“PLTAK!!”
jari telunjuk Mark dengan sukses menyentak keras di dahiku.
“Aduuuuuuuuh!!” ujarku yang tidak bisa
menghindar dari sentilannya. “Apaan sih
Mark?! Belum apa-apa sudah ngajak perang!”
“Gara-gara kau aku repot tahu! Setiap hari Nicky berisik mencarimu
kemana-mana! Handphoneku bisa-bisa meledak karena panggilan masuk!” Mark
melirik Nicky yang memasang wajah pura-pura tidak tahu. “Hey, Byrne…matamu
melihat kemana?”
Nicky
tidak menjawab. Aku melihat seisi ruang tengah apartemenku yang ramai. Aku
merinding melihat banyak orang berkumpul. Westlife, Clark, Darren, Kyla dan
yang paling membuatku merinding, Georgina sekarang duduk di sofa sambil
mengotak-atik handphonenya. Rupanya aku benar-benar sudah membuat keributan.
Mark
merangkul bahuku. Aku memekik kaget.
“Better
you stay away from her, Feehily.” Nicky melempar kaleng bekas soda yang sudah
habis diminumnya kearah Mark.
“I miss
my ex.” Cengir Mark.
“Jangan
bikin masalah!” ujar Nicky kesal.
Pandanganku masih terpaku pada Georgina yang daritadi hanya diam. Darren
sudah menceritakan semuanya. Bagaimana ia bisa bertemu Kyla, lalu menyusun
rencana ‘Penangkapan Michelle Myron di New York’. Darren menghubungi Clark dan
dengan mudah ia mendapat informasi dimana alamat hotel tempatku menetap.
Kemudian Darren dan Kyla memberitahu Nicky, dan Darren memang tidak pernah
keluar dari yang namanya gangguan jiwa, ia mengajak Georgina kerjasama.
Mereka
sampai di New York memang hampir tengah malam. Lalu Georgina disuruh
memancingku kebawah untuk bertemu Nicky. tapi tiba-tiba Nicky mendadak masuk
kedalam lift bersamaku, mengajakku bicara didalam lift agar tidak ada yang
mengganggu kami. Itu tidak ada didalam rencana. Darren dan Kyla menganga
melihat perbuatan Nicky dan langsung menyusul kami keatas.
Aku
menatap tanganku yang sempat memerah karena Nicky menggenggamnya
kencang-kencang saat lift yang kami naiki bergerak turun hingga lantai dasar.
Begitu pulang ke Irlandia, apartemenku langsung dipenuhi orang-orang ini.
Aku tidak
percaya ada Kyla ditengah-tengah sini. Dan sedang mengobrol dengan Darren.
Dunia jadi terbalik-balik begini. Jujur saja aku benar-benar bahagia mengetahui
Kyla kembali padaku, dan bukan karena aku sudah terkenal atau apa. Sebenarnya
dari dulu ia tidak pernah meninggalkanku. Hanya saja, aku baru bisa melihatnya
sekarang.
“Stay
away!” Nicky mendorong tubuh Mark yang berisi dan langsung duduk disebelahku.
Aku malah merinding karena Georgina ada disini. Aku menggeser dudukku dan malah
mendekat lagi pada Mark.
“Tuh kan!
Michelle mau duduk disampingku, Nicky!” Mark tertawa.
Nicky
benar-benar cemberut.
“Nicky,
kembalilah pada mama…” Brian membentangkan kedua tangannya lebar-lebar.
“Biarkan mama memelukmu, sayang.”
“Shut up,
Bri!” Nicky merapatkan tubuhnya pada Shane yang langsung menepuk-nepuk
pundaknya sambil tertawa.
“I think
it’s time to go home…” Georgina bangkit dari duduknya. “Thanks, that’s a nice
trip. My boyfriend’s waiting for me.”
Aku
terbelalak mendengarnya. Georgina sudah punya pacar?!
“Thank you
very much, Gina…” aku memutuskan memberi senyum paling tulus padanya, dan untuk
pertama kali ia membalas senyumku dengan senyum yang benar-benar tulus. Ia
benar-benar cantiiiiik. Kalau aku jadi Nicky, aku pasti nggak akan pernah
meninggalkannya!
“Michelle,
aku punya permintaan.” Kata Georgina saat aku mengantarnya ke ambang pintu.
“Undang aku ke pernikahan kalian.”
“Ha?!”
wajahku merah padam.
“See
you.” Georgina tersenyum sekali lagi, lalu berjalan menjauh. Aku tersenyum
memandangnya hingga ia tidak terlihat. Begitu kembali ke ruang tengah, aku
langsung memeluk Nicky erat-erat. Nicky tersentak dengan wajah merah.
“Please…du,
dua menit…” aku memeluknya makin erat.
Nicky
menepuk kepalaku.
“Dua
menit sama sekali nggak cukup untukku.”
Brian
berdehem.
“Dua
menit sama sekali nggak cukup untukku.” katanya membeo
“Nggak
bisa lihat orang senang sebentar saja?” Nicky menghela nafas saat aku
melepaskan pelukanku dengan benar-benar malu. Aku benar-benar tidak sadar saat
memeluknya tadi.
“Dua
menit saja Kian.” Brian memeluk Kian dari belakang.
“Sejujurnya aku merinding.” Kian berusaha menyingkirkan tubuh Brian.
“Menyingkir dariku! Sekarang!”
Nicky
meniban tubuh Brian.
“Lepaskan
aku!” jerit Brian.
“Dua
menit, Brian!” seru Nicky sambil tertawa. Belum apa-apa Mark, Shane dan Kian
sudah ikut-ikutan mengerubungi mereka dengan suara yang benar-benar bising.
Darren dan Kyla sedang sibuk bicara soal model-model baju, dan Clark sempat-sempatnya
menelepon pacarnya dipojok ruaangan.
“Oi…” aku
menghela nafas. “Kalian pulang saja sana!”
***
“Aku
sekarang wartawan.”
Kata-kata
yang membuatku menganga. Kyla mengatakan itu dengan senyum diwajahnya. Aku tahu
sejak dulu ia bercita-cita menjadi diplomat. Tapi ternyata sekarang ia adalah
seorang wartawan. Tapi ia mengatakan itu padaku dengan senyum yang tidak
dibuat-buat. Ia mungkin menyukai pekerjaannya sekarang.
“Aku akan
menelepon teman-teman wartawanku dan melakukan interview. Nanti malam, kau
harus menatap kamera dengan percaya diri. And say that you love Nicky.”
Itu yang
selanjutnya ia katakan.
Dan
sekarang aku sedang duduk disebuah café yang sengaja dikosongkan. Tepat sebulan
setelah novel keduaku sudah kuselesaikan. Untuk mempersiapkan interview ini
saja bisa dibilang sulit. Perlu beberapa orang yang membujukku melakukannya. Jujur,
aku ketakutan.
Nicky ada disebelahku. Kyla mengacungkan
jempol dari kejauhan. Clark ada disebelahnya dengan wajah cemas. Dan
handphoneku tidak berhenti bergetar karena Darren tidak berhenti mengirim SMS.
Kemudian
aku menatap beberapa wartawan didepanku dan Nicky. ada yang memegang kamera,
alat perekam, sampai buku catatan. Nicky tersenyum kearahku seakan menyuruhku
untuk tidak tegang. Aku menghela nafas.
“Thank
you for your time.” Kataku memulai. “Aku juga berterima kasih pada semua orang
yang memberiku semangat. Aku meminta maaf pada seluruh fans Westlife yang tidak
menyukaiku. Tapi malam ini aku rasa aku perlu mengatakan pada semuanya…”
Aku
menatap kamera.
“I really
love Nicky from the first time I met him in Baldoyle.” Kataku. “I wanna be with
him, for a long time before he joined Westlife.”
Nicky
tersenyum.
“I’ll
live with Michelle no matter what happen.” Katanya. “I love her and I hope the
fans will accept her and love her like they love Westlife. Because she’s the
part of me. No matter what…Georgina has found someone better than me.”
Tiba-tiba
aku melihat Mark berlari masuk kedalam café.
“Maaf
telat…aku ketiduran.” Katanya.
Para
wartawan langsung memasang tampang bengong.
“Ampun
deh Marky…” Nicky menghela nafas. “Ini bukan acara lawak tahu. Kupikir kau
tidak akan datang.”
“Aku kan
sudah minta maaf, Byrne.” Katanya bercanda. Lalu ia duduk disebelah Nicky dan
menatap wartawan didepan kami satu persatu.
“I’m here
to say that I wanna see their happiness.” Mark tersenyum. “Nicky is my brother.
And I know from the start that he loves Michelle.”
Wajahku
memerah.
“Singkatnya
begini…” Mark menyatukan tangan kanan dan kirinya membentuk kerucut. “Aku
hanya pemeran kecil didalam alur yang mereka jalani. Pemain figuran tidak bisa
terus-terusan ada didalam cerita. Jadi aku pamit dan memperkenalkan dua tokoh
utama kita disini. tolong terima mereka bersama. Kalau tidak, buku cerita yang
kalian pegang tidak akan bisa tertutup. Aku berani bersumpah, mereka
benar-benar saling mencintai walaupun bertahun-tahun sudah berlalu.”
“Sama
sekali salah.” Tiba-tiba aku berkata sambil menatap mata Mark. “Kau sama sekali
bukan pemeran figuran. Kau segalanya dalam cerita kami, Mark.”
Mark terdiam,
menatapku. Kemudian ia membentuk sebuah senyuman.
“Terima
kasih, Mark…” Nicky menatap Mark .
Lagi-lagi
Mark hanya terdiam dengan senyuman. Mungkin pria satu ini sedang sulit
berkata-kata. Mengagumi keberhasilannya sendiri. Dalam senyumannya tersirat
rasa lega. Ia menatap kearah lantai.
“Setidaknya
jangan bikin aku terharu didepan kamera dong.” Ia tertawa. “Malu, tahu.”
Aku berlari
sekencang-kencangnya setelah menutup dan mengunci pintu depan apartemenku. Lagi-lagi
ponselku berbunyi. Sebenarnya aku malas mengangkatnya kalau tidak ingat Clark
mungkin saja akan menjadikanku daging barbeque jika aku tidak mengangkat
telepon darinya.
“Hello
Clark, aku sudah jalan tahu! Jangan terus-terusan meneleponku. Aku baru akan
masuk lift.” Aku menutup telepon.
Entah ada
apa, yang jelas jantungku tidak bisa berhenti berdetak kencang seakan mendesak
dadaku. Clark meneleponku dengan suara panik. Ia menyuruhku cepat-cepat bersiap
sedangkan ia menunggu dengan mobilnya dibawah. Apapun yang terjadi, pasti itu
adalah hal buruk. Nada bicara Clark membuatku down secara drastis. Empat hari
sejak wawancara itu, dan hari ini mungkin adalah resultnya.
Aku keluar
dari lift dan langsung berlari lagi menuju pintu keluar. Aku bisa melihat mobil
sedan putih Clark dan langsung melesat kesana. Aku membuka pintu depan dan
langsung duduk disebelah Clark. Wajahnya tegang. Ia sama sekali tidak melirik
kearahku dan langsung menginjak gas.
“Clark. Jangan
buat aku gila. Aku mohon beritahu aku sekarang. Ada apa?” tanyaku.
“Diamlah!!” jerit Clark. “Aku juga hampir
gila!”
Aku langsung
terdiam.
Apa yang
terjadi?
“Kumohon
siapkan hatimu, Michelle.” Ucapnya pelan.
Aku menggigit
bibirku. Menghela nafas.
“Aku
siap.” Kataku.
“Akan kuberitahu kalau kita sudah sampai.”
Clark memindahkan gigi.
Aku mengangguk.
Bahkan
aku tidak berani membiarkan otakku berputar untuk memikirkan kemungkinan
apapun. sudah pasti aku hampir gila karena ingin tahu apa yang terjadi. Yang jelas,
aku rasa mungkin karirku sebagai penulis sudah sampai disini saja.
Mobil Clark melewati sebuah toko buku. Ia memarkir
mobilnya agak jauh dari toko buku itu. Lalu ia mematikan mesin mobilnya.
“Ayo.” Ia membuka pintu mobil. Aku mengikutinya.
Ia berjalan cepat kearah depan toko buku itu. “Tidak perlu masuk. Kau bisa
melihatnya dari sini.”
Aku berusaha
memahami apa maksud Clark. Aku memandangi pintu kaca toko buku itu, lalu menatap
kearah etelasenya. Beberapa novel diletakkan disana, dan aku menyadari semua
novel yang diletakkan disana adalah novel dengan cover yang sama. Lalu kulihat
sebuah spanduk disampingnya. Juga memamerkan cover novel yang sama. Kubaca tulisan
didalam spanduk itu.
‘When I
reach the shore by Michelle Myron’
Lalu kubaca
tulisan dibawahnya.
‘BEST
SELLER’
Aku tidak
bisa mempercayai mataku. Aku memandangi etelase itu lama sekali. Lalu aku
menatap Clark dengan wajah tidak percaya.
“Surprise…”
cengirnya.
“Clark…”
suaraku hampir tidak keluar. “Kau benar-benar sialan. Aku panik hingga rasanya
akan mati, kau tahu…”
Ia tertawa
menanggapinya.
“It’s
impossible. How come?” aku menyentuh kaca etelase dan berharap ini bukan mimpi.
Clark tersenyum sambil menepuk pundakku.
“Apanya
yang tidak mungkin?” katanya. “Sudah jelas novel pertamamu juga best seller. Sudah
jelas, kau berhasil. Itu saja.”
Aku tersenyum
dengan airmata terselip dimataku.
“Kau mau
beli? Mumpung kita sudah disini.” Clark menatapku.
Aku mengangguk.
Clark membuka pintu toko buku. Aku berdiri didepan sebuah rak dan meraih satu
novelku. Kutatap covernya sambil tersenyum.
“Kau mau jadi apa, Michelle?” terngiang sebuah
pertanyaan dari Nicky saat kami duduk didepan lapangan bola Plunkit High
School. Saat kami masih sekolah, saat ia masih jauh dari jangkauanku.
“Penulis terkenal...” jawabku saat itu. “Penulis yang
bukunya selalu dipajang di etelase sebagai best seller. Itu mimpiku sejak kecil.”
“Mimpimu
sudah tercapai kan?” tiba-tiba kurasakan sesosok tubuh memelukku dari belakang.
Aku tidak akan pernah melupakan harum tubuhnya saat memelukku. Aku tahu, Nicky
yang sedang berdiri dibelakangku. Mendekapku lembut disana. “I’m happy for you…honey.”
Aku menunduk,
lalu mengangguk. Sudah pasti Clark yang membuat Nicky tiba-tiba muncul disini.
Mereka selalu tidak bisa ditebak. Aku menggenggam lengan Nicky yang melingkar
ditubuhku.
“Ini
adalah buku kedua yang kupersembahkan untukmu.” Bisikku. “Novel keduamu.”
“Aku bisa
gila kalau kau terus-terusan menulis tentangku.” Katanya.
“Sayangnya
aku nggak akan berhenti.” Aku tersenyum.
Pelukan
Nicky terasa makin erat.
“Oke,
sudah cukup.” Clark menepuk pundak Nicky.
“Kenapa
kau harus mengganggu sih?!” ujarku kesal. “Padahal yang tadi bisa kujadikan
bahan novel!”
Tawa
Nicky meledak mendengar gurauanku.
“Kalau
gitu, aku mau minum teh di apartemenmu.” Katanya.
“Apa
maksudmu dengan “Kalau gitu” ? dengan kata lain, sudah jelas kau mengusirku
kan?” Clark menatap Nicky dengan dahi berkerut.
“Karena
aku baik, kau boleh ikut.” Cengir Nicky.
“Itu
cukup bagus.” Clark tersenyum.
“Tapi
Michelle naik mobilku.” Nicky langsung menarikku kearah meja kasir. Clark
menghela nafas.
“Pasangan
bodoh…” bisiknya.
Aku tidak
tahu apa yang terjadi saat aku kembali ke apartemenku. Setidaknya aku belum
tahu saat itu. Aku belum tahu ketika aku berdiri diambang pintu masuk
apartemenku, disana diletakkan banyak amplop dan buket bunga. Aku belum tahu
tulisan-tulisan apa yang tertulis disana. Aku belum tahu aku akan menahan
tangis bahagiaku saat membacanya.
Salah satu
amplop itu berwarna ungu cerah. Susunan kata-kata tertera disana.
‘Supporting
Nicky Byrne and Michelle Myron together.’
***
To Be Continued