Jumat, 01 Februari 2013

present



This story is dedicated for sweet 17th birthday of my best Westlifer friend, Putri Altri Nurina. Happy birthday dear! wish you all the best, wish your dreams come true, and I hope you'll like it. Sorry if it's bad. I've tried my best to make your day. here you go...

.
.
.
      


A Clover That Smells Like Rose

          Jika aku sedang berada didalam buku cerita, aku bukan seorang  pangeran yang sedang jatuh cinta pada putri dari kerajaan lain, atau ksatria yang melindungi seorang gadis cantik dari para penjahat. Aku adalah pengembara. Pengembara yang tidak tahu arah. Bahkan tidak tahu kemana ia akan mengembara.
       Aku mengerti bagaimana rasanya saat hal misterius yang disebut cinta mengendap-endap dihatiku. Mengendap, berbekas, terpahat, atau bahkan tergores hingga perih. Aku tahu rasanya menjadi orang bisu yang tidak bisa mengucapkan sepatah katapun saat berhadapan dengan gadis yang memahat namanya dihatiku. Aku tahu rasanya duduk dalam keputusasaan dalam ruangan gelap yang mengurungku, aku hanya bisa menulis puisi-puisi kosong yang tidak tersampaikan. Begitulah bagaimana hati itu pada akhirnya tergores.
       Itu cerita lama. Seperti halnya luka dilutut saat terjatuh dari sepeda, lama-kelamaan luka itu akan mengering dan sembuh. Hatiku utuh kembali, tanpa bekas luka. Hanya saja sekarang kurasakan rongga-rongga yang membuatku ingin menutupnya. Tapi tidak bisa. Aku ingin menemukan seseorang untuk menutup rongga-rongga itu. Tapi aku tidak tahu bagaimana caranya. Aku memang terkenal, dipuja, dicintai. Namaku selalu dipanggil oleh gadis-gadis. Bahkan aku memang bisa membuat gadis-gadis sesak nafas hanya dengan menatap mereka. Tapi, rongga itu tetap terasa.
       “Shane…”
       Seseorang berbisik ditelingaku, sukses membuatku spot jantung. Saat aku menoleh ke belakang, terlihat rambut spike blonde yang sangat kukenal, kemudian bolamata biru itu menatapku hangat.
       Walaupun aku seorang pengembara yang tidak tahu arah, tapi aku memiliki orang-orang yang menemaniku mengembara. Dan pria didepanku ini salah satunya, teman yang paling setia, sahabatku, bahkan aku ingin menjadikannya pacarku.
       Yang terakhir itu, aku bercanda.
       “Bisa kan memanggilku dengan tingkah yang biasa saja, Nick?” aku tertawa kecil.
       Ia memamerkan giginya. Seringai yang kusukai dari seorang Nicky Byrne. Ia duduk disebelahku, merangkulku erat.
       “Are you tired?” tanyanya.
       “Of course…I know that you are too.” Kataku santai. “Jadwal tour memang selalu membuatku agak sinting. Tapi juga bikin bahagia.”
       “I know.” Katanya sambil tersenyum. “Dan yang penting kita tidur bareng lagi malam ini dikamar ini, sebelum terbang ke Asia. Pasti penerbangannya sangat melelahkan…”
       “Mana Mark, Brian dan Kian?” tanyaku.
       “Entahlah, mungkin mereka di lobby hotel, dikepung para fans.” Nicky tertawa. “Aku sudah dapat giliranku kemarin malam saat mereka sedang enak mendengkur. Termasuk kau, dengkuranmu semalam hampir menyaingi dengkuran Mark, kau tahu…”
       Tawaku meledak.
       “Maaf deh, aku langsung tidur begitu sampai di London. Soalnya aku nggak punya pacar yang bisa kutelepon semalaman.” Sindirku.
       “Oho…ada yang cemburu disini.” cengir Nicky menyebalkan.
       “Maaf, aku masih punya banyak fans yang meneriaki namaku diluar sana.” Balasku.
       “Ampun, leader…” Nicky agak cemberut. “Aku memang nggak bisa mengalahkan golden voice mu. Sialan…”
       Aku tertawa lagi. Nicky selalu membuatku tertawa. Kapanpun, dimanapun.
       “Dengan seluruh hal luar biasa pada dirimu, aku yakin sebentar lagi kau dapat pacar. Model mungkin? Atau bahkan penyanyi?” Nicky tersenyum menghibur.
       “Mungkin aku lebih memilih gadis yang biasa saja. Punya pacar penulis sepertimu mungkin menarik juga…” cengirku.
       Nicky langsung mengacak-acak rambutku dengan wajah merah. Aku merangkul pundaknya sambil tertawa. Dan saat itu, pintu kamar kami yang tidak tertutup rapat sejak awal terbuka.
       “Maaf menggangu perbuatan kalian berdua…” Wajah Kian muncul dari balik pintu.
       “Kee, bahasamu ambigu amat sih.” Nicky protes.
       “Maaf mengganggu perbuatan kalian berdua…” wajah Brian ikut menyembul dari balik pintu, dengan cengirannya yang khas.
       “Dan kau Bri, tolong kalimat itu jangan diulang lagi.” Sahutku.
       Mark hanya tertawa kecil sambil melebarkan pintu kamar. Lalu mereka bertiga masuk dan duduk di sofa kosong. Brian langsung merebahkan tubuhnya di tempat tidur.
       “Buldozer super!” Brian langsung berguling-guling diatas double bed itu hingga benar-benar berantakan. Ia melempar salah satu bantal kearah Nicky.
       “Bri, kau curang. Aku juga mau ikut.” Kian menghampiri Brian dan menjatuhkan tubuhnya keatas tempat tidur.
       “Kalian berdua keluar saja sana…” Aku menghela nafas panjang.

*
       “Shane, wake up…” Aku merasa ada yang mengguncang tubuhku pelan. “Shane Steven Filan, kita ke Asia pagi ini.”
       Aku masih betah berbaring diatas double bed nyaman ini, aku hanya menunjukkan reaksi malas. Aku tahu Nicky pasti sudah berpakaian rapi untuk pergi ke airport, Kian sedang sibuk memilih baju apa yang akan ia pakai untuk pergi ke airport (dan sungguh, ini nggak penting-penting amat), Brian sedang asyik mengganggu dandan besar-besaran Kian, dan Mark masih mendengkur di tempat tidurnya. Prediksi yang jarang meleset. Aku tetap memejamkan mataku.
       “Shane masih belum bangun?” tiba-tiba terdengar suara familiar dari arah ambang pintu.
       “Belum…” Terdengar suara Nicky.
       Aku membuka mataku sedikit, terlihat Mark dengan baju yang sudah rapi, berdiri diambang pintu kamar. Aku langsung melompat bangun.
       “Mark?! Kau sudah bangun?!” ujarku.
       “Kagetmu berlebihan tahu.” Mark agak cemberut.
       “Habis biasanya tidurmu juga berlebihan, Freddie…” aku tertawa kecil, turun dari tempat tidurku. “Lalu Kian?”
       “Sudah selesai dandan.” Jawab Mark.
       Mataku makin melebar.
       “Jam berapa sekarang?” tanyaku takut-takut.
       “Jam setengah Sembilan.” Jawab Nicky.
       “Hah?! Flight nya kan jam Sembilan!!” jeritku jantungan.
       “Kau sudah kubangunkan daritadi…” Nicky menghela nafas.
       “Oh, My Lord…” aku langsung berlari meraih baju bersih yang sudah kuletakkan diatas meja. “Kalian kebawah saja duluan dan cepat check out! Nanti aku menyusul! Nick, tolong bawakan koperku!”
       “Okay.” Nicky dan Mark langsung berlari keluar.
       Yang benar saja?! Bisa-bisanya aku tidur seperti orang mati begini? Dan lagi bocah-bocah bodoh itu santai banget! Aku merapikan diri secepat mungkin dan berlari keluar. Aku sudah membayangkan wajah horror tour manager kami. Dan yang membuatku paling ngeri, kalau Louis sampai tahu aku bangun kesiangan dan…
       Saat pintu lift terbuka, segerombolan gadis-gadis remaja menatapku dengan mulut yang menganga. I’m in a trouble…benar saja, mereka langsung histeris berlari keluar dari lift dan minta foto denganku. Aku tidak bisa bilang kalau aku buru-buru, tentu saja. Mereka tidak memberiku kesempatan untuk pergi. Pintu lift tertutup lagi…Oh Tuhan…
       Aku berjalan kearah tangga darurat, dan lagi-lagi aku bertemu segerombolan gadis remaja yang menatapku tidak percaya. Aku tidak punya pilihan lain. Aku berlari menuruni tangga tanpa meladeni gadis-gadis itu. Aku tidak suka berbuat begini pada fans. Tapi mau bagaimana lagi…tunggu dulu…
       Mereka mengejarku.
       Oh, bodoh sekali aku tidak berpikir mereka akan mengejarku. Aku mempercepat langkahku. Entah sampai kapan aku harus menuruni anak tangga. Aku bukan Nicky yang terbiasa naik-turun lewat tangga. Belum apa-apa aku sudah rindu pada lift yang akan membawaku begitu cepat ke lantai dasar.
       Aku terus berlari, kemudian ponselku mulai berbunyi terus-menerus, suara para fans yang memanggil-manggil namaku terus terdengar,  aku hendak menginjak anak tangga berikutnya saat aku kehilangan kendali. Kaki kananku meleset dan kaki kiriku dengan refleks langsung mencari pijakan, namun tidak berhasil. Aku mulai meluncur dengan kecepatan mengerikan tanpa pijakan. Tubuhku jatuh berdebam pada anak tangga ketiga dari bawah sebelum mencapai dasar. Tubuhku meniban kaki kananku yang tertekuk tanpa aba-aba. Dan aku bersumpah, aku mendengar bunyi tulangku dan rasanya benar-benar sakit hingga aku tidak bisa menjerit.
       Terakhir, kepalaku membentur tembok dengan lumayan keras. Aku sudah tidak bisa mendengar apa-apa, konsentrasiku buyar dan pikiranku hanya terpaku pada rasa sakit ditungkaiku. Aku hanya tahu banyak orang histeris, ponselku terlepas dari tanganku, entah sekarang ada dimana.
       Jika aku sedang berada didalam buku cerita, aku bukan seorang  pangeran yang sedang jatuh cinta pada putri dari kerajaan lain, atau ksatria yang melindungi seorang gadis cantik dari para penjahat. Aku adalah pengembara. Pengembara yang tidak tahu arah. Bahkan tidak tahu kemana ia akan mengembara.
       Dan pengembara itu sedang terkapar tidak berdaya dibawah anak-anak tangga.

*
       “Kau membuat jantungku mau berhenti!!” jerit Nicky.
       Aku terbaring di tempat tidur rumah sakit terdekat dari hotel. Entah bagaimana, aku tidak ingat bagaimana mereka membawaku kesini. Sakit di tungkaiku benar-benar membuat otakku agak-agak error. Penerbangan kami ke China di cancel. Jadwal tour berantakan. Memikirkannya saja otakku rasanya mau meleleh.
       “Jangan ngomel, Nick…” gerutuku menatap gips yang menempel di tungkaiku. “Kakiku makin sakit nih.”
       “Tulangmu patah lho, Shane.” Brian menatapku.
       “Nggak usah diperjelas, aku sudah tahu, Deutzy.” Aku menunjukkan wajah depresi. “Tour Westlife paling hancur. Dan gara-gara aku.”
       “We don’t blame you, bro…” Mark duduk dikursi sebelah tempat tidurku. “Kami hanya khawatir setengah mati.”
       “Tenang sedikit.” Kata Kian. “Aku juga nggak menyalahkanmu.”
       “Tuh, kau dengar kata-kata seorang playboy, Kian Egan yang biasa bossy sekarang menjadi untaian kata-kata malaikat?” Brian mengeluarkan ekspresi berlebihan.
       “Apa maksudmu aku bossy?!” Kian mencubit pipi Brian. “Aku juga sudah menghubungi Louis, everything’s gonna be alright, Shane…”
       Aku diam sejenak, menarik nafas
       “Kian.” Aku menatap cowok playboy berambut blonde itu. “Aku tahu kau suka dandan. Tapi agak berlebihan kalau kau sampai memakai parfum cewek.”
       “What do you mean?” Kian mengangkat alis.
       “Hmmm?...apa kalian nggak mencium bau parum beraroma soft? Seperti bau mawar…” aku menatap empat temanku dengan dahi berkerut.
       Pintu kamar terbuka, seorang perawat masuk.
       Aku langsung menyadari, bau soft yang kucium berasal dari perawat itu, aku suka baunya. Sejenak aku seperti melihat bunga-bunga mawar bermekaran. Kulihat wajah perawat itu, bahkan lebih manis dari permen caramel yang kumakan beberapa hari yang lalu didalam pesawat. Kulitnya agak kecoklatan, persis seperti kulit yang kuharapkan saat aku berjemur di pantai Miami, atau Hawaii, atau Bali, atau apalah…tubuhnya tinggi, belum apa-apa aku sudah takut tinggi badanku dikalahkan olehnya. Rambut dark brownnya disanggul rapi, dan yang membuat tubuhku seakan dibekukan oleh sihir, bolamatanya yang kebiruan tengah menatapku. Bibirnya tersenyum kecil.
       “Aku diminta Dr. Lynch untuk memeriksa keadaan anda, sir.”
       Suaranya, bahkan aku suka suaranya.
       “Oh, I’m great...” aku berkata tidak sadar, wajahku memanas.
       “Gipsnya? Apa tidak ada keluhan?” tanyanya.
       “Huh? Ah…tidak. Lebih dari nyaman.” Kataku, mataku dengan cepat membaca tulisan di name tagnya, Ainsley Neason.
       Aku agak penasaran, apakah ia tidak kaget melihat Westlife didalam ruangan ini? apa ia tidak tertarik dengan lagu pop? Apakah ia nggak pernah nonton TV? Pikiranku mulai meng-explore secara berlebihan.
       “Can I…” ia menunduk sesaat setelah memeriksa gipsku. “Can I have…”
       Wajahnya bersemu merah.
       “Your autograph?” suaranya hampir menyerupai bisikan. “Actually I’m a Westlife fan.”
       Mataku melebar. Ternyata ia salah satu fan kami. Aku meraih CD coast to coast Westlife dan bolpoin yang ia sodorkan padaku, kemudian kububuhkan tanda tanganku pada cover CD itu, lalu kuoper pada Mark. Mark dengan cepat langsung menandatanganinya.
       “Kebetulan sekali kau bawa CD Westlife mu.” Celetukku.
       Ia menggeleng.
       “Aku selalu membawanya kemanapun.” Katanya. “CD Westlife itu, seperti…mmm semacam jimat untukku.”
       Baru kali ini aku bertemu orang yang menjadikan album kami sebagai jimat. Ia menerima kembali CD nya dengan wajah berseri-seri. Kemudian ia memeriksa letak bantalku. Agak aneh memang, aku tidak pernah melihat perawat yang akan memeriksa letak bantal pasien. Entahlah…mungkin itu semacam kebiasaan. Seperti Mark yang akan menggerak-gerakkan tangannya saat menyanyi, atau kebiasaan Nicky menjilat bibir.
       Saat ia keluar dari ruangan, aku masih mencium bau soft rose yang membekas pada udara didalam sini. Ada yang aneh. Benar-benar ada yang aneh dengan jantung dan wajahku. Terasa panas, nyaris terasa terbakar. Bolpoin yang kugunakan untuk menandatangani cover albumnya tadi bertuliskan “Team Filan”. Itu artinya aku adalah member favoritnya. Aku tertarik pada reaksinya yang tidak histeris seperti fans lainnya. Ia menatapku seakan menatap pasien biasa. Setidaknya menurut pendapatku.
       “Shane, kau ditempatkan di rumah sakit ini hanya seminggu lho.” Nicky berbisik ditelingaku. “Kalau kau tertarik pada perawat itu, lebih baik bertindak cepat.”
       “Siapa yang tertarik…” kurasakan wajahku merah terbakar saat menatap wajah Nicky. aku tahu aku tidak bisa berbohong padanya. Tidak sama sekali. “Yah…dia memang cantik…itu saja sih. Tidak perlu khawatir.”
       “Hmmmm?” bibir Nicky membentuk senyuman. Senyuman yang seakan meremehkan kemampuanku menyembunyikan perasaan. Kulirik Mark, Shane dan Kian yang sedang duduk di sofa sambil membicarakan perbaikan jadwal konser.
       Aku memalingkan wajahku.
       “Malam ini kami akan kembali ke hotel. Aku jamin kau tidak mau kami mengganggu waktu berhargamu. Nanti malam pasti ia akan kembali kesini bersama dokter yang menanganimu.” Nicky melirik arlojinya.
       “Nicky, jangan konyol dong.” Aku menggeleng.
       “You know me, Shane.” Nicky tersenyum. “Aku memang konyol.”
       aku menatapnya sesaat.
       “Kakiku sakit…” aku mengubah topik pembicaraan.

*
       Malam itu mereka berempat benar-benar meninggalkanku sendirian. Walaupun aku diminta untuk menelepon jika terjadi sesuatu. Aku menatap jam dinding. Besok Mam akan datang. Ia khawatir setengah mati saat mendengar anak bungsunya patah tulang. Aku menghabiskan makananku saat perawat itu masuk ke ruanganku bersama seorang dokter.
       Aku sama sekali tidak memperhatikan apa yang dikatakan oleh dokter yang menanganiku. Mataku sibuk memandangi wajah itu. Bahkan hingga dokter itu meninggalkan ruangan. Aku memalingkan wajah saat perawat itu lagi-lagi memeriksa letak bantalku.
       “Ada yang salah dengan bantalnya?” akhirnya aku bertanya.
       “Oh…ini kebiasaanku. Sejak ada pasien rumah sakit ini yang meninggal dengan posisi kepala yang tidak bagus.” Katanya.
       Aku meneguk ludah.
       “Hm, aku bukannya menakut-nakutimu.” Ia buru-buru menatapku. “Kau kan hanya patah tulang simplek, patah tulang yang tidak tampak dari luar dan akan sembuh dalam waktu dua sampai tiga bulan.”
       “Aku juga tidak merasa ditakut-takuti.” Aku tertawa. “Walaupun aku sempat depresi karena jadwal tour kami berantakan.”
       “Untuk lebih menenangkanmu, pada fase awal penyembuhan akan terjadi ledakan populasi sel-sel pembentuk tulang baru membentuk callus yang berfungsi sebagai ”lem” untuk menjaga agar tulang yang patah tidak mudah bergerak.” Ia tersenyum. “Lama kelamaan akan mengeras dan tulang immature akan menjadi tulang dewasa. Dan garis patah tulang tidak akan terlihat lagi. bersabarlah…”
       “Thanks…” wajahku memerah. “Penjalasanmu sangat membantu, Ms. Neason.”
       Hening beberapa saat.
       “Hmmm…keberatan untuk menemaniku?” aku berusaha tidak bersikap bodoh saat memberanikan diriku bicara. “The lads sedang dirasuki setan dan meninggalkan orang patah tulang sendirian disini.”
       Ia tertawa.
       “Sure, tell me if you need something.” Katanya.
       Aku menggeleng.
       “Just stay here, that’s all.” Kataku. “Ainsley.”
       Aku melihat wajahnya seketika gugup mendengarku menyebut nama depannya.
       “Sure…” gumamnya pelan.
       Malam itu kami mengobrol tentang Westlife. Sikapnya yang terlihat diam tiba-tiba berubah 180 derajat saat bicara soal itu. Ia berbicara dengan excited. Bahkan kupikir ia sedikit gila. Gila yang tidak merusak kecantikannya.
       Aku tidak percaya aku jatuh cinta pada pandangan pertama, pada seorang perawat rumah sakit yang hanya seminggu kutempati. Sejauh apapun aku berkhayal, tidak pernah aku berpikir akan begini terpesona pada perawat yang menanganiku. Segala bayangan Nicky tentang model atau penyanyi buyar begitu saja. Aneh, tapi terasa nyaman.
       Saat itu aku tahu, pengembara itu telah menemukan tempat tujuannya.

*
       “Shane!” tiba-tiba pintu ruangan terbuka. Aku langsung melihat kearah ambang pintu. Ainsley berdiri disana, ia memegang sebuah majalah yang memamerkan fotoku di cover depannya. “Lihat deh! Ini majalah yang memberitakanmu!”
       Ini hari ketiga aku dirawat di rumah sakit ditengah London ini. tiga hari, dan sikap Ainsley benar-benar berubah. Ia sangat komunikatif, kami seakan sudah berteman bertahun-tahun. Nicky, Mark, Brian dan Kian hanya melongo melihat Ainsley masuk sambil menyodorkan majalah itu padaku. Aku sendiri kaget.
       “Ah? Coba kulihat sebentar.” Aku meraih majalah itu. “Shane Filan patah tulang…ini headline news macam apa?”
       Kudengar Ainsley tertawa mendengar joke asalku.
       “Hmmm aku sih malu kalau aku jadi kau, Shane.” Kata Brian. “Jatuh dari tangga karena telat bangun. Lebih baik jadi pelawak saja sana!”
       Aku menghiraukan Brian.
       Hari ini Ainsley melepas sanggulannya dan membentuk kuncir sederhana, memperlihatkan rambut dark brownnya yang bergelombang. Lagi-lagi ia memeriksa letak bantalku, kemudian memeriksa gipsku.
       “Ini pasti masih terasa sangat sakit. Jangan sampai salah gerak.” Katanya.
       Telingaku menikmati aksen cerdasnya, kepalaku refleks mengangguk.
       “Dilihat-lihat, kau cantik juga.” Kian tiba-tiba menyeletuk, membuatku ingin menempeleng kepalanya. Memang sih ia playboy, tapi kalau sampai gadis yang kusukai diincarnya juga, rasanya aku sanggup mencukur rambut blonde kebanggaannya hingga botak.
       “Ainsley memang cantik. Kau baru sadar sekarang? Kau cowok macam apa?” aku mencibir Kian sambil tertawa.
       Kian hanya menggerutu mendengar cibiranku.
       Ainsley yang sedang mengobrol asyik dengan Nicky dan Mark tiba-tiba terdiam. Wajahnya tiba-tiba semerah bunga mawar yang selalu kubayangkan saat menghirup aroma parfumnya. Ia buru-buru tersenyum pada kami semua dan berjalan keluar. Aku menatap punggungnya hingga ia menutup pintu dari luar. Kenapa? Apa ia malu?
       Aku menatap Kian.
       “Kee, aku jarang bicara begini, tapi…” kataku. “bagaimana jika kukatakan padamu kalau aku sudah mengincarnya lebih dulu daripada kau?”
       “Kau pikir aku bodoh ya?” Kian tersenyum. “Aku sudah tahu.”
       Seketika aku merasa benar-benar malu. Kalau begitu berarti aku mudah sekali ditebak. Aku menatap wajah-wajah usil the lads. Buru-buru aku memalingkan wajahku. Aku sudah tidak bisa mengelabui mereka lagi. aku berharap wajahku tidak memerah didepan mereka.
       “Kau bisa saja jatuh cinta pada siapapun kan?” wajahku pasti merah sekarang.
       Keempat sahabatku tersenyum mendengar kata-kataku.
       “I fell in love with a messy girl.” Nicky tertawa. “Falling in love with a beautiful nurse is normal, buddy.”
       Aku menatap mereka.
       “Terserah, tapi jangan tinggalkan aku sendirian malam ini.” aku tersenyum. “Aku gugup setengah mati tahu.”
       “Malam ini biar aku yang menemanimu.” Kata Mark.
*
       *Ainsley’s Pov*

       Aku membuka pintu kamar Shane perlahan. Ini adalah hari ketiga ia dirawat dirumah sakit ini. sudah larut malam dan aku tidak ada jadwal jaga malam. Tapi aku tidak bisa tenang pulang tanpa melihat Shane sudah tertidur dengan tenang. Kutatap sosoknya yang sedang terbaring di tempat tidurnya. Perlahan aku mendekat kearahnya. Kulirik Mark yang sedang tertidur pulas di sofa panjang.
       Aku menyukai Shane. Aku suka suaranya, aku suka caranya berjuang didalam dunia musik, aku suka parasnya yang membuatku selalu terpesona. Ia adalah salah satu semangatku dalam mencapai cita-citaku sebagai perawat. Kadang saat aku melihat posternya dikamarku, aku berbisik dalam hati ingin menjadi pendampingnya suatu saat nanti. Tapi aku tahu itu tidak mungkin. Aku bukan siapa-siapa.
       Entah bagaimana, tiba-tiba aku menangis tanpa suara.
       Sepertinya terlalu menyakitkan jika harus berpisah dengannya setelah sekian lama aku bermimpi berdiri disisinya. Ia hanya seminggu di rumah sakit ini. setelah ini mungkin ia akan pindah ke rumah sakit lain didekat tempat tinggalnya. Kemudian setelah sembuh ia akan kembali sibuk. Dan tidak ada harapan bagiku untuk bertemu dengannya lagi.
       “Ainsley?”
       Aku berdebar. Shane terbangun. Mata hazelnya menatapku bingung.
       “Are you crying?” tanyanya.
       Aku cepat-cepat menggeleng.
       “Ke, keringat!” ujarku. “Ng, kelilipan!!”
       Shane menatapku membisu.
       “Sorry…” kataku lagi.
       “Tell me…” katanya. Suaranya benar-benar lembut. Membuatku ingin menangis lebih keras. “What’s the matter?”
       “Apa kau hanya dirawat seminggu disini?” aku menghapus air mataku.
       Ia mengangguk.
       “Apa aku bisa bertemu denganmu lagi setelahnya?” tanyaku lagi.
       “Kenapa tidak?” ia tersenyum.
       “Aku hanya satu dari fans mu yang tidak terhitung.” Kataku jujur.
       Bahkan dalam cahaya yang remang, aku bisa melihat wajahnya bersemu merah.
       “Jangan pikirkan itu sekarang…” katanya. “Besok, dan besoknya lagi kita masih bertemu.”
       Ia terdiam sejenak.
       “Besoknya lagi juga masih ketemu…” ia menghela nafas.
       Aku tersenyum.
       “Intinya kan empat hari lagi.” aku mulai tertawa geli. “Bertele-tele amat sih.”
       Shane menunduk sambil menggaruk kepalanya. Sepertinya malu kutertawai.
       “Yah, kalaupun kita nggak bisa ketemu lagi…” ia berdehem. “Aku nggak akan melupakanmu. Kau fans yang merawat patah tulangku.”
       “Kalau begitu…aku harus pulang. Kau juga mesti tidur.” Aku memeriksa letak bantalnya. “See you tomorrow.”
       Shane tersenyum. Melambaikan tangan kanannya.
       Aku keluar dari kamarnya dengan langkah pelan. Intinya…intinya pada akhirnya kita akan berpisah kan?
      “Shane…” bisikku pelan. Aku menutup wajahku. “Kenapa kau baik sekali?”
*
       Waktu seperti berlari.
       Hari keempat dan kelima seakan hanya berupa kedipan mata saja. Sekarang aku duduk di kantin rumah sakit dengan makanan yang belum disentuh. Hari keenam. Besok Shane akan pergi. Aku menatap gantungan kunci berbentuk kuda berwarna coklat gelap ditanganku. Benda yang ingin kuberikan pada Shane. Aku membelinya setahun yang lalu dengan harapan bisa bertemu dengannya.
       Aku hanya makan sedikit dan langsung menuju kamar Shane. Seperti biasa, the lads sedang berkumpul sambil bercanda.
       “Oh, Ainsley!” seru Brian. “Kami sedang diskusi apa warna kesukaanmu nih.”
       “Hah?” Aku tertawa.
       “Jangan dijawab dulu.” Kian mengangkat tangan kanannya. “Cewek seperti Ainsley pasti suka warna pink kan? Soalnya dia manis.”
       “Dia kan perawat, mungkin putih?” Mark mengusap dagunya.
       “Mark, pikiranmu terlalu monoton.” Kata Nicky. “Menurutku, image-nya cocok dengan warna merah.”
       “Menurutku sih dia suka warna ungu.” Brian menatapku. “Iya kan?”
       “Maaf, tapi semuanya salah.” Aku tertawa.
       “Ungu sih warna kesukaan Michelle.” Celetuk Nicky.
       “Memangnya cuma dia saja?” tanggap Brian. “Keluarkan pendapat dong Shane.”
       Aku menatap Shane, ia terlihat berpikir.
       “Nggg…mungkin…hijau muda?” katanya.
       “Itu pemikiran yang jauh sekali.” Tanggap Kian. “Kenapa hijau muda?”
       “Nggg…aku Cuma berpikir hijau itu warna yang fresh, seperti image Ainsley yang suka kesehatan. Tapi warna yang juga cerah dan ceria, seperti dia yang sedang diajak ngobrol.” Jawab Shane. Kemudian ia menambahkan dengan wajah merah. “Juga indah seperti daun clover.”
       Jantungku terasa akan meleleh mendengarnya.
       “Apa dia benar?” Tanya Brian. “Hijau muda?”
       Aku mengangguk.
       “Hebat.” Cengirku. “Benar-benar tepat.”
       “Really?” Wajah Shane terlihat tambah cerah. “Wah, aku benar. Aku dapat apa nih?”
       Aku merogoh sakuku dan mengeluarkan gantungan kunci tadi.
       “It’s for you.” Kataku gugup.
       The lads saling berpandangan.
       Shane mengulurkan tangan kanannya dan menerimanya.
       “It’s cool!” serunya. “I always love horse.”
       Aku tersenyum senang melihat wajah Shane.
       “Sebagai balasannya, apa kau pernah dengar lagu The Rose yang dinyanyikan Bette Midler?” Tanya Shane. “Aku langsung ingat lagu itu kalau mencium aroma soft rose darimu.”
       “Aku kurang banyak mendengarkan lagu selain lagu Westlife dan Michael Jackson.” Jawabku.
       “Kau juga suka Michael Jackson?!” ujar Shane.
       “Cinta mati!” seruku.
       “He’s adorable!” seru Shane.
       Kemudian ia tersenyum dan bernyanyi.
Some say love it is a river
That drowns the tender reed.
Some say love it is a razor
That leaves your soul to bleed.
Some say love it is a hunger
An endless, aching need
I say love it is a flower,
And you it’s only seed.
       “Itu lagunya.” Katanya. “Aku harap bisa memasukkan lagu itu kedalam album Westlife suatu saat nanti.”
       “Wow…” aku berbinar mendengarnya bernyanyi dengan suara yang sangat merdu. “Sounds really nice, Shane.”
       Shane tersenyum manis kearahku. Saat kulirik the lads, mereka sedang pura-pura tidak melihat kami, aku tertawa kecil. Perpisahan yang cukup menyenangkan untukku. Walau sebenarnya aku tidak mau berpisah dengan mereka.
       Terutama Shane.
*
      Aku tahu aku memang menyayangi Shane lebih dari sekedar idolaku. Wajah dan gerak-geriknya saat bernyanyi yang selama ini hanya kusaksikan dari televisi tiba-tiba kusaksikan setiap hari. Di tempat tidurnya bahkan ia tidak berhenti bernyanyi. Aku bisa melihat ia menggaruk kepalanya, menguap, bersin…pemandangan yang tidak biasa kulihat dari balik layar kaca. Ia ramah, membuatku beratus kali lebih menyukainya.
       Walaupun hari-hari berharga itu telah berakhir. Aku hanya bisa menatap Shane mengepak barang-barangnya dan menatap Mark mendorong kursi rodanya keluar.
       Tidak mungkin aku bisa bersama dengannya lebih dari ini. aku beruntung bisa melihatnya selama seminggu. Mataku mulai berair saat aku berdiri disamping tempat tidurnya tempatnya tadi berbaring. Tanganku refleks menyentuh bantalnya. Setiap hari aku selalu memeriksa posisi bantalnya. Aku membayangkan saat kepalanya masih terletak disana, kemudian aku sedikit mengangkat bantal itu.
       Aku tertegun.
       Dibawah bantal itu tergeletak secarik kertas putih. Aku menariknya. Diatas kertas itu tertera sebuah nomor telepon. Wajahku seketika memerah. Shane tidak melupakanku begitu saja. Ia meninggalkan nomor teleponnya. Aku tersenyum. Senyum yang menyiratkan ketidakpercayaan. Kulipat kertas itu dan kumasukan kedalam sakuku.
       “Thank you, Shane…” bisikku dengan segaris senyum yang tak kunjung pudar.

*

       *Shane’s Pov*

       Rumah sakit di Sligo membuatku depresi.
       Seminggu lebih tanpa Ainsley, patah tulangku seketika kembali terasa menyiksa. Perawat yang bolak-balik kedalam kamarku tidak seramah dia. Dan tidak ada lagi yang memeriksa letak bantalku.. yang menghiburku hanya the lads dan Mam yang datang menengokku setiap hari.
       “Let’s sing.” Ucap Kian tiba-tiba.
       Aku menatap Kian, ia tersenyum kearahku.
       “Habis tampangmu benar-benar kusut.” Kata Kian. “Lebih baik kita nyanyi saja untuk menghilangkan penatmu. Kita sudah lama nggak nyanyi bareng.”
       Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Aku melihat seorang gadis berambut light brown dan berbolamata hazel masuk kedalam. Ditangannya terdapat sebuah gitar akustik.
       “Ah, akhirnya kau datang, Michelle.” Cengir Kian.
       Nicky langsung merangkul gadis itu sambil tersenyum.
       “Ini, kubawakan pesananmu.” Michelle menyerahkan gitar itu pada Kian.
       “Thanks Michelle!” Kian langsung memetik senar-senar gitaritu, memainkan intro sebuah lagu. Nicky langsung tersenyum mendengarnya. Ia berdehem dan mulai menyanyikan line pertamanya.
       “So much to say. But where do I start. Would you listen if I spoke from the heart. It's simple things. That keep us apart. You know it doesn't have to be this way.”
       Aku melanjutkan.
       “Can't you hear it in my voice. You gotta listen when I say…
       “Don't let me go when I'm this low. Why can't we talk about it. Why can't we figure it out. I wanna know as people grow. How do they sort it all out. Work out what love is about. So tell me now yeah I've gotta know. When this feeling I've got won't let go…
        Kian baru saja ingin menyanyikan bagiannya saat ponselku berbunyi.
        “Wait a minute, guys.” Aku meraih ponselku. “Hello?”
        Hatiku terasa ditumbuhi jutaan bunga saat mendengar suara sang penelepon.
        “Hi Ansley…” aku tersenyum. “How are you?”
        Aku terdiam saat mendengar kata-katanya setelah itu. Tubuhku seketika membeku.
       
*
        “Aku kehilangan pekerjaanku.”
        Setelah ia mengatakan itu, aku tidak bisa tidur sama sekali hingga keesokan harinya. Kata-kata itu adalah neraka untukku. Aku tidak mempercayai telingaku saat mendengar Ainsley mengucapkannya dengan suara lirih. Aku menyumpah-serapahi tulang kakiku yang patah. Aku benar-benar tidak bisa diam saja. Aku harus kembali lagi ke London. Aku benar-benar tidak peduli sesakit apa kakiku.
       “I have to go back to London.” Kataku setengah hopeless.
       “Are you insane?” tanggap Nicky. “What about your leg?”
       “I…I don’t care!” ujarku. “Ainsley kehilangan pekerjaannya. Mana bisa aku diam saja!”
       “But you have to think about your condition.” Kata Mark. “Even you’re there, you can’t do anything, Shane.”
       “But…” aku mengacak-acak rambutku. “What should I do…God…”
       “Kenapa ia bisa kehilangan pekerjaannya?” tanya Nicky.
       “Ia tidak menjawabku. Ia mematikan telepon dan sampai sekarang nomornya tidak aktif.” Rasanya aku ingin berteriak. “Bagaimana kalau terjadi sesuatu padanya?”
       “Who’s Ainsley?” tanya Michelle dengan wajah polos.
       “Michelle, diamlah dulu…” Nicky menegurnya, nyaris berbisik.
       Michelle langsung membisu. Menatapku tanpa suara. Ia pasti tidak pernah melihatku begini. Apalagi ia melihat wajah hopelessku dari kemarin.
       “I do love her…” gumamku.
       “Walaupun hanya seminggu bersama?” tanya Brian.
       “Waktu bukan pengecualian, Bri.” Kataku. “Aku tidak tahu bagaimana bisa tapi ia benar-benar memenuhi otakku.”
       Aku menutupi wajahku dengan bantal.
       Aku benar-benar tidak tahu harus menghubunginya kemana. Nomor ponselnya tidak aktif. Dan aku tidak mungkin menelepon ke rumah sakit waktu itu karena jelas-jelas ia bilang telah kehilangan pekerjaannya. Lagipula walaupun aku hanya sekedar menanyakan alamat rumahnya, atau informasi lainnya, aku tetap tidak bisa kembali ke London dengan kaki seperti ini. lagipula tidak akan ada yang mau membiarkanku mengambil resiko dalam kesehatanku. Aku kehabisan akal. Aku tahu ia sangat menyukai pekerjaannya. Bagaimanapun keadaannya sekarang, sudah pasti bukan keadaan yang baik.
       “Kenapa aku harus telat bangun hari itu?” aku memejamkan mataku. “Kenapa aku harus jatuh dari tangga? Kenapa aku harus bertemu dengannya?”
       “It’s not Shane Filan that I used to know.” Tiba-tiba aku mendengar Nicky berkata tegas. “Sejak kapan kau jadi mudah putus asa begini?”
       Aku terdiam. Nicky benar, aku memalukan.
       “Telepon saja lagi. mungkin nomornya sudah aktif?” Kian menatap Shane, ingin memberi harapan pada teman sejak kecilnya itu.
       Aku meraih ponselku, menekan sebuah nomer telepon. Aku sudah tahu jawabannya sejak awal. Tetap tidak aktif.
       Aku juga tahu, malam ini aku tidak akan bisa tidur lagi. aku menatap punggung the lads saat mereka meninggalkan kamarku. Mereka memutuskan untuk tidak menginap dirumah sakit saat aku bilang ingin sendirian. Tentu saja Michelle juga pergi. Tapi sebenarnya aku tahu mereka mengambil keputusan aman. Aku tidak akan bisa keluar dari kamarku tanpa bantuan siapapun. Aku menghela nafas.
       Malam semakin larut, dan mataku tak kunjung terpejam. Aku mengingat segala hal yang kusukai darinya. Wajahnya, rambutnya, matanya, aksennya, aroma tubuhnya, senyumnya. Kemudian…airmatanya. Aku ingat malam saat aku melihatnya menangis dan bertanya padaku apakah kami bisa bertemu lagi. Dadaku seakan disumbat ketika mengingat pertanyaan sederhana dari mulutnya itu.
       Pintu kamarku diketuk.
       Aku tidak bereaksi apa-apa. Dokter, perawat, atau siapa saja, aku tidak peduli. Aku memejamkan mataku sejenak, lebih baik aku pura-pura tidur.
       “Shane, jangan tidur dengan posisi begitu.”
       Mataku langsung terbuka dan melebar. Dengan cepat aku menoleh kearah sumber suara. Aku melihat seorang gadis yang sangat cantik. Rambutnya digerai. Ia memakai cardigan yang menutupi dress sederhana berwarna biru laut selutut. Wedges terpasang di kedua kakinya. Aroma mawar menyeruak kedalam ruangan. Aku tidak bisa mempercayai mataku.
       “A, Ainsley?! Bagaimana bisa?! Kau tahu darimana aku ada disini?! tunggu, kau baik-baik saja?! Kenapa kau menutup telepon?! Lalu, soal pekerjaanmu…”
       “Tenang sedikit Shane…” ia mendekat dan duduk di sisi tempat tidurku.
       “Mana bisa aku tenang?!” ujarku.
       “Aku yakin kau lupa telah sempat memberitahuku kau akan pindah ke rumah sakit mana.” Katanya. “Soal nomor kamar, aku tadi berpapasan dengan the lads dibawah, mereka memberitahuku. Maaf datang tiba-tiba.”
       “Ka, kau kehilangan pekerjaanmu?” tanyaku hati-hati.
       Ia tersenyum, mengangguk.
       “Aku kehilangan pekerjaanku di rumah sakit itu.” Katanya. “Aku dipindahkan.”
       Hening.
       Benar-benar hening.
       “Sorry?” aku menatapnya wajahnya lekat-lekat.
       “Aku…dipindahkan.” Ulangnya. “Ke Irlandia.”
       Aku menganga.
       “Kau membuatku nyaris gila!!” jeritku. “Kupikir kau dipecat!”
       “He?” ia menggaruk kepalanya.
       “Lain kali kalau bicara jangan setengah-setengah! Dan pakai tata bahasa yang benar dong! Lagipula kenapa kau mematikan teleponnya?” ujarku.
       “Handphoneku mati kehabisan baterai…” katanya.
       “Ainsley…kau ini…” aku mengacak-acak rambutku.
       “Ng…maafkan aku.” Gumamnya.
       Hening.
       “Are you angry?” tanyanya.
       Aku hanya diam dengan kepalaku mengarah membelakanginya.
       “Shane?”
       “D, diam sebentar! Dasar. Bikin kesal saja!” wajahku merah padam, dan aku tahu karena suhu tubuhku naik. Aku tidak bisa menyembunyikan merah diwajahku.
       Aku menatapnya, lalu menghela nafas.
       “Syu, syukurlah…”
       Aku memegang tangannya, lalu memeluknya.
       “S, Sh, Shane?” Ia terdengar kaget.
       “Hey, do you believe in miracle?” tanyaku.
       Ia terdiam.
       “Well…I’m in a miracle right now.” Tanggapnya.
       “Do you believe in another miracle?” tanyaku. “Bagaimana jika aku bilang kau sudah mengambil hatiku sejak pertama kita bertemu?”
       “Hah?”
       “I love you.” Bisikku dengan wajah terasa mendidih.
       “Apa kau bilang tadi?” ia melebarkan matanya.
       “Itu bukan kalimat yang bisa diucapkan berkali-kali dengan mudah tahu.” Aku benar-benar malu. “Pokoknya sudah kukatakan tadi.”
       “But it’s impossible.” Katanya.
       “Why?” tanyaku.
       “Kau…terlalu sempurna.” Ia menunduk.
       Aku menggeleng.
       “Aku nggak akan bisa dibilang sempurna…tanpamu.”
       “Shane, nggak lucu ah!” ia meninju lenganku. “Ini jebakan? Jebakan ya?”
       “Terserah deh…” aku menutup wajahku dengan kedua tanganku.
       “Shane?” gumamnya pelan sekali.
       “Do you love me?” tanyaku tanpa menyingkirkan tangan dari wajahku. “No, bukan sebagai idola, bukan sebagai member Westlife yang kau sukai. Tapi sebagai…diriku.”
       Yang kudengar hanya kesunyian.
       Lalu kudengar ia menghela nafas.
       “Mungkin…nanti…akan kutulis jawabannya dan kuletakkan dibawah bantal.” Katanya.
       “Aku mau dengar sekarang.” Aku mengangkat kepalaku, menatapnya. Kemudian kudekati wajahnya. “Do you lo…”
       “I do.” Potongnya cepat.
       Aku tersenyum, kudekati wajahnya dan saat itu aku mencium bibirnya tanpa berpikir lagi.
        Jika aku sedang berada didalam buku cerita, aku bukan seorang  pangeran yang sedang jatuh cinta pada putri dari kerajaan lain, atau ksatria yang melindungi seorang gadis cantik dari para penjahat. Aku adalah pengembara. Dan pengembara itu kini telah sampai ditempat tujuannya.

The End