Sabtu, 13 Oktober 2012

The Blue Eyes of the Lighthouse (part 14)


       “PLTAK!!” jari telunjuk Mark dengan sukses menyentak keras di dahiku.
       “Aduuuuuuuuh!!” ujarku yang tidak bisa menghindar dari sentilannya.  “Apaan sih Mark?! Belum apa-apa sudah ngajak perang!”
       “Gara-gara kau aku repot tahu! Setiap hari Nicky berisik mencarimu kemana-mana! Handphoneku bisa-bisa meledak karena panggilan masuk!” Mark melirik Nicky yang memasang wajah pura-pura tidak tahu. “Hey, Byrne…matamu melihat kemana?”
       Nicky tidak menjawab. Aku melihat seisi ruang tengah apartemenku yang ramai. Aku merinding melihat banyak orang berkumpul. Westlife, Clark, Darren, Kyla dan yang paling membuatku merinding, Georgina sekarang duduk di sofa sambil mengotak-atik handphonenya. Rupanya aku benar-benar sudah membuat keributan.
       Mark merangkul bahuku. Aku memekik kaget.
       “Better you stay away from her, Feehily.” Nicky melempar kaleng bekas soda yang sudah habis diminumnya kearah Mark.
       “I miss my ex.” Cengir Mark.
       “Jangan bikin masalah!” ujar Nicky kesal.
       Pandanganku masih terpaku pada Georgina yang daritadi hanya diam. Darren sudah menceritakan semuanya. Bagaimana ia bisa bertemu Kyla, lalu menyusun rencana ‘Penangkapan Michelle Myron di New York’. Darren menghubungi Clark dan dengan mudah ia mendapat informasi dimana alamat hotel tempatku menetap. Kemudian Darren dan Kyla memberitahu Nicky, dan Darren memang tidak pernah keluar dari yang namanya gangguan jiwa, ia mengajak Georgina kerjasama.
       Mereka sampai di New York memang hampir tengah malam. Lalu Georgina disuruh memancingku kebawah untuk bertemu Nicky. tapi tiba-tiba Nicky mendadak masuk kedalam lift bersamaku, mengajakku bicara didalam lift agar tidak ada yang mengganggu kami. Itu tidak ada didalam rencana. Darren dan Kyla menganga melihat perbuatan Nicky dan langsung menyusul kami keatas.
      Aku menatap tanganku yang sempat memerah karena Nicky menggenggamnya kencang-kencang saat lift yang kami naiki bergerak turun hingga lantai dasar. Begitu pulang ke Irlandia, apartemenku langsung dipenuhi orang-orang ini.
       Aku tidak percaya ada Kyla ditengah-tengah sini. Dan sedang mengobrol dengan Darren. Dunia jadi terbalik-balik begini. Jujur saja aku benar-benar bahagia mengetahui Kyla kembali padaku, dan bukan karena aku sudah terkenal atau apa. Sebenarnya dari dulu ia tidak pernah meninggalkanku. Hanya saja, aku baru bisa melihatnya sekarang.
       “Stay away!” Nicky mendorong tubuh Mark yang berisi dan langsung duduk disebelahku. Aku malah merinding karena Georgina ada disini. Aku menggeser dudukku dan malah mendekat lagi pada Mark.
       “Tuh kan! Michelle mau duduk disampingku, Nicky!” Mark tertawa.
       Nicky benar-benar cemberut.
       “Nicky, kembalilah pada mama…” Brian membentangkan kedua tangannya lebar-lebar. “Biarkan mama memelukmu, sayang.”
       “Shut up, Bri!” Nicky merapatkan tubuhnya pada Shane yang langsung menepuk-nepuk pundaknya sambil tertawa.
       “I think it’s time to go home…” Georgina bangkit dari duduknya. “Thanks, that’s a nice trip. My boyfriend’s waiting for me.”
       Aku terbelalak mendengarnya. Georgina sudah punya pacar?!
       “Thank you very much, Gina…” aku memutuskan memberi senyum paling tulus padanya, dan untuk pertama kali ia membalas senyumku dengan senyum yang benar-benar tulus. Ia benar-benar cantiiiiik. Kalau aku jadi Nicky, aku pasti nggak akan pernah meninggalkannya!
       “Michelle, aku punya permintaan.” Kata Georgina saat aku mengantarnya ke ambang pintu. “Undang aku ke pernikahan kalian.”
       “Ha?!” wajahku merah padam.
       “See you.” Georgina tersenyum sekali lagi, lalu berjalan menjauh. Aku tersenyum memandangnya hingga ia tidak terlihat. Begitu kembali ke ruang tengah, aku langsung memeluk Nicky erat-erat. Nicky tersentak dengan wajah merah.
       “Please…du, dua menit…” aku memeluknya makin erat.
       Nicky menepuk kepalaku.
       “Dua menit sama sekali nggak cukup untukku.”
       Brian berdehem.
       “Dua menit sama sekali nggak cukup untukku.” katanya membeo
       “Nggak bisa lihat orang senang sebentar saja?” Nicky menghela nafas saat aku melepaskan pelukanku dengan benar-benar malu. Aku benar-benar tidak sadar saat memeluknya tadi.
       “Dua menit saja Kian.” Brian memeluk Kian dari belakang.
       “Sejujurnya aku merinding.” Kian berusaha menyingkirkan tubuh Brian. “Menyingkir dariku! Sekarang!”
       Nicky meniban tubuh Brian.
       “Lepaskan aku!” jerit Brian.
       “Dua menit, Brian!” seru Nicky sambil tertawa. Belum apa-apa Mark, Shane dan Kian sudah ikut-ikutan mengerubungi mereka dengan suara yang benar-benar bising. Darren dan Kyla sedang sibuk bicara soal model-model baju, dan Clark sempat-sempatnya menelepon pacarnya dipojok ruaangan.
       “Oi…” aku menghela nafas. “Kalian pulang saja sana!”

***

       “Aku sekarang wartawan.”
       Kata-kata yang membuatku menganga. Kyla mengatakan itu dengan senyum diwajahnya. Aku tahu sejak dulu ia bercita-cita menjadi diplomat. Tapi ternyata sekarang ia adalah seorang wartawan. Tapi ia mengatakan itu padaku dengan senyum yang tidak dibuat-buat. Ia mungkin menyukai pekerjaannya sekarang.
       “Aku akan menelepon teman-teman wartawanku dan melakukan interview. Nanti malam, kau harus menatap kamera dengan percaya diri. And say that you love Nicky.”
       Itu yang selanjutnya ia katakan.
       Dan sekarang aku sedang duduk disebuah café yang sengaja dikosongkan. Tepat sebulan setelah novel keduaku sudah kuselesaikan. Untuk mempersiapkan interview ini saja bisa dibilang sulit. Perlu beberapa orang yang membujukku melakukannya. Jujur, aku ketakutan.
       Nicky ada disebelahku. Kyla mengacungkan jempol dari kejauhan. Clark ada disebelahnya dengan wajah cemas. Dan handphoneku tidak berhenti bergetar karena Darren tidak berhenti mengirim SMS.
       Kemudian aku menatap beberapa wartawan didepanku dan Nicky. ada yang memegang kamera, alat perekam, sampai buku catatan. Nicky tersenyum kearahku seakan menyuruhku untuk tidak tegang. Aku menghela nafas.
       “Thank you for your time.” Kataku memulai. “Aku juga berterima kasih pada semua orang yang memberiku semangat. Aku meminta maaf pada seluruh fans Westlife yang tidak menyukaiku. Tapi malam ini aku rasa aku perlu mengatakan pada semuanya…”
       Aku menatap kamera.
       “I really love Nicky from the first time I met him in Baldoyle.” Kataku. “I wanna be with him, for a long time before he joined Westlife.”
       Nicky tersenyum.
       “I’ll live with Michelle no matter what happen.” Katanya. “I love her and I hope the fans will accept her and love her like they love Westlife. Because she’s the part of me. No matter what…Georgina has found someone better than me.”
       Tiba-tiba aku melihat Mark berlari masuk kedalam café.
       “Maaf telat…aku ketiduran.” Katanya.
       Para wartawan langsung memasang tampang bengong.
       “Ampun deh Marky…” Nicky menghela nafas. “Ini bukan acara lawak tahu. Kupikir kau tidak akan datang.”
       “Aku kan sudah minta maaf, Byrne.” Katanya bercanda. Lalu ia duduk disebelah Nicky dan menatap wartawan didepan kami satu persatu.
       “I’m here to say that I wanna see their happiness.” Mark tersenyum. “Nicky is my brother. And I know from the start that he loves Michelle.”
       Wajahku memerah.
       “Singkatnya begini…” Mark menyatukan tangan kanan dan kirinya membentuk kerucut. “Aku hanya pemeran kecil didalam alur yang mereka jalani. Pemain figuran tidak bisa terus-terusan ada didalam cerita. Jadi aku pamit dan memperkenalkan dua tokoh utama kita disini. tolong terima mereka bersama. Kalau tidak, buku cerita yang kalian pegang tidak akan bisa tertutup. Aku berani bersumpah, mereka benar-benar saling mencintai walaupun bertahun-tahun sudah berlalu.”
       “Sama sekali salah.” Tiba-tiba aku berkata sambil menatap mata Mark. “Kau sama sekali bukan pemeran figuran. Kau segalanya dalam cerita kami, Mark.”
       Mark terdiam, menatapku. Kemudian ia membentuk sebuah senyuman.
       “Terima kasih, Mark…” Nicky menatap Mark .
       Lagi-lagi Mark hanya terdiam dengan senyuman. Mungkin pria satu ini sedang sulit berkata-kata. Mengagumi keberhasilannya sendiri. Dalam senyumannya tersirat rasa lega. Ia menatap kearah lantai.
      “Setidaknya jangan bikin aku terharu didepan kamera dong.” Ia tertawa. “Malu, tahu.”

 
***

       Aku berlari sekencang-kencangnya setelah menutup dan mengunci pintu depan apartemenku. Lagi-lagi ponselku berbunyi. Sebenarnya aku malas mengangkatnya kalau tidak ingat Clark mungkin saja akan menjadikanku daging barbeque jika aku tidak mengangkat telepon darinya.
       “Hello Clark, aku sudah jalan tahu! Jangan terus-terusan meneleponku. Aku baru akan masuk lift.” Aku menutup telepon.
       Entah ada apa, yang jelas jantungku tidak bisa berhenti berdetak kencang seakan mendesak dadaku. Clark meneleponku dengan suara panik. Ia menyuruhku cepat-cepat bersiap sedangkan ia menunggu dengan mobilnya dibawah. Apapun yang terjadi, pasti itu adalah hal buruk. Nada bicara Clark membuatku down secara drastis. Empat hari sejak wawancara itu, dan hari ini mungkin adalah resultnya.
       Aku keluar dari lift dan langsung berlari lagi menuju pintu keluar. Aku bisa melihat mobil sedan putih Clark dan langsung melesat kesana. Aku membuka pintu depan dan langsung duduk disebelah Clark. Wajahnya tegang. Ia sama sekali tidak melirik kearahku dan langsung menginjak gas.
       “Clark. Jangan buat aku gila. Aku mohon beritahu aku sekarang. Ada apa?” tanyaku.
       “Diamlah!!” jerit Clark. “Aku juga hampir gila!”
       Aku langsung terdiam.
       Apa yang terjadi?
       “Kumohon siapkan hatimu, Michelle.” Ucapnya pelan.
       Aku menggigit bibirku. Menghela nafas.
       “Aku siap.” Kataku.
       “Akan kuberitahu kalau kita sudah sampai.” Clark memindahkan gigi.
       Aku mengangguk.
       Bahkan aku tidak berani membiarkan otakku berputar untuk memikirkan kemungkinan apapun. sudah pasti aku hampir gila karena ingin tahu apa yang terjadi. Yang jelas, aku rasa mungkin karirku sebagai penulis sudah sampai disini saja.
       Mobil Clark melewati sebuah toko buku. Ia memarkir mobilnya agak jauh dari toko buku itu. Lalu ia mematikan mesin mobilnya.
       “Ayo.” Ia membuka pintu mobil. Aku mengikutinya. Ia berjalan cepat kearah depan toko buku itu. “Tidak perlu masuk. Kau bisa melihatnya dari sini.”
       Aku berusaha memahami apa maksud Clark. Aku memandangi pintu kaca toko buku itu, lalu menatap kearah etelasenya. Beberapa novel diletakkan disana, dan aku menyadari semua novel yang diletakkan disana adalah novel dengan cover yang sama. Lalu kulihat sebuah spanduk disampingnya. Juga memamerkan cover novel yang sama. Kubaca tulisan didalam spanduk itu.
       ‘When I reach the shore by Michelle Myron’
       Lalu kubaca tulisan dibawahnya.
       ‘BEST SELLER’
       Aku tidak bisa mempercayai mataku. Aku memandangi etelase itu lama sekali. Lalu aku menatap Clark dengan wajah tidak percaya.
       “Surprise…” cengirnya.
       “Clark…” suaraku hampir tidak keluar. “Kau benar-benar sialan. Aku panik hingga rasanya akan mati, kau tahu…”
       Ia tertawa menanggapinya.
       “It’s impossible. How come?” aku menyentuh kaca etelase dan berharap ini bukan mimpi. Clark tersenyum sambil menepuk pundakku.
       “Apanya yang tidak mungkin?” katanya. “Sudah jelas novel pertamamu juga best seller. Sudah jelas, kau berhasil. Itu saja.”
       Aku tersenyum dengan airmata terselip dimataku.
       “Kau mau beli? Mumpung kita sudah disini.” Clark menatapku.
       Aku mengangguk. Clark membuka pintu toko buku. Aku berdiri didepan sebuah rak dan meraih satu novelku. Kutatap covernya sambil tersenyum.
       “Kau mau jadi apa, Michelle?” terngiang sebuah pertanyaan dari Nicky saat kami duduk didepan lapangan bola Plunkit High School. Saat kami masih sekolah, saat ia masih jauh dari jangkauanku.
       “Penulis terkenal...” jawabku saat itu. Penulis yang bukunya selalu dipajang di etelase sebagai best seller. Itu mimpiku sejak kecil.”
       “Mimpimu sudah tercapai kan?” tiba-tiba kurasakan sesosok tubuh memelukku dari belakang. Aku tidak akan pernah melupakan harum tubuhnya saat memelukku. Aku tahu, Nicky yang sedang berdiri dibelakangku. Mendekapku lembut disana. “I’m happy for you…honey.”
       Aku menunduk, lalu mengangguk. Sudah pasti Clark yang membuat Nicky tiba-tiba muncul disini. Mereka selalu tidak bisa ditebak. Aku menggenggam lengan Nicky yang melingkar ditubuhku.
       “Ini adalah buku kedua yang kupersembahkan untukmu.” Bisikku. “Novel keduamu.”
       “Aku bisa gila kalau kau terus-terusan menulis tentangku.” Katanya.
       “Sayangnya aku nggak akan berhenti.” Aku tersenyum.
       Pelukan Nicky terasa makin erat.
       “Oke, sudah cukup.” Clark menepuk pundak Nicky.
       “Kenapa kau harus mengganggu sih?!” ujarku kesal. “Padahal yang tadi bisa kujadikan bahan novel!”
       Tawa Nicky meledak mendengar gurauanku.
       “Kalau gitu, aku mau minum teh di apartemenmu.” Katanya.
       “Apa maksudmu dengan “Kalau gitu” ? dengan kata lain, sudah jelas kau mengusirku kan?” Clark menatap Nicky dengan dahi berkerut.
       “Karena aku baik, kau boleh ikut.” Cengir Nicky.
       “Itu cukup bagus.” Clark tersenyum.
       “Tapi Michelle naik mobilku.” Nicky langsung menarikku kearah meja kasir. Clark menghela nafas.
       “Pasangan bodoh…” bisiknya.
       Aku tidak tahu apa yang terjadi saat aku kembali ke apartemenku. Setidaknya aku belum tahu saat itu. Aku belum tahu ketika aku berdiri diambang pintu masuk apartemenku, disana diletakkan banyak amplop dan buket bunga. Aku belum tahu tulisan-tulisan apa yang tertulis disana. Aku belum tahu aku akan menahan tangis bahagiaku saat membacanya.
       Salah satu amplop itu berwarna ungu cerah. Susunan kata-kata tertera disana.
       ‘Supporting Nicky Byrne and Michelle Myron together.’
 
***
 
To Be Continued

      

7 komentar:

  1. AAAArrrrrrrrhhhhhh dua menit saja !!!!! Please Kee, hug me, like Nicky hug Michelle ...., dont let Bri hug you ...!!! hhehehehe - sweet. Nah, di sini nih, baru kerasa cintanya Nicky buat Michelle. Suwer kerasa, childissnya nicky, egois, posesif ..., bener-bener menggambarkan naturalisme orang bener bener mencintai seseorang. Hanyaaaaa, pengen ketawa pas wawancara, penting ya, bikin pertnyataan di depan publik ttg cinta segitiga Nicky Michelle and Mark ??? hehehehehe... tapi ya mending sih, biar ga jadi fitnah n jadi kabar burung kabur ga jelas heheheheeh .... Aaaaaaahhhh best seller first novel ..., my dreams.... when will i reach that dream ... ???? --- okeh, good story, Lika .... smile

    BalasHapus
  2. Nah, sesuai permintaan Kak Malik, saya akan mereview cerita ini :D

    memang, chapter 14 ini nggak sepanjang chapter-chapter yg lain, namun di chapter ini perasaan Michelle dan Nicky kerasa banget. Sumpah! Waktu baca jadi ngerasa kayak Michelle beneran!

    oke deh segitu aja #Gubraks XD
    Lanjutannya ya kak... :D ditunggu...

    BalasHapus
  3. saya baru beberapa hari yang lalu tau cerita ini dan ceritanya bagus banget. penasaran endingnya bakal kayak gimana. btw, pacar barunya Georgina siapa sih? next chapter diceritain dong :-)

    BalasHapus
  4. bahahaha itu kayaknya ga bakal di ceritain :p itu sesuai imajinasi pembaca aja wkwkwk. thanks for reading <3

    BalasHapus
  5. Nazaa: makasih sayaaang maaf ya lama update nya -_- lagi ngadet

    BalasHapus
  6. Baru baca skrg, lanjutkannn

    BalasHapus
  7. Maaf baru baca skrg, seruuuu lanjut ceritanyaaaa👍👍👍

    BalasHapus