diriku karena tidak mengabari Darren sama sekali. Padahal ia cukup lama menetap di Irlandia. Kepalaku terlalu penuh, atau mungkin tingkat keidiotanku bertambah.
       Kutunggu reaksi marahnya. Mungkin setelah ini dia akan mencubit pipiku kencang-kencang, atau menyikut rusukku, atau menonjok lenganku, mengguncang bahuku barangkali? Atau menginjak kakiku keras-keras? Tapi kulihat ia hanya diam mematung di ambang pintu tanpa segaris senyumpun.
       “You never tell me anything…” Katanya pelan.  “Mungkin aku ini benar-benar tidak penting lagi bagimu ya? Kau tidak memberitahuku apapun sama sekali. Termasuk ini!”
       Ia masuk kedalam apartemenku dan melempar beberapa lembar Irish Daily keatas sofa. Aku berdebar melihat wajahnya yang menahan emosi. Matanya menatap garang kearahku. Aku memalingkan wajahku pada Irish daily yang ia lempar dan membaca headline news yang terpampang disana.
       “WESTLIFE’S NICKY BYRNE: FOR THE GIRL THAT I LOVE, I LEFT HER.”
       Lalu terlihat foto Nicky yang sedang menggandeng tanganku di Baldoyle. Kami memang sempat jalan-jalan berdua. Hanya sebentar…dan aku tidak ingat ada papparazi yang mengikuti kami. Tapi mengingat betapa terkenalnya Westlife sekarang, kemungkinan apapun bisa terjadi. Siapapun yang mengambil foto itu pasti papparazi yang mungkin tidak terlihat sama sekali olehku dan Nicky.
       Aku membeku, diam seribu bahasa saat membaca artikel didalamnya. Nicky sudah bertemu wartawan. Ia diwawancarai dan ia sudah mengakui hubungannya denganku. Ia sudah bilang bahwa hubungannya dengan Georgina sudah berakhir. Ia mengatakan dengan jelas bahwa ia mencintaiku. Aku, yang dulunya berpacaran dengan teman satu bandnya. Darahku terasa tidak mengalir. Ia tidak memberitahuku sama sekali.
       Kepalaku terasa panas, jantungku berdebar kencang menahan amarah.
       “Tidak seharusnya dia melakukan ini…” kataku dengan nada bicara aneh. Suaraku bahkan sempat tersumbat di tenggorokanku.
       “Melakukan apa?” Darren bertanya dengan suara ringan. “Kalau ada papparazi yang sudah memotret kalian berdua, lalu wartawan berdatangan padanya, memangnya kau pikir dia perlu bicara apa? Kau mau ia berbohong pada wartawan? Membuat masalah menjadi rumit dan berbelit-belit? aku justru kecewa padamu. Tidakkah ada sedikit keinginan untuk bercerita padaku?”
       “Darren, semuanya sangat rumit sampai aku bingung harus bicara apa padamu.” Kataku.
       “Begitu saja alasanmu?!” hardik Darren. “Selalu itu alasan yang kau berikan. Semuanya terlalu rumit, rumit…saat pacaran dengan Mark semuanya rumit, putus dengan Mark semuanya juga rumit, jadian dengan cowok idamanmu sejak dulu juga terlalu rumit dan membahagiakan sampai kau melupakanku.”
       “DARREN!!” jeritku, tapi kemudian aku membisu.
       “Okay…sekarang semuanya sudah jelas dengan hanya membaca artikel itu. Bahkan Koran harian pun lebih jujur padaku daripada sahabatku sendiri.” Darren menghela nafas. “Aku jadi ingin memberi tip pada papparazi itu.”
       “Aku benar-benar minta maaf Darren…” Aku benar-benar merasa bersalah. “You know me…it’s not easy for me. I’m not ready to see your reaction.”
       “This is my reaction.” Katanya dengan sisa emosinya. Ia menghela nafas lagi, berusaha tidak membentakku.
       “But Darren…” aku menatapnya. “I never thought that Nicky loves me…”
       Dia benar, aku memang terlalu bahagia.
       “He loves me…he is my boyfriend.” Aku berusaha tidak menangis. “He said that he loves me…I can’t believe it until now but…he loves me back Darren!”
       Darren menggeleng dengan wajah pahit.
       “Kau pikir ini mainan ya?” ia menatapku. “Kuakui kau memang jauh berubah dari dirimu yang dulu. Kau cantik, kau mungkin punya daya tarik yang membuat dua penyanyi besar jatuh cinta. Tapi apa kau tidak pernah memikirkan apa resiko dari apa yang kau lakukan? Kupikir saat kau berhubungan dengan Mark, kau sudah bertekad melupakan Nicky secara total. Tidak semua orang akan percaya padamu Michelle, tidak semua orang akan mengerti. Akan ada banyak orang yang menganggapmu perempuan murahan. Aku tahu kau akan susah melaluinya.”
       Tidak ada sedikitpun kebahagiaan didalam wajah Darren. Padahal aku berpikir ia akan senang karena aku sudah mendapatkan Nicky setelah bertahun-tahun memendam cintaku. Padahal aku sangat bahagia hingga rasanya akan sinting.
       “Bagaimana dengan Mark? Dan Georgina?”
       “Mereka…”
       “Stop. Kau tidak usah memberitahuku. Aku sudah bisa menebak jawabanmu. Aku tidak mau dengar itu. Yang jelas kau harus bersiap-siap menghadapi hal yang sangat sulit. Semuanya tidak akan semudah yang kau bayangkan.”
       “Aku tahu ini tidak mudah Darren, walaupun bodoh, tapi aku masih punya otak!” aku meledak. “Tapi apakah kau bisa mengerti perasaanku?! Aku benci tidak bisa berhenti mencintai Nicky! Tapi nyatanya aku masih mencintainya sampai sekarang. Kau tidak akan bisa mengerti bagaimana perasaanku saat ia bilang ia mencintaiku dari dulu. Aku tidak mungkin melepaskannya lagi! Dan Mark, aku tidak bisa menolak laki-laki sebaik dia. Kupikir aku bisa mencintainya, kupikir Nicky sama sekali tidak ada hati denganku!”
       “Bisa jadi Nicky bohong…” kata Darren. “Bisa jadi dia tidak mencintaimu sama sekali. Dia hanya menjadikanmu cadangan karena dia sakit hati putus dengan Georgina. Bisa jadi kan dia ternyata tidak ada perasaan apapun padamu?”
       “Kau jahat sekali Darren!” jeritku. “Tega sekali kau bicara jahat begitu!!”
       Aku ingin mengangkat tanganku untuk mendorong Darren sampai jatuh, atau memukulnya. Tapi ia sahabatku. Aku tidak mungkin melakukannya walaupun aku muak luar biasa mendengar kata-katanya. Aku juga ketakutan, takut bahwa ternyata kata-kata Darren benar. Kalau benar Nicky hanya memainkanku, lebih baik aku mati saja.
       Aku duduk di sofa, menutup wajahku. Tidak bisa menahan isak tangis yang memaksa keluar. Aku benar-benar hopeless. Tidak tahu apa yang harus kulakukan sekarang. Darren tidak mendukungku. Bahkan Darrenpun tidak. Jadi, seluruh dunia juga akan sama. Aku masih berharap Darren akan menyesal dengan kata-katanya dan memelukku. Tapi nyatanya ia tetap berdiri ditempatnya.
       “Kalau kau hanya menangis, mana bisa kau tahan nantinya.”
       Dia bahkan bicara begitu.
       Aku hanya bisa duduk diam. Sama sekali tidak membalas ucapan Darren.

***
       ***Nicky’s Pov***

       Kupikir keputusanku untuk mengumumkan hubunganku dengan Michelle benar. Dunia harus tahu kalau kami sudah seharusnya bersama. Aku senang dimana-mana terdengar berita tentangku dan dia. Tapi entah kenapa beberapa hari ini Michelle tidak mengangkat teleponku. Memang, ia sudah bilang padaku bahwa mulai sekarang-sekarang ini ia ingin fokus pada pekerjaan menulisnya. Tapi masa sih ia tidak sudi walaupun hanya sekedar mengangkat teleponku? Aku kan hanya ingin mengucapkan selamat pagi, selamat malam, atau selamat berjuang…
       “Nicky!” Brian tiba-tiba menubruk tubuhku dari belakang. Aku hampir jatuh kalau tidak bisa menjaga keseimbangan.   
       “What?!” seruku kesal.
       “Aku masih belum percaya kau pacaran dengan Michelle sekarang.” Brian mengangkat alis, membuka kaleng minuman isotoniknya.
       “Memangnya kenapa? We love each other since we were in high school.” Nicky merebut kaleng Brian dan meminum isinya. Brian buru-buru merampasnya. “Kemarin kan sudah kujelaskan dari awal…kalau kau masih bingung, baca novel Michelle. Aku tokoh utamanya tuh.”
       “Kau mau pamer atau apa?” Brian melirik Nicky. “Aku bisa mengerti. Kau memang lebih dulu mengenal Michelle. Kutanya Shane, Mark, Kian…dan mereka bilang mereka memang sudah punya firasat.”
       Aku tertawa kecil, menatap Mark dan Kian yang sedang bermain tennis dan Shane yang sedang menonton mereka. Mark yang mengajak kami untuk pergi ke lapangan tennis indoor pilihannya. Rupanya ia sudah gatal ingin menunjukkan kemampuannya lagi.
       “Aku menang lagi!” seru Mark sambil mencibir Kian. Ia mengangkat raketnya tinggi-tinggi.
       “Maumu apa sih Marky?” Kian bersungut-sungut. “Setelah ini kutantang kau main gitar listrik. Atau main piano?”
       Mark masih tertawa-tawa.
       “Ampuni aku master.” katanya.
       “Shane, lawan dia.” Kian terkesan merengek. “Kalau kau menang, makan siang setelah ini kubayar bagianmu!”
       Shane bangkit dari duduknya, meregangkan otot-ototnya.
       “Okay, nggak ada yang namanya tidak mungkin. Siapa tahu lapangan ini sedang berpihak padaku.” Shane berdiri bersebrangan dengan Mark yang sedang mengeluarkan ekspresi meremehkan. “Come on Mark!”
       “Wah! Shane serius rupanya!” Mark tergelak, memukul bola tennis dengan raketnya. Shane menyambut bolanya, Mark menyambutnya lagi, mereka bermain dengan sengit. Sampai rasanya aku seperti melihat ada aliran listrik diantara mata mereka.
       “Yah…kalian kan memang sangat mengenalku.” Aku tersenyum melihat sahabat-sahabatku. “Aku tidak begitu kaget kalau kalian tahu. Tapi sungguh, nggak ada yang seberani Mark. Seenaknya saja menjadikan Michelle sebagai pacarnya.”
       “Mungkin saja Mark sudah menciumnya, atau bahkan lebih parah lagi…” Brian nyengir lebar sekali, meledekku.
       “Diam kau Bri…” Aku menutup mulutnya untuk menghilangkan cengirannya yang menyebalkan.
       “Bolanya jatuh Mark!! Sudah satu kosong!” Shane menunjuk-nunjuk Mark sambil tertawa. “Aku unggul! Tuh kan, sudah kubilang lapangannya baik padaku!”
       “Aaaah! Shut up Shane! I’ll win!” Mark terlihat agak kesal.
       “Eh tapi maaf, aku capek, lagipula bosan…aku punya firasat kau akan kalah telak. Jadi sudahi saja ah…” Shane meletakkan raketnya. “Jadi, satu kosong. Aku yang menang.”
       “Curang amat sih!” Mark tidak terima. “Mana bisa begitu!!”
       Shane dan Kian berhighfive sambil tertawa-tawa licik.
       “My lunch, Ki!” seru Shane.
       “Okay!” Kian tertawa.
       “Nicky!! Lawan aku!!” ujar Mark kesal.
       Rupanya aku jadi korban kekesalan Mark kali ini. Aku tertawa, lalu berdiri diseberang Mark.

***
       McDonalds menjadi pilihan simple kami untuk makan siang kali ini. Wajah Mark sudah kembali cerah karena mengalahkanku dan Brian berturut-turut setelah itu. Aku bisa saja mengalahkannya, setidaknya aku atlet. Tapi yang penting manusia gendut itu tidak terus-terusan cemberut sepanjang hari.
       Kulihat Mark, Brian, Shane, dan Kian sedang melahap menu mereka masing-masing. Aku belum memesan apa-apa. Aku terpikir Michelle, aku kangen padanya sampai kehilangan nafsu makanku. Aku ingin meneleponnya lagi. Tapi aku tidak mau mengganggunya. Terpikir olehku apa dia tidak kangen padaku? Sudah lebih dari seminggu kami tidak bertemu.
       “Nicky, makanlah.” Shane menatapku. “Kita kan habis olahraga.”
       “I miss Michelle…” desahku.
       Mereka berempat bertatapan.
       “Haaaaaa! Nico masih dicuekin!” ejek Brian.
       Shane terlihat tidak tega dengan ekspresiku.
       “Shut up Brian…okay, Nicky. Just eat now, we’ll go to Michelle’s apartment after this.” Shane tersenyum. “Sesibuk apapun dia, tidak mungkin dia mengusir kita kan?”
       Aku tersenyum pada Shane.
       “Good decision…I’ll eat.” Aku bangkit dari dudukku untuk memesan makanan. Aku mengantri dibelakang satu orang. Tiba-tiba segerombol anak remaja cewek masuk kedalam McDonalds dan dua dari mereka mengantri dibelakangku. Aku menunduk untuk menyamarkan wajahku. Mereka mulai berisik bergosip macam-macam.
       “Menurutmu Michelle Myron cantik nggak?”
        Aku melebarkan mataku mendengar percakapan mereka.
       “Georgina Ahern lebih cantik dan elegan. Apa sih yang ada diotak Nicky? Aku kurang suka cewek itu. Setelah pacaran dengan Mark, lalu pacaran dengan Nicky?”
       “Memang aneh. Tapi Nicky bilang dia memang menyukainya dari dulu.”
       “Terus Mark bagaimana? I think she’s such a bitch.”
       “Yeah, bitch.”
       Telingaku memanas mendengar kata-kata mereka. Tapi aku tidak mungkin berbalik badan dan membentak mereka kan? Aku terpikir Michelle. Apa dia baik-baik saja? Aku hanya terdiam saat pelayan akan melayani pesananku. Aku justru berbalik badan dan keluar dari McDonalds, berjalan menuju mobilku. Aku sempat mendengar the lads berseru memanggilku. Aku yakin mereka pasti mengikutiku. Aku tidak peduli, kuinjak gas dalam-dalam dan mobilku melaju kencang dijalan raya. Aku tidak mengurangi kecepatan. Aku diberi hadiah bunyi klakson dari mobil-mobil disekitarku.
       Aku membelok ke sebuah jalan besar. Lagi-lagi orang dalam mobil disampingku membunyikan klakson. Aku menghentak-hentakkan kakiku ketika lampu merah menyambutku. Aku melirik kaca spion. Aku bisa melihat mobil Kian dibelakang mobil-mobil. Ketika lampu hijau menyala aku langsung tancap gas lagi. Setelah beberapa kilometer aku berbelok lagi, mengurangi kecepatan, lalu menuju parkiran sebuah gedung apartemen. Aku memarkir mobil dan langsung menghambur keluar dari mobilku.
       Untungnya Michelle tinggal dilantai tujuh. Aku tidak usah mati-matian naik tangga sampai nafasku habis. Aku buru-buru menaiki tangga dan menuju sebuah pintu. Lalu menekan bel disamping pintu, setelah beberapa lama menunggu, akhirnya pintu terbuka. Tapi bukan Michelle yang berdiri didepanku. Disana berdiri seorang pria yang agak berwajah Asia.
       “Who are you?” Firasatku tidak enak melihat ada laki-laki lain didalam apartemen Michelle.
       “I’m Clark Aiber, Michelle’s editor.” Pria didepanku tersenyum tipis.
       Aku menghembuskan nafas lega.
       “Where’s Michelle?” tanyaku. “Can I come in?”
       Clark menggigit bibirnya.
       “Well, masuklah…” ia melebarkan pintu. Aku langsung masuk kedalam, mencari-cari Michelle dengan bolamataku. Ia tidak ada diruang tengah. Aku menuju kamarnya dan membuka pintu, kudapati Michelle sedang duduk di tempat tidurnya dengan wajah kuyu. Rambutnya tidak disisir seperti dulu dan diikat asal-asalan. Kulihat airmata menggantung di kelopak matanya saat ia melihatku masuk. Hatiku menciut melihat penampilannya. Aku duduk disampingnya, meraih tangannya dan menggenggamnya erat-erat. Kukecup keningnya, kubelai helai rambutnya yang berantakan.
       “What’s going on? What happen to you, honey?” tanyaku lembut.
       “I can’t, Nicky…” Jawabnya pelan.
       “What do you mean?” aku mengelus pipinya yang pucat.
       “I can’t stay any longer in this relationship…” ucapnya lagi. “I’m sorry, Nicky…”

***

Minggu, 15 Juli 2012

The best birthday ever!

Part 1. shita and josie

Aku bingung cerita mulai darimana. oke, mulai dari tanggal 13 July. aku dikerjain sama shita dan josie. westlifers yang kenal di bbm. mereka tiba-tiba marah-marah ga jelas di bbm sama sms. katanya aku ngomongin mereka dibelakang. oke, langsung badmood abis kan. ga lucu banget. malem tanggal 14 july. nyaris tanggal 15, aku ditelepon sama shita. dia marah-marah di telepon tengah malem. kurang bangke apa?

"mal, emang apa sih yang berubah dari gue? jujur gue kecewa banget!"
*cengo*
setelah bermenit-menit bacotan dia nanya jam.
"Mal, sekarang jam berapa sih?"
"udah jam dua belas..."
tiba-tiba telepon mati. dan tiba-tiba josie bbm aku ngasih foto tulisannya "HBD kak malika" dan dia ngucapin happy birthday. shita nelpon aku lagi, ternyata masih mau lanjut bacotan. pas dia udah mulai ngomong, aku bilang aja "Ta, udah ta! Josie udah BBM gue!" dan dia pun ketawa nista. oke, jadi...shita, josie...thanks a lot udah bikin badmood dari tanggal 13! sumpah kalian bangke sekali. tapi thanks banget ya buat beha girls :*

Part 2. Putri Altri Nurina

Tanggal 14 july, putri, westlifer yang paling deket sama aku juga marah-marah ga jelas pake kata-kata kasar mampus. bacot lah kita disana. ngomongnya itu keterlaluan banget -_- padahal aku ga pernah nyari masalah sama dia. dia unfollow aku. aku unfollow balik aja biar puas. darah ga ngalir pas baca sms dia. otomatis emosi. jadi aku bales sms dia juga marah-marah.

besoknya dia mention ngucapin happy birthday dan ngasih link youtube. dan ternyata itu birthday video for me! isinya foto-foto Nicky, Niall sama Hayley. put, sumpah ya. kita belum pernah ketemu. tapi lo so sweet banget sama gue. thanks a lot. I love you! walaupun sms lo kebangetan! liat aja nanti gue mah bales dendam!

Part 3. Family

Ulang tahunku sebenernya ga pernah dirayain. tapi berhubung sweet seventeen, ayah nawarin ngerayain ulang tahun. jadi siang-siang sodara-sodara pada dateng. dan kado-kadonya sumpah semua yang aku pengenin! boneka beruang warna ungu yang gede banget, dompet, jam tangan, baju, mukena (berhubung mukena saya sudah butek), tas, boneka babi, uang, dan yang bikin aku mangap, aku dikasih kado dari nenek dari ayahku. katanya sih buat persiapan kuliah. pas aku buka, demi kolor warna-warni isinya...laptop. sumpah itu seneng banget. soalnya laptop itu bukan cuma buat kuliah tapi bisa buat nulis dimana-mana. because I love writing very much. makasih andung :*

makasih ayah sama bunda yang udah bikinin pesta buat aku :) makasih buat semua deh! om, tante, nenek, kakek, sepupu, ponakan...today's very special and you're the best big family in the world. kalian bikin acara ulang tahun aku jadi bener-bener special. maksih juga kuenya. aku suka banget. dan yang paling penting, terima kasih untuk doanya. itu sangat berharga buat aku. aku sayaaaaaang banget sama keluarga besar aku.

Part 4. Begadul, Gista, Resti and Sofyan

"Mal, gue ga bisa dateng..."
itu kata-kata nadia pas aku udah undang dia ke acara ulang tahun aku abis maghrib. itu, pasti kecewa banget. soalnya balqis juga ga boleh dateng gara-gara besoknya sekolah. anak-anak nihon juga ga bisa dateng, Fitri, Nurul juga ga bisa dateng, dan Nita males-malesan dateng ke rumahku gara-gara Balqis Nadia nggak ikut. bete banget. sodara udah pada pulang, dan aku sempet nangis saking bangkenya. kesel kenapa ulang tahunku harus sehari sebelum masuk sekolah. pas lagi bete gitu, Gista sama Resti dateng. dan mereka yang bikin aku seneng lagi. kita ngomongin macem-macem. jujur aku udah kangen banget sama mereka soalnya liburan lama banget. mereka ngasih boneka beruang ungu yang lebih kecil. jadilah itu di kasur tergeletak ibu dan anak boneka beruang warna ungu. pas lagi ngobrol-ngobrol, tiba-tiba kak dinda sama danti masuk ke kamar aku.
"Kika disuruh kak dita ke rumah tuh, disuruh ambil kado..."
akhirnya aku keluar sebentar ninggalin Gista dan Resti di kamar. dijalan aku cerita ke kak dinda sama danti gara-gara kesel temen-temen pada nggak dateng. itu curhatnya sambil cemberut banget. harusnya aku ngaca tuh. pas di belokan, masih cerita tuh. tiba-tiba dari belakang ada yang nyiram aku pake air. seeerrrr seluruh badan langsung basah kuyup. belom sempet nengok, aku ditaburin kopi bubuk sampe kelilipan, diceplokin telor di kepala, dan entah bahan-bahan kimia beracun apa lagi yang di tuangin ke badan aku. syok setengah idup. pas aku denger suara ketawa-ketawa setan, aku sadar. itu nadia, isna, sama nita.
"ANJIR LO SEMUA!!EH INI KELILIPAN!!GA BISA MELEEEK!!" aku ngomel-ngomel didepan rumah orang sampe didenger tetangga-tetangga. oke, itu badan bau banget. ga nahan banget baunya. lengket, gatel, dan nggak bisa buka mata. pas bisa buka mata dikit, aku liat nita sama nadia bawa dua kue kecil sama lilin angka 17. Isna foto-foto pake SLR. dan itu sumpah kancut banget. muka lagi aib setengah mati malah difoto-foto pake SLR yang ga bisa nipu! kalo ancur, ancur aja udah muka. oke, pasrah. tapi disamping itu, aku ga nyangka mereka bakal kasih surprise. and it's too sweet. kak dita ngasih tempat minum yang gambarnya foto aku (demi apapun aib), foto westlife sama tulisan-tulisan happy birthday. TBH, I like it! makasih kak dita :* then, aku mandi hampir dua jam! susah banget yang namanya bersihin rambut. abis mandi, sofyan ternyata udah dateng. ngasih boneka kecil. aku sayang banget sama kalian. oke, aku akuin ini surprise paling berhasil, paling bangke, paling manis yang pernah ada. I love you all, too much!

and... sorry yang nggak aku sebutin disini. makasih buat ucapan-ucapannya. makasih buat westlifers, temen-temen SMP sama temen-temen SMA 7, yang ngucapin di BBM, twitter, facebook, sms...makasih buat anak-anak nihon yang ngirim VN teriak-teriak dari UI, makasih semuanya. tanpa kalian, entah...ulang tahun sweet seventeen ini akan jadi bagaimana.

terakhir, buat mama di surga...makasih ma buat semuanya. sekarang aku udah 17 tahun, dan mudah-mudahan bisa bikin mama bangga, bisa tambah dewasa, bisa mencapai cita-cita, mama, disini aku kangen sama mama. entah rasa kangen ini nggak bisa digambarin lagi. kalo ada mama disini, ulang tahun ini akan lebih membahagiakan lagi. tapi aku tau disana adalah tempat terbaik mama. mudah-mudahan kita bisa ketemu lagi nanti di surga. Amiin, amiin ya rabbal alamiiin...

thanks to all, it's more than just amazing :) xxx - Malika

Sabtu, 14 Juli 2012

The Blue Eyes of the Lighthouse (part 11)

       
       Ketika aku sampai dirumahku, jam tanganku sudah menunjukkan  pukul tujuh malam. Aku membuka gerbang rumahku dengan tubuh kedinginan. Baru kusadari sebentar lagi salju akan mulai turun di irlandia. Aku cepat-cepat menutup gerbang, tidak sabar ingin meminum secangkir besar coklat panas. tapi bukannya masuk kedalam rumah, aku malah terpaku dengan tubuh yang makin membeku menatap ke teras rumahku.
       Nicky duduk didepan pintu masuk rumahku, tertidur disana.
       “My Goodness...Nicky what are you doing here?” aku menyentuh pipinya yang dingin.
       “Ng?” ia membuka matanya. Menatapku sejenak dengan muka bingung. “Hmmm...I’m waiting for you. Aku ketuk-ketuk pintunya tapi tidak ada jawaban. Jadi aku duduk disini saja menunggu siapapun yang datang...dan malah ketiduran.”
       “It’s so cold outside! My parents went to coleraine and they’ll come back tomorrow. I’m alone here.” Aku merogoh tasku, mengambil kunci pintu. “Kenapa kau nggak pulang saja?”
       “Where have you been?” Nicky balik bertanya, tidak menjawab pertanyaanku.
       “Hmmm...book store?” Aku membuka pintu. “Let’s come in. It’s so cold...”
       “And where’s your book?” ia mengangkat alis, tidak bergerak sedikitpun.
       Aku menghela nafas, merapatkan mantelku, lalu menatap wajahnya.
       “I met Mark.” Kataku jujur, masuk kedalam rumah. Nicky langsung berdiri dan mengikutiku masuk, aku menutup pintu.
       “And you didn’t say anything to me?” Wajah Nicky menegang.
       “Come on Nicky, it’s just Mark!” Aku menatapnya.
       “But you’re my girlfriend.” Suaranya terdengar tenang, tapi ada kecemburuan terselip didalamnya. Aku merasa aneh dengan sebutan itu, seketika wajahku bersemu merah. “I called you but you didn’t answer. I just wanna know where did you go.”
       Aku mengambil handphoneku dan melihat ada tiga missed call dari Nicky. Aku lupa dari tadi aku mengaktifkan menu silent di handphoneku. Yang artinya, aku sama sekali tidak dengar Nicky meneleponku.
       “I’m sorry...” Kataku menyesal.
       “It’s okay...” ia menggenggam tanganku. “Aku tidak mau jadi orang egois yang marah-marah hanya karena kau bertemu dengan sahabatku, aku juga tidak mau jadi orang menyebalkan yang menerormu kemanapun kau pergi. Aku cuma khawatir kenapa kau tidak mengangkat teleponku. Selama ini aku selalu jadi orang egois yang menyebalkan. Aku tidak mau stuck pada keburukan itu.”
       “Nicky sssshhh...” bisikku, tersenyum. “Aku tidak menganggap itu menyebalkan. Aku tersanjung kau khawatir padaku padahal umurku sudah bisa dibilang dewasa. Aku merasa kembali muda.” Aku sengaja menyelipkan sedikit joke, ia tersenyum geli.
       Aku naik ke lantai atas dan masuk ke kamarku untuk mengambil selimut, lalu turun lagi dan menyerahkan selimut itu pada Nicky. Ia menerimanya dan duduk di sofa ruang tamu. Aku menyalakan pemanas ruangan.
       “How’s Georgina? Is she okay?” aku duduk disebelahnya.
       “She’s good.” Jawabnya. “She’ll come back to ireland soon. She doesn’t want to tell me where she is now. Sepertinya dia dapat kenalan disana. Tapi dia bilang dia belum mau punya pacar lagi. dia bilang setidaknya kalau punya pacar, dia ingin mencari cowok yang tidak takut naik lift, dan aku tersanjung.”
       Tawaku meledak.
       “Yeah, yeah...hahahaha!” tawaku. “That’s a great choice.”
       “And are you ready?” Nicky menatapku. “To announce our relationship to the public...”
       Aku menggeleng.
      “It’s fucking hard. Everybody will hate me...” Kataku. “Aku pikir aku tidak akan diterima oleh fansmu. Dan fans Mark akan setengah mati membenciku. Semuanya akan beranggapan kau sinting karena meninggalkan Georgina dan memilihku. Segalanya sulit...dan aku sama sekali tidak siap...”
       “Michelle...I love you.” Ia menatapku lekat-lekat. “So everything’s gonna be alright. I promise it won’t be happen.”
       “I love you too.” Ucapku mati-matian dengan wajah panas. aku memejamkan mataku saat ia mencium dahiku. Kurasa jantungku akan meledak kalau aku tidak cepat-cepat menyingkir. Aku mendorongnya dan bangkit dari dudukku. “I’ll cook something for us.”
       Aku berjalan cepat kearah dapur. Ia menciumku dua kali. Dan itu membuatku gila. Walaupun ciuman keduanya hanya pada dahiku, tapi kurasa aku akan sinting karena terlalu bahagia. Aku bahkan hampir saja meletakkan cangkir diatas kompor. Aku mulai memasak tanpa berani menatap wajahnya lagi, karena kalau aku menatap wajahnya, aku pasti akan melakukan hal bodoh seperti merebus air diatas penggorengan.

***
      
       Begitu membuka mataku, aku merasa agak gerah.
       Kemudian kusadari aku memakai dua lapis selimut hingga menutupi kepalaku dan menyalakan pemanas ruangan. Aku menyingkap dua lapis selimut itu dan mengelap keringatku dengan sebelah tangan. Kulirik jam weker terkutuk itu, jam dua pagi. Ya, waktu yang “tepat” untuk bangun dalam keadaan gerah.
       Tentu saja, ketika aku terbangun hal yang pertama kupikirkan adalah Nicky. Aku mengingat kami duduk berdua di meja makan tanpa siapapun yang bisa mengganggu. Dering telepon sekalipun. Memakan telur ceplok gagalku dengan perasaan yang hangat, tertawa-tawa seakan-akan tidak akan ada penderitaan yang bisa mengusik kami. Aku ingat saat ia pamit diambang pintu rumahku dengan suara husky yang kusukai, dengan senyum hangat yang tidak pernah bosan kupandangi. Aku yakin tidak ada yang bisa membuatku lebih bahagia dari ini. aku berani bersumpah.
       Aku tahu disaat perasaanku keterlaluan hangat begini, apa yang ingin kulakukan sekarang. Aku tahu betul. Aku ingin menulis, melanjutkan novel keduaku yang sempat terbengkalai. Aku meraih saklar lampu dan mencari-cari laptopku. Hampir sepuluh menit aku mencari-cari dengan hasil nihil. Aku panik ketika menyadari laptopku hilang. Sedetik kemudian, aku menepuk dahiku. Laptop itu pasti masih kutinggal dibawah.
       Dengan langkah teratur, aku menuruni tangga kayu dan buru-buru mencari laptop itu dengan kedua bolamataku. Benar saja, laptop itu tergeletak diatas meja didepan sofa tempatku dan Nicky duduk tadi. Aku meraihnya dan kembali keatas. Mataku sebenarnya masih perih karena baru bagun tidur, tapi itu tentu saja bukan masalah. Aku tetap bisa mengetik walaupun barusan aku salah memencet folder. Aku membuka folder yang sudah lama sekali tidak kubuka. Kubaca judul satu-satunya file yang ada didalam folder itu. “A letter for my Lighthouse”
       Surat bodoh yang kutulis pada masa-masa patah hatiku. Merasa tergoda, aku membuka file itu dan membaca surat bodoh itu, tersenyum geli, berpikir begitu melankolisnya aku saat itu. Aku terpaku saat selesai membaca kalimat terakhir pada surat itu, merasa sangat janggal. Halaman pada file ini masih ada selembar lagi. padahal suratnya sudah selesai. Aku menggerakkan kursor kebawah dan menemukan sesuatu yang mengejutkan. Aku menemukan satu halaman yang penuh dengan tulisan asing. Aku tidak ingat pernah menulis ini. kubaca tulisan itu dengan bingung.
       “For Michelle, from your lighthouse.
       Wow, entah aku ini kurang puitis atau apa. Aku suka sekali panggilan rahasiamu padaku. Maaf kalau aku lancang, atau mungkin kelewatan lancang membuka-buka file pada laptopmu. Tapi aku yakin kau memaafkanku. Setidaknya sekarang aku yakin. Entah kalau besok. Lighthouse...panggilan yang nyaris membuatku gila.
       Michelle, kau pasti tidak percaya aku nyaris menangis membaca surat yang kau tulis diam-diam itu. Kau sangat keliru jika kau bilang aku akan melupakan pertemuan pertama kita. Aku bahkan masih ingat tiap detik dari saat istimewa itu. Saat kita tabrakan dan itu menjengkelkan. Terus terang saja. Sepeda kebanggaanku tergores karena kejadian itu. Lalu, aku ingat ketika aku bangkit dan berdiri, yang pertama kulihat adalah rambut paling berantakan yang pernah kulihat seumur hidupku. Ehm, kecuali rambut gelandangan yang kutemui baru-baru ini di Dublin.
       Jengkel, itu hal pertama yang kurasakan. Lalu kemudian, rasa bersalah. Sudah membuat wanita berantakan itu luka-luka di lututnya.  Berikutnya, aku merasakan sesuatu yang bahkan aku tidak tahu namanya. Hangat, bukan pada tubuhku. Tapi jauh didalam dadaku. Cinta? Kurasa aku sinting kalau menyebutnya cinta. Karena sosok yang kulihat itu benar-benar hancur sampai susah disebut sebagai wanita. Aku berusaha memahaminya. Kutatap wajahmu yang luar biasa dongkol saat itu. Aku mungkin tidak bisa menyebutnya cantik. Tapi hangat, familiar, seperti bagian puzzle dihatiku yang hilang, kemudian kutemukan lagi. dan aku setuju dengan hati dan otakku bahwa aku resmi bisa disebut sinting mulai detik itu. Aku mencintaimu. Ya, bahkan pada pertemuan pertama kita.
       Kau ingat lagu yang kunyanyikan dibawah balkonmu? Puzzle of my heart. Lagu dari coast to coast yang sangat cocok untuk mendeskripsikan dirimu. Kau bagian dari diriku yang hilang. Aku bahagia bisa menemukan bagian penting itu lagi kedalam pelukanku. Tapi setelah hari pertemuan yang luar biasa itu, aku sadar aku memiliki Georgina. Wanita yang bahkan bisa disebut sempurna, diluar topik bahwa tidak ada yang sempurna didunia ini. sejak hari itu, hatiku adalah bagian diriku yang paling kubenci. Aku benci jatuh cinta padamu. Aku benci karena aku tidak bisa mencintai Gina walau berusaha sekeras apapun. Rasa benci itu, yang membuatku bisa menyembunyikan perasaanku padamu. Tak kubiarkan sedikit saja tatapanku ditebak oleh siapapun. Walaupun aku menatapmu dengan perasaan manis sekaligus pahit, tidak akan ada yang bisa menyebutnya cinta. Tidak, kecuali diriku sendiri.
       Tapi kemudian, kusadari ternyata aku salah. Serapat apapun rahasiaku, pasti akan terbongkar juga. Gina menyadarinya, kemudian Mark, aku tahu mereka sadar. Walaupun aku terus mengendalikan diriku yang penuh dusta tanpa mempedulikan mereka yang telah membongkar rahasiaku. Mungkin kau ingat hari pertama kau berubah. Rambutmu terlihat halus, aku bisa gila karena keinginanku untuk menyentuhnya. Seragammu rapi, baumu berbeda. Sedikit lebih baik. Kau cantik. Dan malam itu aku tidak bisa tidur sama sekali. Memikirkan setiap jengkal perubahanmu yang sangat mencolok. Aku tahu, aku makin mencintaimu. Aku tahu, aku semakin membenci hatiku. Perasaan bersalahku pada Gina bertambah. Aku tidak mau melihatnya menangis. Tidak sekalipun. Aku sangat menyayanginya. Untuk alasan simple itu, aku bersumpah tidak akan meninggalkannya. Selamanya.
       Tapi aku keliru. Melihatmu menjalin hubungan dengan Mark menyiksaku. Sakitnya bahkan tidak bisa kugambarkan. Aku tahu aku brengsek. Tapi pertarungan sengit didalam hatiku tidak bisa dihentikan. Aku tidak sanggup meninggalkan Gina. Tapi aku juga tidak sanggup melihatmu bersama Mark. Aku adalah manusia yang bertengkar dengan hatiku sendiri. Rasanya sakit, hingga aku bisa mengungkapkan perasaanku padamu. aku sangat berterimakasih pada Gina. sampai rasanya seumur hidup pun aku tidak akan bisa cukup mengucapkan terima kasih padanya.  
       Rasanya, balasan surat yang kutulis ini harus dihentikan. Kalau kau penasaran kapan aku menulis ini, akan kuberitahu rahasianya. Aku menulis ini saat kau sedang memasak didapur dengan bau yang tidak karuan. Aku tidak pernah melihat orang memasak telur ceplok segini lamanya. Oh, aku mendengar kau mematikan kompor. Itu artinya, aku harus selesai. Terima kasih sudah membaca ini. aku mencintaimu.
       Nicky x”
***
       Dari semua kesialan-kesialan yang pernah Nicky buat, ia tidak pernah se- “sialan” ini. sialan dalam arti yang berbeda. Setelah membaca suratnya, aku tidak tidur sama sekali. Aku tersenyum-senyum sambil menangis sesenggukan. Seperti pasien rumah sakit jiwa yang sudah sakit jiwa akut. Aku tidak menulis satu hurufpun. Aku tidak jadi melanjutkan novelku. Ide cemerlangku buyar sama sekali. Aku membaca surat itu berkali-kali sampai tertidur dengan mata sembab.
       “Michelle?”
       Aku membuka mataku lebar-lebar. Duduk dengan terkantuk-kantuk. Hasil dari tidak tidurnya aku, aku nyaris tertidur di cafe tempatku dan editorku bertemu. Bahkan disaat editorku sedang berorasi. Kalau aku masih sekolah, aku pasti sudah disetrap.
       “Yeah Clark?” aku menguap.
       “Aku mohon katakan padaku kalau kau sedang memberiku lelucon. Terlalu kurang ajar kalau kau tertidur saat aku bicara.” Kata editorku.
       “Maaf, aku mungkin kurang ajar sejak lahir...” kataku.
       Editorku bernama Clark Aiber. Aku bertemu dengannya sebelum novel pertamaku terbit. Ia adalah salah satu murid kesayangan Mum. Aku yakin aku belum cerita. Ya, Mum memang mantan guru. Dan Clark dengan senang hati menjadi editor putri dari guru kesayangannya. Clark berambut hitam dan wajahnya agak asia. Warna matanya gelap, tapi aku bersumpah dia tampan, dan tentu saja sudah punya pacar. Kami sering bicara di SMS walaupun hanya bertemu sekali-sekali. Aku suka sekali konsultasi dengannya. Masalah tulisanku, tentu saja. Dan kali ini dia gemas karena novel keduaku bergerak luar biasa lamban.
       “Okay, sekarang buka matamu.” Katanya tegas.
       “Aku yakin matamu tidak kenapa-kenapa Clark. Aku sudah membuka mataku daritadi.” Kataku membela diri. Clark mendesah, aku yakin ia ingin sekali menyiramku dengan lemonade dihadapannya.
       “Michelle, mungkin menyebalkan mengatakan ini, tapi, harus kukatakan. Kau punya banyak fans. Walaupun bukan fans yang akan fangirling didepan mukamu saat bertemu. Fans yang menyukai tulisanmu. Oh, aku selalu bermimpi punya fans. Kau sudah mendapatkannya. Cepat selesaikan novelmu sebelum fansmu mati karena kelamaan menunggu!”
       “Aku fansmu Clark.” Kataku.
       “Trims...” Ucapnya dengan nada pahit.
       “Maafkan aku. Setelah ini aku akan mati-matian didepan laptopku. Dunia ini terlalu asyik untuk malas-malasan.” Aku tertawa, lalu kulihat wajah Clark sperti ingin menerkamku. “Bercanda, aku bercanda. Aku bukannya malas. Tapi waktu dan tempat selalu tidak mengizinkanku.”
       “Okay, kusimpulkan kau terlalu banyak pacaran dengan penyanyi bernama Mark itu.” Kata Clark.
       “Nicky.” Koreksiku.
       “Aku nggak yakin dia sudah berubah nama.” Clark mengangkat alis.
       “Aku sudah putus dengan Mark, pacarku sekarang Nicky Byrne.” Kataku.
       “Lucu sekali. Mungkin setelah ini kau akan pacaran dengan Brian McFadden?”
       “Mungkin saja.” Kataku bercanda.
       Clark mengerang.
       “Cukup bercandanya, Michelle.” Ia menggeleng.
       “Aku tidak bercanda, aku benar-benar pacaran dengan Nicky.” Aku meminum kopi panasku. “Khusus untukmu, aku sangat jujur.”
       “Okay, mungkin kau terlalu banyak pacaran dengan Micky itu...”
       “Nicky...”
       “Terserah.” Ia mendesah. “Aku minta kau serius pada profesimu ini.”
       “Hmmmm. Okay?” aku tersenyum.
       “Bagus...kutunggu naskahmu.” Clark balas tersenyum.

***