This story is dedicated for sweet 17th birthday of my best Westlifer friend, Putri Altri Nurina. Happy birthday dear! wish you all the best, wish your dreams come true, and I hope you'll like it. Sorry if it's bad. I've tried my best to make your day. here you go...
.
.
.
A Clover That Smells Like Rose
Jika aku sedang berada
didalam buku cerita, aku bukan seorang
pangeran yang sedang jatuh cinta pada putri dari kerajaan lain, atau
ksatria yang melindungi seorang gadis cantik dari para penjahat. Aku adalah pengembara.
Pengembara yang tidak tahu arah. Bahkan tidak tahu kemana ia akan mengembara.
Aku mengerti bagaimana rasanya saat hal
misterius yang disebut cinta mengendap-endap dihatiku. Mengendap, berbekas,
terpahat, atau bahkan tergores hingga perih. Aku tahu rasanya menjadi orang
bisu yang tidak bisa mengucapkan sepatah katapun saat berhadapan dengan gadis
yang memahat namanya dihatiku. Aku tahu rasanya duduk dalam keputusasaan dalam
ruangan gelap yang mengurungku, aku hanya bisa menulis puisi-puisi kosong yang
tidak tersampaikan. Begitulah bagaimana hati itu pada akhirnya tergores.
Itu cerita lama. Seperti halnya luka
dilutut saat terjatuh dari sepeda, lama-kelamaan luka itu akan mengering dan
sembuh. Hatiku utuh kembali, tanpa bekas luka. Hanya saja sekarang kurasakan
rongga-rongga yang membuatku ingin menutupnya. Tapi tidak bisa. Aku ingin
menemukan seseorang untuk menutup rongga-rongga itu. Tapi aku tidak tahu
bagaimana caranya. Aku memang terkenal, dipuja, dicintai. Namaku selalu dipanggil
oleh gadis-gadis. Bahkan aku memang bisa membuat gadis-gadis sesak nafas hanya
dengan menatap mereka. Tapi, rongga itu tetap terasa.
“Shane…”
Seseorang berbisik ditelingaku, sukses
membuatku spot jantung. Saat aku menoleh ke belakang, terlihat rambut spike
blonde yang sangat kukenal, kemudian bolamata biru itu menatapku hangat.
Walaupun aku seorang pengembara yang
tidak tahu arah, tapi aku memiliki orang-orang yang menemaniku mengembara. Dan
pria didepanku ini salah satunya, teman yang paling setia, sahabatku, bahkan
aku ingin menjadikannya pacarku.
Yang terakhir itu, aku bercanda.
“Bisa kan memanggilku dengan tingkah
yang biasa saja, Nick?” aku tertawa kecil.
Ia memamerkan giginya. Seringai yang
kusukai dari seorang Nicky Byrne. Ia duduk disebelahku, merangkulku erat.
“Are you tired?” tanyanya.
“Of course…I know that you are too.”
Kataku santai. “Jadwal tour memang selalu membuatku agak sinting. Tapi juga
bikin bahagia.”
“I know.” Katanya sambil tersenyum. “Dan
yang penting kita tidur bareng lagi malam ini dikamar ini, sebelum terbang ke
Asia. Pasti penerbangannya sangat melelahkan…”
“Mana Mark, Brian dan Kian?” tanyaku.
“Entahlah, mungkin mereka di lobby
hotel, dikepung para fans.” Nicky tertawa. “Aku sudah dapat giliranku kemarin
malam saat mereka sedang enak mendengkur. Termasuk kau, dengkuranmu semalam
hampir menyaingi dengkuran Mark, kau tahu…”
Tawaku meledak.
“Maaf deh, aku langsung tidur begitu
sampai di London. Soalnya aku nggak punya pacar yang bisa kutelepon semalaman.”
Sindirku.
“Oho…ada yang cemburu disini.” cengir
Nicky menyebalkan.
“Maaf, aku masih punya banyak fans yang
meneriaki namaku diluar sana.” Balasku.
“Ampun, leader…” Nicky agak cemberut.
“Aku memang nggak bisa mengalahkan golden voice mu. Sialan…”
Aku tertawa lagi. Nicky selalu membuatku
tertawa. Kapanpun, dimanapun.
“Dengan seluruh hal luar biasa pada
dirimu, aku yakin sebentar lagi kau dapat pacar. Model mungkin? Atau bahkan
penyanyi?” Nicky tersenyum menghibur.
“Mungkin aku lebih memilih gadis yang
biasa saja. Punya pacar penulis sepertimu mungkin menarik juga…” cengirku.
Nicky langsung mengacak-acak rambutku
dengan wajah merah. Aku merangkul pundaknya sambil tertawa. Dan saat itu, pintu
kamar kami yang tidak tertutup rapat sejak awal terbuka.
“Maaf menggangu perbuatan kalian
berdua…” Wajah Kian muncul dari balik pintu.
“Kee, bahasamu ambigu amat sih.” Nicky
protes.
“Maaf mengganggu perbuatan kalian
berdua…” wajah Brian ikut menyembul dari balik pintu, dengan cengirannya yang
khas.
“Dan kau Bri, tolong kalimat itu jangan
diulang lagi.” Sahutku.
Mark hanya tertawa kecil sambil
melebarkan pintu kamar. Lalu mereka bertiga masuk dan duduk di sofa kosong.
Brian langsung merebahkan tubuhnya di tempat tidur.
“Buldozer super!” Brian langsung
berguling-guling diatas double bed itu hingga benar-benar berantakan. Ia
melempar salah satu bantal kearah Nicky.
“Bri, kau curang. Aku juga mau ikut.”
Kian menghampiri Brian dan menjatuhkan tubuhnya keatas tempat tidur.
“Kalian berdua keluar saja sana…” Aku
menghela nafas panjang.
*
“Shane, wake up…” Aku merasa ada yang
mengguncang tubuhku pelan. “Shane Steven Filan, kita ke Asia pagi ini.”
Aku masih betah berbaring diatas double
bed nyaman ini, aku hanya menunjukkan reaksi malas. Aku tahu Nicky pasti sudah
berpakaian rapi untuk pergi ke airport, Kian sedang sibuk memilih baju apa yang
akan ia pakai untuk pergi ke airport (dan sungguh, ini nggak penting-penting
amat), Brian sedang asyik mengganggu dandan besar-besaran Kian, dan Mark masih
mendengkur di tempat tidurnya. Prediksi yang jarang meleset. Aku tetap
memejamkan mataku.
“Shane masih belum bangun?” tiba-tiba
terdengar suara familiar dari arah ambang pintu.
“Belum…” Terdengar suara Nicky.
Aku membuka mataku sedikit, terlihat
Mark dengan baju yang sudah rapi, berdiri diambang pintu kamar. Aku langsung
melompat bangun.
“Mark?! Kau sudah bangun?!” ujarku.
“Kagetmu berlebihan tahu.” Mark agak
cemberut.
“Habis biasanya tidurmu juga berlebihan,
Freddie…” aku tertawa kecil, turun dari tempat tidurku. “Lalu Kian?”
“Sudah selesai dandan.” Jawab Mark.
Mataku makin melebar.
“Jam berapa sekarang?” tanyaku
takut-takut.
“Jam setengah Sembilan.” Jawab Nicky.
“Hah?! Flight nya kan jam Sembilan!!”
jeritku jantungan.
“Kau sudah kubangunkan daritadi…” Nicky
menghela nafas.
“Oh, My Lord…” aku langsung berlari
meraih baju bersih yang sudah kuletakkan diatas meja. “Kalian kebawah saja
duluan dan cepat check out! Nanti aku menyusul! Nick, tolong bawakan koperku!”
“Okay.” Nicky dan Mark langsung berlari
keluar.
Yang benar saja?! Bisa-bisanya aku tidur
seperti orang mati begini? Dan lagi bocah-bocah bodoh itu santai banget! Aku
merapikan diri secepat mungkin dan berlari keluar. Aku sudah membayangkan wajah
horror tour manager kami. Dan yang membuatku paling ngeri, kalau Louis sampai
tahu aku bangun kesiangan dan…
Saat pintu lift terbuka, segerombolan
gadis-gadis remaja menatapku dengan mulut yang menganga. I’m in a trouble…benar
saja, mereka langsung histeris berlari keluar dari lift dan minta foto
denganku. Aku tidak bisa bilang kalau aku buru-buru, tentu saja. Mereka tidak
memberiku kesempatan untuk pergi. Pintu lift tertutup lagi…Oh Tuhan…
Aku berjalan kearah tangga darurat, dan
lagi-lagi aku bertemu segerombolan gadis remaja yang menatapku tidak percaya.
Aku tidak punya pilihan lain. Aku berlari menuruni tangga tanpa meladeni
gadis-gadis itu. Aku tidak suka berbuat begini pada fans. Tapi mau bagaimana
lagi…tunggu dulu…
Mereka
mengejarku.
Oh,
bodoh sekali aku tidak berpikir mereka akan mengejarku. Aku mempercepat
langkahku. Entah sampai kapan aku harus menuruni anak tangga. Aku bukan Nicky
yang terbiasa naik-turun lewat tangga. Belum apa-apa aku sudah rindu pada lift
yang akan membawaku begitu cepat ke lantai dasar.
Aku terus berlari, kemudian ponselku
mulai berbunyi terus-menerus, suara para fans yang memanggil-manggil namaku
terus terdengar, aku hendak menginjak
anak tangga berikutnya saat aku kehilangan kendali. Kaki kananku meleset dan
kaki kiriku dengan refleks langsung mencari pijakan, namun tidak berhasil. Aku
mulai meluncur dengan kecepatan mengerikan tanpa pijakan. Tubuhku jatuh
berdebam pada anak tangga ketiga dari bawah sebelum mencapai dasar. Tubuhku
meniban kaki kananku yang tertekuk tanpa aba-aba. Dan aku bersumpah, aku
mendengar bunyi tulangku dan rasanya benar-benar sakit hingga aku tidak bisa
menjerit.
Terakhir, kepalaku membentur tembok
dengan lumayan keras. Aku sudah tidak bisa mendengar apa-apa, konsentrasiku
buyar dan pikiranku hanya terpaku pada rasa sakit ditungkaiku. Aku hanya tahu
banyak orang histeris, ponselku terlepas dari tanganku, entah sekarang ada
dimana.
Jika aku sedang berada didalam buku
cerita, aku bukan seorang pangeran yang
sedang jatuh cinta pada putri dari kerajaan lain, atau ksatria yang melindungi
seorang gadis cantik dari para penjahat. Aku adalah pengembara. Pengembara yang
tidak tahu arah. Bahkan tidak tahu kemana ia akan mengembara.
Dan pengembara itu sedang terkapar tidak
berdaya dibawah anak-anak tangga.
*
“Kau membuat jantungku mau berhenti!!”
jerit Nicky.
Aku terbaring di tempat tidur rumah
sakit terdekat dari hotel. Entah bagaimana, aku tidak ingat bagaimana mereka
membawaku kesini. Sakit di tungkaiku benar-benar membuat otakku agak-agak
error. Penerbangan kami ke China di cancel. Jadwal tour berantakan.
Memikirkannya saja otakku rasanya mau meleleh.
“Jangan ngomel, Nick…” gerutuku menatap
gips yang menempel di tungkaiku. “Kakiku makin sakit nih.”
“Tulangmu patah lho, Shane.” Brian menatapku.
“Nggak usah diperjelas, aku sudah tahu,
Deutzy.” Aku menunjukkan wajah depresi. “Tour Westlife paling hancur. Dan
gara-gara aku.”
“We don’t blame you, bro…” Mark duduk
dikursi sebelah tempat tidurku. “Kami hanya khawatir setengah mati.”
“Tenang sedikit.” Kata Kian. “Aku juga
nggak menyalahkanmu.”
“Tuh, kau dengar kata-kata seorang playboy,
Kian Egan yang biasa bossy sekarang menjadi untaian kata-kata malaikat?” Brian
mengeluarkan ekspresi berlebihan.
“Apa maksudmu aku bossy?!” Kian mencubit
pipi Brian. “Aku juga sudah menghubungi Louis, everything’s gonna be alright,
Shane…”
Aku diam sejenak, menarik nafas
“Kian.” Aku menatap cowok playboy
berambut blonde itu. “Aku tahu kau suka dandan. Tapi agak berlebihan kalau kau
sampai memakai parfum cewek.”
“What do you mean?” Kian mengangkat
alis.
“Hmmm?...apa kalian nggak mencium bau
parum beraroma soft? Seperti bau mawar…” aku menatap empat temanku dengan dahi
berkerut.
Pintu kamar terbuka, seorang perawat
masuk.
Aku langsung menyadari, bau soft yang
kucium berasal dari perawat itu, aku suka baunya. Sejenak aku seperti melihat
bunga-bunga mawar bermekaran. Kulihat wajah perawat itu, bahkan lebih manis
dari permen caramel yang kumakan beberapa hari yang lalu didalam pesawat.
Kulitnya agak kecoklatan, persis seperti kulit yang kuharapkan saat aku
berjemur di pantai Miami, atau Hawaii, atau Bali, atau apalah…tubuhnya tinggi,
belum apa-apa aku sudah takut tinggi badanku dikalahkan olehnya. Rambut dark
brownnya disanggul rapi, dan yang membuat tubuhku seakan dibekukan oleh sihir,
bolamatanya yang kebiruan tengah menatapku. Bibirnya tersenyum kecil.
“Aku diminta Dr. Lynch untuk memeriksa
keadaan anda, sir.”
Suaranya, bahkan aku suka suaranya.
“Oh, I’m great...” aku berkata tidak
sadar, wajahku memanas.
“Gipsnya? Apa tidak ada keluhan?”
tanyanya.
“Huh? Ah…tidak. Lebih dari nyaman.”
Kataku, mataku dengan cepat membaca tulisan di name tagnya, Ainsley Neason.
Aku agak penasaran, apakah ia tidak
kaget melihat Westlife didalam ruangan ini? apa ia tidak tertarik dengan lagu
pop? Apakah ia nggak pernah nonton TV? Pikiranku mulai meng-explore secara
berlebihan.
“Can I…” ia menunduk sesaat setelah
memeriksa gipsku. “Can I have…”
Wajahnya bersemu merah.
“Your autograph?” suaranya hampir
menyerupai bisikan. “Actually I’m a Westlife fan.”
Mataku melebar. Ternyata ia salah satu
fan kami. Aku meraih CD coast to coast Westlife dan bolpoin yang ia sodorkan
padaku, kemudian kububuhkan tanda tanganku pada cover CD itu, lalu kuoper pada
Mark. Mark dengan cepat langsung menandatanganinya.
“Kebetulan sekali kau bawa CD Westlife
mu.” Celetukku.
Ia menggeleng.
“Aku selalu membawanya kemanapun.”
Katanya. “CD Westlife itu, seperti…mmm semacam jimat untukku.”
Baru kali ini aku bertemu orang yang
menjadikan album kami sebagai jimat. Ia menerima kembali CD nya dengan wajah
berseri-seri. Kemudian ia memeriksa letak bantalku. Agak aneh memang, aku tidak
pernah melihat perawat yang akan memeriksa letak bantal pasien.
Entahlah…mungkin itu semacam kebiasaan. Seperti Mark yang akan
menggerak-gerakkan tangannya saat menyanyi, atau kebiasaan Nicky menjilat
bibir.
Saat ia keluar dari ruangan, aku masih
mencium bau soft rose yang membekas pada udara didalam sini. Ada yang aneh.
Benar-benar ada yang aneh dengan jantung dan wajahku. Terasa panas, nyaris
terasa terbakar. Bolpoin yang kugunakan untuk menandatangani cover albumnya
tadi bertuliskan “Team Filan”. Itu artinya aku adalah member favoritnya. Aku
tertarik pada reaksinya yang tidak histeris seperti fans lainnya. Ia menatapku
seakan menatap pasien biasa. Setidaknya menurut pendapatku.
“Shane, kau ditempatkan di rumah sakit
ini hanya seminggu lho.” Nicky berbisik ditelingaku. “Kalau kau tertarik pada
perawat itu, lebih baik bertindak cepat.”
“Siapa yang tertarik…” kurasakan wajahku
merah terbakar saat menatap wajah Nicky. aku tahu aku tidak bisa berbohong padanya.
Tidak sama sekali. “Yah…dia memang cantik…itu saja sih. Tidak perlu khawatir.”
“Hmmmm?” bibir Nicky membentuk senyuman.
Senyuman yang seakan meremehkan kemampuanku menyembunyikan perasaan. Kulirik
Mark, Shane dan Kian yang sedang duduk di sofa sambil membicarakan perbaikan
jadwal konser.
Aku memalingkan wajahku.
“Malam ini kami akan kembali ke hotel.
Aku jamin kau tidak mau kami mengganggu waktu berhargamu. Nanti malam pasti ia
akan kembali kesini bersama dokter yang menanganimu.” Nicky melirik arlojinya.
“Nicky, jangan konyol dong.” Aku
menggeleng.
“You know me, Shane.” Nicky tersenyum.
“Aku memang konyol.”
aku menatapnya sesaat.
“Kakiku sakit…” aku mengubah topik
pembicaraan.
*
Malam itu mereka berempat benar-benar
meninggalkanku sendirian. Walaupun aku diminta untuk menelepon jika terjadi
sesuatu. Aku menatap jam dinding. Besok Mam akan datang. Ia khawatir setengah
mati saat mendengar anak bungsunya patah tulang. Aku menghabiskan makananku saat
perawat itu masuk ke ruanganku bersama seorang dokter.
Aku sama sekali tidak memperhatikan apa
yang dikatakan oleh dokter yang menanganiku. Mataku sibuk memandangi wajah itu.
Bahkan hingga dokter itu meninggalkan ruangan. Aku memalingkan wajah saat
perawat itu lagi-lagi memeriksa letak bantalku.
“Ada yang salah dengan bantalnya?”
akhirnya aku bertanya.
“Oh…ini kebiasaanku. Sejak ada pasien
rumah sakit ini yang meninggal dengan posisi kepala yang tidak bagus.” Katanya.
Aku meneguk ludah.
“Hm, aku bukannya menakut-nakutimu.” Ia
buru-buru menatapku. “Kau kan hanya patah tulang simplek, patah tulang yang tidak
tampak dari luar dan akan sembuh dalam waktu dua sampai tiga bulan.”
“Aku juga tidak merasa ditakut-takuti.”
Aku tertawa. “Walaupun aku sempat depresi karena jadwal tour kami berantakan.”
“Untuk lebih menenangkanmu, pada fase
awal penyembuhan akan terjadi ledakan populasi
sel-sel pembentuk tulang baru membentuk callus yang berfungsi sebagai ”lem”
untuk menjaga agar tulang yang patah tidak mudah bergerak.” Ia tersenyum. “Lama
kelamaan akan mengeras dan tulang immature akan menjadi tulang dewasa. Dan
garis patah tulang tidak akan terlihat lagi. bersabarlah…”
“Thanks…” wajahku
memerah. “Penjalasanmu sangat membantu, Ms. Neason.”
Hening beberapa saat.
“Hmmm…keberatan untuk
menemaniku?” aku berusaha tidak bersikap bodoh saat memberanikan diriku bicara.
“The lads sedang dirasuki setan dan meninggalkan orang patah tulang sendirian
disini.”
Ia tertawa.
“Sure, tell me if you
need something.” Katanya.
Aku menggeleng.
“Just stay here,
that’s all.” Kataku. “Ainsley.”
Aku melihat wajahnya
seketika gugup mendengarku menyebut nama depannya.
“Sure…” gumamnya pelan.
Malam itu kami
mengobrol tentang Westlife. Sikapnya yang terlihat diam tiba-tiba berubah 180
derajat saat bicara soal itu. Ia berbicara dengan excited. Bahkan kupikir ia
sedikit gila. Gila yang tidak merusak kecantikannya.
Aku tidak percaya aku
jatuh cinta pada pandangan pertama, pada seorang perawat rumah sakit yang hanya
seminggu kutempati. Sejauh apapun aku berkhayal, tidak pernah aku berpikir akan
begini terpesona pada perawat yang menanganiku. Segala bayangan Nicky tentang
model atau penyanyi buyar begitu saja. Aneh, tapi terasa nyaman.
Saat itu aku tahu,
pengembara itu telah menemukan tempat tujuannya.
*
“Shane!” tiba-tiba pintu ruangan
terbuka. Aku langsung melihat kearah ambang pintu. Ainsley berdiri disana, ia
memegang sebuah majalah yang memamerkan fotoku di cover depannya. “Lihat deh!
Ini majalah yang memberitakanmu!”
Ini hari ketiga aku dirawat di rumah
sakit ditengah London ini. tiga hari, dan sikap Ainsley benar-benar berubah. Ia
sangat komunikatif, kami seakan sudah berteman bertahun-tahun. Nicky, Mark,
Brian dan Kian hanya melongo melihat Ainsley masuk sambil menyodorkan majalah
itu padaku. Aku sendiri kaget.
“Ah? Coba kulihat sebentar.” Aku meraih
majalah itu. “Shane Filan patah tulang…ini headline news macam apa?”
Kudengar Ainsley tertawa mendengar joke
asalku.
“Hmmm aku sih malu kalau aku jadi kau,
Shane.” Kata Brian. “Jatuh dari tangga karena telat bangun. Lebih baik jadi
pelawak saja sana!”
Aku menghiraukan Brian.
Hari ini Ainsley melepas sanggulannya
dan membentuk kuncir sederhana, memperlihatkan rambut dark brownnya yang
bergelombang. Lagi-lagi ia memeriksa letak bantalku, kemudian memeriksa gipsku.
“Ini pasti masih terasa sangat sakit.
Jangan sampai salah gerak.” Katanya.
Telingaku menikmati aksen cerdasnya,
kepalaku refleks mengangguk.
“Dilihat-lihat, kau cantik juga.” Kian
tiba-tiba menyeletuk, membuatku ingin menempeleng kepalanya. Memang sih ia
playboy, tapi kalau sampai gadis yang kusukai diincarnya juga, rasanya aku
sanggup mencukur rambut blonde kebanggaannya hingga botak.
“Ainsley memang cantik. Kau baru sadar
sekarang? Kau cowok macam apa?” aku mencibir Kian sambil tertawa.
Kian hanya menggerutu mendengar
cibiranku.
Ainsley yang sedang mengobrol asyik
dengan Nicky dan Mark tiba-tiba terdiam. Wajahnya tiba-tiba semerah bunga mawar
yang selalu kubayangkan saat menghirup aroma parfumnya. Ia buru-buru tersenyum
pada kami semua dan berjalan keluar. Aku menatap punggungnya hingga ia menutup
pintu dari luar. Kenapa? Apa ia malu?
Aku menatap Kian.
“Kee, aku jarang bicara begini, tapi…”
kataku. “bagaimana jika kukatakan padamu kalau aku sudah mengincarnya lebih
dulu daripada kau?”
“Kau pikir aku bodoh ya?” Kian
tersenyum. “Aku sudah tahu.”
Seketika aku merasa benar-benar malu.
Kalau begitu berarti aku mudah sekali ditebak. Aku menatap wajah-wajah usil the
lads. Buru-buru aku memalingkan wajahku. Aku sudah tidak bisa mengelabui mereka
lagi. aku berharap wajahku tidak memerah didepan mereka.
“Kau bisa saja jatuh cinta pada siapapun
kan?” wajahku pasti merah sekarang.
Keempat sahabatku tersenyum mendengar
kata-kataku.
“I fell in love with a messy girl.”
Nicky tertawa. “Falling in love with a beautiful nurse is normal, buddy.”
Aku menatap mereka.
“Terserah, tapi jangan tinggalkan aku
sendirian malam ini.” aku tersenyum. “Aku gugup setengah mati tahu.”
“Malam ini biar aku yang menemanimu.”
Kata Mark.
*
*Ainsley’s Pov*
Aku membuka pintu kamar Shane perlahan.
Ini adalah hari ketiga ia dirawat dirumah sakit ini. sudah larut malam dan aku
tidak ada jadwal jaga malam. Tapi aku tidak bisa tenang pulang tanpa melihat
Shane sudah tertidur dengan tenang. Kutatap sosoknya yang sedang terbaring di
tempat tidurnya. Perlahan aku mendekat kearahnya. Kulirik Mark yang sedang
tertidur pulas di sofa panjang.
Aku menyukai Shane. Aku suka suaranya,
aku suka caranya berjuang didalam dunia musik, aku suka parasnya yang membuatku
selalu terpesona. Ia adalah salah satu semangatku dalam mencapai cita-citaku
sebagai perawat. Kadang saat aku melihat posternya dikamarku, aku berbisik
dalam hati ingin menjadi pendampingnya suatu saat nanti. Tapi aku tahu itu tidak
mungkin. Aku bukan siapa-siapa.
Entah bagaimana, tiba-tiba aku menangis
tanpa suara.
Sepertinya terlalu menyakitkan jika
harus berpisah dengannya setelah sekian lama aku bermimpi berdiri disisinya. Ia
hanya seminggu di rumah sakit ini. setelah ini mungkin ia akan pindah ke rumah
sakit lain didekat tempat tinggalnya. Kemudian setelah sembuh ia akan kembali
sibuk. Dan tidak ada harapan bagiku untuk bertemu dengannya lagi.
“Ainsley?”
Aku berdebar. Shane terbangun. Mata
hazelnya menatapku bingung.
“Are you crying?” tanyanya.
Aku cepat-cepat menggeleng.
“Ke, keringat!” ujarku. “Ng,
kelilipan!!”
Shane menatapku membisu.
“Sorry…” kataku lagi.
“Tell me…” katanya. Suaranya benar-benar
lembut. Membuatku ingin menangis lebih keras. “What’s the matter?”
“Apa kau hanya dirawat seminggu disini?”
aku menghapus air mataku.
Ia mengangguk.
“Apa aku bisa bertemu denganmu lagi
setelahnya?” tanyaku lagi.
“Kenapa tidak?” ia tersenyum.
“Aku hanya satu dari fans mu yang tidak
terhitung.” Kataku jujur.
Bahkan dalam cahaya yang remang, aku
bisa melihat wajahnya bersemu merah.
“Jangan pikirkan itu sekarang…” katanya.
“Besok, dan besoknya lagi kita masih bertemu.”
Ia terdiam sejenak.
“Besoknya lagi juga masih ketemu…” ia
menghela nafas.
Aku tersenyum.
“Intinya kan empat hari lagi.” aku mulai
tertawa geli. “Bertele-tele amat sih.”
Shane menunduk sambil menggaruk
kepalanya. Sepertinya malu kutertawai.
“Yah, kalaupun kita nggak bisa ketemu
lagi…” ia berdehem. “Aku nggak akan melupakanmu. Kau fans yang merawat patah
tulangku.”
“Kalau begitu…aku harus pulang. Kau juga
mesti tidur.” Aku memeriksa letak bantalnya. “See you tomorrow.”
Shane tersenyum. Melambaikan tangan
kanannya.
Aku keluar dari kamarnya dengan langkah
pelan. Intinya…intinya pada akhirnya kita akan berpisah kan?
“Shane…” bisikku pelan. Aku menutup
wajahku. “Kenapa kau baik sekali?”
*
Waktu
seperti berlari.
Hari keempat dan kelima seakan hanya
berupa kedipan mata saja. Sekarang aku duduk di kantin rumah sakit dengan
makanan yang belum disentuh. Hari keenam. Besok Shane akan pergi. Aku menatap
gantungan kunci berbentuk kuda berwarna coklat gelap ditanganku. Benda yang
ingin kuberikan pada Shane. Aku membelinya setahun yang lalu dengan harapan
bisa bertemu dengannya.
Aku hanya makan sedikit dan langsung
menuju kamar Shane. Seperti biasa, the lads sedang berkumpul sambil bercanda.
“Oh, Ainsley!” seru Brian. “Kami sedang
diskusi apa warna kesukaanmu nih.”
“Hah?” Aku tertawa.
“Jangan dijawab dulu.” Kian mengangkat
tangan kanannya. “Cewek seperti Ainsley pasti suka warna pink kan? Soalnya dia
manis.”
“Dia kan perawat, mungkin putih?” Mark mengusap dagunya.
“Mark, pikiranmu terlalu monoton.” Kata
Nicky. “Menurutku, image-nya cocok dengan warna merah.”
“Menurutku sih dia suka warna ungu.”
Brian menatapku. “Iya kan?”
“Maaf, tapi semuanya salah.” Aku
tertawa.
“Ungu sih warna kesukaan Michelle.”
Celetuk Nicky.
“Memangnya cuma dia saja?” tanggap Brian.
“Keluarkan pendapat dong Shane.”
Aku menatap Shane, ia terlihat berpikir.
“Nggg…mungkin…hijau muda?” katanya.
“Itu pemikiran yang jauh sekali.”
Tanggap Kian. “Kenapa hijau muda?”
“Nggg…aku Cuma berpikir hijau itu warna
yang fresh, seperti image Ainsley yang suka kesehatan. Tapi warna yang juga
cerah dan ceria, seperti dia yang sedang diajak ngobrol.” Jawab Shane. Kemudian
ia menambahkan dengan wajah merah. “Juga indah seperti daun clover.”
Jantungku terasa akan meleleh
mendengarnya.
“Apa dia benar?” Tanya Brian. “Hijau
muda?”
Aku mengangguk.
“Hebat.” Cengirku. “Benar-benar tepat.”
“Really?” Wajah Shane terlihat tambah
cerah. “Wah, aku benar. Aku dapat apa nih?”
Aku merogoh sakuku dan mengeluarkan
gantungan kunci tadi.
“It’s for you.” Kataku gugup.
The lads saling berpandangan.
Shane mengulurkan tangan kanannya dan
menerimanya.
“It’s cool!” serunya. “I always love
horse.”
Aku tersenyum senang melihat wajah
Shane.
“Sebagai balasannya, apa kau pernah
dengar lagu The Rose yang dinyanyikan Bette Midler?” Tanya Shane. “Aku langsung
ingat lagu itu kalau mencium aroma soft rose darimu.”
“Aku kurang banyak mendengarkan lagu
selain lagu Westlife dan Michael Jackson.” Jawabku.
“Kau juga suka Michael Jackson?!” ujar
Shane.
“Cinta mati!” seruku.
“He’s adorable!” seru Shane.
Kemudian ia tersenyum dan bernyanyi.
Some
say love it is a river
That drowns the tender reed.
Some say love it is a razor
That leaves your soul to bleed.
That drowns the tender reed.
Some say love it is a razor
That leaves your soul to bleed.
Some
say love it is a hunger
An endless, aching need
I say love it is a flower,
And you it’s only seed.
An endless, aching need
I say love it is a flower,
And you it’s only seed.
“Itu lagunya.” Katanya. “Aku harap bisa
memasukkan lagu itu kedalam album Westlife suatu saat nanti.”
“Wow…” aku berbinar mendengarnya
bernyanyi dengan suara yang sangat merdu. “Sounds really nice, Shane.”
Shane tersenyum manis kearahku. Saat
kulirik the lads, mereka sedang pura-pura tidak melihat kami, aku tertawa
kecil. Perpisahan yang cukup menyenangkan untukku. Walau sebenarnya aku tidak
mau berpisah dengan mereka.
Terutama Shane.
*
Aku
tahu aku memang menyayangi Shane lebih dari sekedar idolaku. Wajah dan
gerak-geriknya saat bernyanyi yang selama ini hanya kusaksikan dari televisi
tiba-tiba kusaksikan setiap hari. Di tempat tidurnya bahkan ia tidak berhenti
bernyanyi. Aku bisa melihat ia menggaruk kepalanya, menguap, bersin…pemandangan
yang tidak biasa kulihat dari balik layar kaca. Ia ramah, membuatku beratus
kali lebih menyukainya.
Walaupun hari-hari berharga itu telah
berakhir. Aku hanya bisa menatap Shane mengepak barang-barangnya dan menatap
Mark mendorong kursi rodanya keluar.
Tidak mungkin aku bisa bersama dengannya
lebih dari ini. aku beruntung bisa melihatnya selama seminggu. Mataku mulai
berair saat aku berdiri disamping tempat tidurnya tempatnya tadi berbaring.
Tanganku refleks menyentuh bantalnya. Setiap hari aku selalu memeriksa posisi
bantalnya. Aku membayangkan saat kepalanya masih terletak disana, kemudian aku
sedikit mengangkat bantal itu.
Aku tertegun.
Dibawah bantal itu tergeletak secarik
kertas putih. Aku menariknya. Diatas kertas itu tertera sebuah nomor telepon.
Wajahku seketika memerah. Shane tidak melupakanku begitu saja. Ia meninggalkan
nomor teleponnya. Aku tersenyum. Senyum yang menyiratkan ketidakpercayaan.
Kulipat kertas itu dan kumasukan kedalam sakuku.
“Thank you, Shane…” bisikku dengan
segaris senyum yang tak kunjung pudar.
*
*Shane’s Pov*
Rumah sakit di Sligo membuatku depresi.
Seminggu lebih tanpa Ainsley, patah
tulangku seketika kembali terasa menyiksa. Perawat yang bolak-balik kedalam
kamarku tidak seramah dia. Dan tidak ada lagi yang memeriksa letak bantalku..
yang menghiburku hanya the lads dan Mam yang datang menengokku setiap hari.
“Let’s sing.” Ucap Kian tiba-tiba.
Aku menatap Kian, ia tersenyum kearahku.
“Habis tampangmu benar-benar kusut.”
Kata Kian. “Lebih baik kita nyanyi saja untuk menghilangkan penatmu. Kita sudah
lama nggak nyanyi bareng.”
Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Aku
melihat seorang gadis berambut light brown dan berbolamata hazel masuk kedalam.
Ditangannya terdapat sebuah gitar akustik.
“Ah, akhirnya kau datang, Michelle.”
Cengir Kian.
Nicky langsung merangkul gadis itu
sambil tersenyum.
“Ini, kubawakan pesananmu.” Michelle
menyerahkan gitar itu pada Kian.
“Thanks Michelle!” Kian langsung memetik
senar-senar gitaritu, memainkan intro sebuah lagu. Nicky langsung tersenyum
mendengarnya. Ia berdehem dan mulai menyanyikan line pertamanya.
“So much to say. But where do I start. Would
you listen if I spoke from the heart. It's simple things. That keep us apart. You
know it doesn't have to be this way.”
Aku melanjutkan.
“Can't you hear it in my voice.
You gotta listen when I say…”
“Don't let me go when I'm this
low. Why can't we talk about it. Why can't we figure it out. I wanna know as
people grow. How do they sort it all out. Work out what love is about. So tell
me now yeah I've gotta know. When this feeling I've got won't let go…”
Kian baru saja ingin menyanyikan bagiannya saat ponselku berbunyi.
“Wait a minute, guys.” Aku meraih ponselku. “Hello?”
Hatiku terasa ditumbuhi jutaan bunga saat mendengar suara sang
penelepon.
“Hi Ansley…” aku tersenyum. “How are you?”
Aku terdiam saat mendengar kata-katanya setelah itu. Tubuhku seketika
membeku.
*
“Aku kehilangan pekerjaanku.”
Setelah ia mengatakan itu, aku tidak bisa
tidur sama sekali hingga keesokan harinya. Kata-kata itu adalah neraka untukku.
Aku tidak mempercayai telingaku saat mendengar Ainsley mengucapkannya dengan
suara lirih. Aku menyumpah-serapahi tulang kakiku yang patah. Aku benar-benar
tidak bisa diam saja. Aku harus kembali lagi ke London. Aku benar-benar tidak
peduli sesakit apa kakiku.
“I have to go back to London.” Kataku setengah hopeless.
“Are you insane?” tanggap Nicky. “What about your leg?”
“I…I don’t care!” ujarku. “Ainsley kehilangan pekerjaannya. Mana bisa
aku diam saja!”
“But you have to think about your condition.” Kata Mark. “Even you’re
there, you can’t do anything, Shane.”
“But…” aku mengacak-acak rambutku. “What should I do…God…”
“Kenapa ia bisa kehilangan pekerjaannya?” tanya Nicky.
“Ia tidak menjawabku. Ia mematikan telepon dan sampai sekarang nomornya
tidak aktif.” Rasanya aku ingin berteriak. “Bagaimana kalau terjadi sesuatu
padanya?”
“Who’s Ainsley?” tanya Michelle dengan wajah polos.
“Michelle, diamlah dulu…” Nicky menegurnya, nyaris berbisik.
Michelle langsung membisu. Menatapku tanpa suara. Ia pasti tidak pernah
melihatku begini. Apalagi ia melihat wajah hopelessku dari kemarin.
“I do love her…” gumamku.
“Walaupun hanya seminggu bersama?” tanya Brian.
“Waktu bukan pengecualian, Bri.” Kataku. “Aku tidak tahu bagaimana bisa
tapi ia benar-benar memenuhi otakku.”
Aku menutupi wajahku dengan bantal.
Aku benar-benar tidak tahu harus menghubunginya kemana. Nomor ponselnya tidak
aktif. Dan aku tidak mungkin menelepon ke rumah sakit waktu itu karena
jelas-jelas ia bilang telah kehilangan pekerjaannya. Lagipula walaupun aku
hanya sekedar menanyakan alamat rumahnya, atau informasi lainnya, aku tetap
tidak bisa kembali ke London dengan kaki seperti ini. lagipula tidak akan ada
yang mau membiarkanku mengambil resiko dalam kesehatanku. Aku kehabisan akal.
Aku tahu ia sangat menyukai pekerjaannya. Bagaimanapun keadaannya sekarang,
sudah pasti bukan keadaan yang baik.
“Kenapa aku harus telat bangun hari itu?” aku memejamkan mataku. “Kenapa
aku harus jatuh dari tangga? Kenapa aku harus bertemu dengannya?”
“It’s not Shane Filan that I used to know.” Tiba-tiba aku mendengar
Nicky berkata tegas. “Sejak kapan kau jadi mudah putus asa begini?”
Aku terdiam. Nicky benar, aku memalukan.
“Telepon saja lagi. mungkin nomornya sudah aktif?” Kian menatap Shane,
ingin memberi harapan pada teman sejak kecilnya itu.
Aku meraih ponselku, menekan sebuah nomer telepon. Aku sudah tahu
jawabannya sejak awal. Tetap tidak aktif.
Aku juga tahu, malam ini aku tidak akan bisa tidur lagi. aku menatap
punggung the lads saat mereka meninggalkan kamarku. Mereka memutuskan untuk
tidak menginap dirumah sakit saat aku bilang ingin sendirian. Tentu saja Michelle
juga pergi. Tapi sebenarnya aku tahu mereka mengambil keputusan aman. Aku tidak
akan bisa keluar dari kamarku tanpa bantuan siapapun. Aku menghela nafas.
Malam semakin larut, dan mataku tak kunjung terpejam. Aku mengingat
segala hal yang kusukai darinya. Wajahnya, rambutnya, matanya, aksennya, aroma
tubuhnya, senyumnya. Kemudian…airmatanya. Aku ingat malam saat aku melihatnya
menangis dan bertanya padaku apakah kami bisa bertemu lagi. Dadaku seakan
disumbat ketika mengingat pertanyaan sederhana dari mulutnya itu.
Pintu kamarku diketuk.
Aku tidak bereaksi apa-apa. Dokter, perawat, atau siapa saja, aku tidak
peduli. Aku memejamkan mataku sejenak, lebih baik aku pura-pura tidur.
“Shane, jangan tidur dengan posisi begitu.”
Mataku langsung terbuka dan melebar. Dengan cepat aku menoleh kearah
sumber suara. Aku melihat seorang gadis yang sangat cantik. Rambutnya digerai.
Ia memakai cardigan yang menutupi dress sederhana berwarna biru laut selutut.
Wedges terpasang di kedua kakinya. Aroma mawar menyeruak kedalam ruangan. Aku
tidak bisa mempercayai mataku.
“A, Ainsley?! Bagaimana bisa?! Kau tahu darimana aku ada disini?!
tunggu, kau baik-baik saja?! Kenapa kau menutup telepon?! Lalu, soal
pekerjaanmu…”
“Tenang sedikit Shane…” ia mendekat dan duduk di sisi tempat tidurku.
“Mana bisa aku tenang?!” ujarku.
“Aku yakin kau lupa telah sempat memberitahuku kau akan pindah ke rumah
sakit mana.” Katanya. “Soal nomor kamar, aku tadi berpapasan dengan the lads
dibawah, mereka memberitahuku. Maaf datang tiba-tiba.”
“Ka, kau kehilangan pekerjaanmu?” tanyaku hati-hati.
Ia tersenyum, mengangguk.
“Aku kehilangan pekerjaanku di rumah sakit itu.” Katanya. “Aku
dipindahkan.”
Hening.
Benar-benar hening.
“Sorry?” aku menatapnya wajahnya lekat-lekat.
“Aku…dipindahkan.” Ulangnya. “Ke Irlandia.”
Aku menganga.
“Kau membuatku nyaris gila!!” jeritku. “Kupikir kau dipecat!”
“He?” ia menggaruk kepalanya.
“Lain kali kalau bicara jangan
setengah-setengah! Dan pakai tata bahasa yang benar dong! Lagipula kenapa kau
mematikan teleponnya?” ujarku.
“Handphoneku mati kehabisan baterai…” katanya.
“Ainsley…kau ini…” aku mengacak-acak rambutku.
“Ng…maafkan aku.” Gumamnya.
Hening.
“Are you angry?” tanyanya.
Aku hanya diam dengan kepalaku mengarah membelakanginya.
“Shane?”
“D, diam sebentar! Dasar. Bikin kesal saja!” wajahku merah padam, dan
aku tahu karena suhu tubuhku naik. Aku tidak bisa menyembunyikan merah
diwajahku.
Aku menatapnya, lalu menghela nafas.
“Syu, syukurlah…”
Aku memegang tangannya, lalu memeluknya.
“S, Sh, Shane?” Ia terdengar kaget.
“Hey, do you believe in miracle?” tanyaku.
Ia terdiam.
“Well…I’m in a miracle right now.” Tanggapnya.
“Do you believe in another miracle?” tanyaku. “Bagaimana jika aku bilang
kau sudah mengambil hatiku sejak pertama kita bertemu?”
“Hah?”
“I love you.” Bisikku dengan wajah terasa mendidih.
“Apa kau bilang tadi?” ia melebarkan matanya.
“Itu bukan kalimat yang bisa diucapkan berkali-kali dengan mudah tahu.”
Aku benar-benar malu. “Pokoknya sudah kukatakan tadi.”
“But it’s impossible.” Katanya.
“Why?” tanyaku.
“Kau…terlalu sempurna.” Ia menunduk.
Aku menggeleng.
“Aku nggak akan bisa dibilang sempurna…tanpamu.”
“Shane, nggak lucu ah!” ia meninju lenganku. “Ini jebakan? Jebakan ya?”
“Terserah deh…” aku menutup wajahku dengan kedua tanganku.
“Shane?” gumamnya pelan sekali.
“Do you love me?” tanyaku tanpa menyingkirkan tangan dari wajahku. “No,
bukan sebagai idola, bukan sebagai member Westlife yang kau sukai. Tapi
sebagai…diriku.”
Yang kudengar hanya kesunyian.
Lalu kudengar ia menghela nafas.
“Mungkin…nanti…akan kutulis jawabannya dan kuletakkan dibawah bantal.”
Katanya.
“Aku mau dengar sekarang.” Aku mengangkat kepalaku, menatapnya. Kemudian
kudekati wajahnya. “Do you lo…”
“I do.” Potongnya cepat.
Aku tersenyum, kudekati wajahnya dan saat itu aku mencium bibirnya tanpa
berpikir lagi.
Jika aku sedang
berada didalam buku cerita, aku bukan seorang
pangeran yang sedang jatuh cinta pada putri dari kerajaan lain, atau
ksatria yang melindungi seorang gadis cantik dari para penjahat. Aku adalah
pengembara. Dan pengembara itu kini telah sampai ditempat tujuannya.
The
End