Selasa, 31 Juli 2012

The Blue Eyes of the Lighthouse (part 13)


*Michelle’s Pov*

       Dingin.
       Itu yang kurasakan saat ini. Bukan hanya karena salju awal januari yang turun dan suhu udara yang menusuk tulang. Rasa dingin yang membekukan terasa hingga jauh kedalam hatiku. Kutatap butiran salju yang turun dengan tenang dari balik kaca jendela mobil Clark.  Kudengarkan lagu Boyzone, no matter what yang mengalir dari radio mobil. Aku tidak mau menatap Clark. Karena aku tahu sesungguhnya ia tidak suka dengan keputusanku. hingga lagu habis, aku terus menatap kearah butiran salju yang mulai berhenti berjatuhan. Lagu berganti menjadi lagu Westlife, you make me feel. Aku buru-buru mematikan radio, kudengar desahan Clark yang berat.
       “Michelle…” panggilnya.
       “Please Clark. It’s my decision…” aku tidak menatap wajahnya.
       “Kau baru sembuh dari demam dua hari yang lalu, dan sekarang kau benar-benar mau terbang sendirian ke New York? Aku tahu ini berat untukmu. Tapi…”
       “Selama aku ada di Irlandia, aku akan menderita.” Aku memejamkan mataku. “Bukan hanya aku. Nicky…aku tidak sanggup melihat wajahnya saat aku bilang tidak bisa melanjutkan hubunganku dengannya. Tapi aku lebih tidak sanggup kalau hidupnya akan berantakan karena hidup bersama orang seperti aku.”
       “You know…menurutku kalian belum resmi putus. Putus itu harus disetujui dua pihak. Dan aku tahu dia tidak mau putus denganmu.” Kata Clark.
       “Lama kelamaan dia pasti capek menunggu.” Aku tersenyum. “Aku lebih baik pergi dari hidupnya. Setidaknya aku sudah terbiasa patah hati. Tapi Georgina belum tentu sudah melupakannya. Kalau aku jadi Georgina, aku pasti merasa ingin membunuh Michelle Myron. Si pengacau itu…”
       “Menurutku kau tidak usah memikirkan kata-kata pedas orang-orang tentangmu sampai bertindak sejauh ini…” Clark membelokkan mobilnya kedalam airport.
       “Orang-orang itu benar kok. I’m such a bitch…padahal aku bukan siapa-siapa. Tapi aku merebut waktu berharga dalam hidup Nicky dan Mark.” Aku menempelkan pipiku di kaca jendela. “I’m okay…I’m okay Clark. Aku janji aku akan mengetik novelku disana. Walaupun aku tidak jamin akan ada yang membeli novelku.”
       Clark memarkir mobil.
       “Kau yakin tidak mengabari Nicky?” Tanya Clark.
       Aku menggeleng.
       “Hmmm keberatan membantuku membawa koper?” aku menatapnya.
       Clark langsung turun dari mobilnya dan mengambil salah satu koperku dari jok belakang. Aku menyeret koperku yang lain. Kupakai syalku hingga menutupi mulutku, lalu kukenakan kacamata hitam. Clark berjalan disampingku. Saat ini ia yang selalu mendampingiku. Aku memeluknya saat ingin memasuki ruang tunggu.
       “Thanks, Clark…” bisikku ditelinganya.
       “Anything for you Michelle…” Ia tersenyum. “Kabari aku setiap hari, please?”
       “Okay.” Aku balas tersenyum, mengambil koper yang dipegang oleh Clark dan berjalan menjauh. Aku menghela nafas sambil berjalan.
       Apanya yang baik-baik saja?
       Jalanku melambat.
       Apanya yang baik-baik saja?
       Aku berusaha menahan airmata yang mendesak keluar. Ini adalah keputusan terberat dalam hidupku. Padahal aku dan Nicky sudah bisa hidup bersama. Tapi ternyata aku salah…aku tahu aku tidak boleh ada disisinya.
       Kuambil ponselku. Aku akan mengabari Darren. Aku selalu lupa mengabarinya. Walaupun ia sedang marah padaku, tapi ia tetap sahabatku. Dan aku tidak boleh lupa lagi mengabarinya. Aku akan mengabarinya kalau aku pergi. Aku akan mengabarinya kalau aku meninggalkan Nicky, laki-laki yang sangat kucintai. Aku akan mengabarinya tentang apapun. Walaupun ia mungkin tidak mau mengenalku lagi setelahnya. Aku akan mengabarinya, aku akan mengabarinya.
       Pesan terkirim.

***
       “Bisa tinggalkan aku sendiri dulu, Ed?”
       Edward Nolan, saat itu sedang duduk dibelakang kemudi dengan seatbelt yang masih terpasang, menatap pacarnya cemas.
       “Are you okay, Darren?” ia mengangkat alis. “Beberapa hari ini kau kelihatan suram.”
       “I’m okay…aku hanya perlu sedikit istirahat, dan aku sedang butuh sendirian.” Darren menunduk. “Bisa turunkan aku di kedai kopi terdekat?”
       “Kau nggak marah padaku kan?” Edward terlihat takut.
       Darren tersenyum menatap pacarnya.
       “Mana mungkin aku marah padamu, love…” katanya. “So, please?”
       “Michelle lagi? Karena dia?” Tanya Edward.
       Darren terdiam. Tidak bisa menjawab.
       “Kenapa kau bersahabat dengan orang seperti dia sih?” Edward menghela nafas. “Aku tidak bisa melihatmu begini terus.”
       “Tolong jangan hina dia. Orang-orang sudah bicara pedas, dan aku nggak bisa mendengar laki-laki yang kucintai menghina sahabatku.” Darren menyandarkan dirinya pada jok mobil. “Walaupun…walaupun aku sudah memarahinya habis-habisan...”
       Edward mengerem mobilnya didepan sebuah kedai kopi.
       “Sorry…” katanya. “Hubungi aku.”
       Darren keluar dari mobil Edward, masuk kedalam kedai kopi dan duduk disalah satu kursi. Disana ia mengeluarkan airmata yang sudah ditahannya daritadi. Ia berusaha tidak mengeluarkan suara. Tapi ia tidak tahan, tangan kanannya menggenggam tangan kirinya erat-erat. Ia tidak bisa melupakan SMS yang diterimanya beberapa hari yang lalu. SMS yang berisi kabar. Kabar yang selalu dinantinya dari sahabatnya. Tapi justru kabar yang datang tidak sesuai dengan harapannya sama sekali.
       “Michelle…I’m sorry…” Katanya lirih, menunduk, airmata berjatuhan ke pangkuannya. Ia sadar mulai banyak orang yang mendengar suara tangisnya. Ia berusaha menghapus airmatanya, mengambil nafas dalam-dalam. Ia kemudian memesan secangkir kopi untuk menghangatkan tubuhnya. Begitu melihat ke sekeliling, ia tahu ia sedang menjadi pusat perhatian. Dan ada satu orang yang menatapnya seksama. Ia mengangkat alis, berusaha mengenali orang itu.
       Seorang perempuan berambut blonde tipis yang diikat rapi, bolamatanya berwarna abu-abu. Kulitnya pucat. Ia merasa pernah bertemu dengan perempuan itu. Ia akhirnya yakin saat perempuan itu bangkit dari duduknya, berjalan melewati mejanya dan menuju pintu keluar.
       “Errr…wait!” Darren spontan berseru.
       Perempuan itu menoleh kearahnya.
       “Are you…”
       “Yes…I’m Kyla Brennon.”
       Darren melebarkan matanya.
       “You…”
       “I think we’ve met before…” Kyla menunduk, canggung menatap Darren. “I’m sorry, but can I…can I sit here?”
       Darren menggigit bibirnya, tentu saja…bertemu dengan orang yang sudah dibentaknya habis-habisan sama sekali tidak bagus. Apalagi orang itu dibencinya. Tapi ia tidak mungkin menolak saat karena ia yang memanggil Kyla tadi.
       “Well…” ia mengangkat bahu. “silahkan.”
       “Sebenarnya, aku mendengarmu menyebut nama Michelle barusan…” Kyla duduk didepan Darren. “Aku yakin kau orang yang kutemui di airport bersama Michelle…aku…”

       Airmata Kyla tiba-tiba jatuh.
       “Ehm, sorry…” ia buru-buru menghapusnya. Ia menunduk beberapa lama, menahan airmatanya. “Aku…dulu aku teman baik Michelle…”
       “I know…” kata Darren. “Michelle sudah menceritakan semuanya.”
       “Kau sudah tahu? Semuanya?” Kyla menatap Darren seakan memastikan.
       Darren mengangguk.
       “Sebenarnya aku kurang suka melihatmu. Tadi aku hanya ingin memastikan.” Darren memutuskan jujur.
       “Aku tahu.” Kyla tersenyum. “Kau pasti teman Michelle yang sangat baik. Aku memang lebih baik tidak masuk lagi kedalam hidupnya. Tapi aku tidak bisa tenang…aku selalu mengingatnya, bertahun-tahun.”
       Darren tidak menanggapi.
       “Apa yang kukatakan pada Michelle memang keterlaluan. Tapi, itu tidak seratus persen dari dalam hatiku. Aku sangat menyayanginya. Dia keren deh! Blazernya nggak pernah dikancingkan walaupun sudah diperingati guru berkali-kali.”
       Kyla tidak bisa menahan tangisnya.
       “Maaf…maafkan aku…” ia menghapus air matanya lagi. “Aku selalu menyukainya sampai sekarang. Aku membaca novelnya walaupun tidak bisa memujinya secara langsung. Aku yang sekarang bukan apa-apa kalau dibandingkan dengannya. Aku kaget setengah mati saat tahu ia pacaran sama Mark. Soalnya aku suka Westlife. Aku suka banget sama Shane! Dia keren banget! Suaranya itu ya…pokoknya luar biasa!!”
       Darren bengong.
       “Ng, maaf…” Kyla menggaruk kepalanya.
       Darren menunduk. Tidak bisa menahan tawanya.
       “Hmmpp…hahahahahaha!” Ia memegangi perutnya. “Nggak heran kalau kau cocok sama Michelle. Kalian nggak beda jauh!”
       Wajah Kyla merah padam.
       “Jadi, kau benar-benar menyesal?” Darren mengangkat alis.
       “Iya…tapi aku nggak berharap bisa jadi temannya lagi…aku hanya, kangen padanya. Ingin tahu bagaimana kabarnya.” Kyla buru-buru berkata. “Aku tahu aku pantas dibenci olehnya.”
       “Oh ya? Sepertinya dia nggak membencimu.” Darren mulai bisa tersenyum pada orang didepannya. “Justru aku yang benci pada sosokmu yang ia ceritakan.”
       Hening beberapa lama.
       “She’s in New York now…” Darren menghela nafas.
       Kyla terbelalak.
       Wajah Darren kembali suram, beban dipunggungnya kembali terasa.
       “Dia tidak tahan dengan ucapan orang-orang tentangnya. Ia memutuskan untuk meninggalkan Nicky. Ia takut akan merusak hidup Nicky. Padahal aku tahu…She loves Nicky so much, more than anything, from long time ago.”
       “She really loves Nicky?” Kyla menatap Darren.
       “She loves him, with all of her heart.” Kata Darren pelan. “Mark isn’t her true love. Aku sempat marah padanya karena dia selalu mengambil keputusan tergesa-gesa. Tapi, aku kemudian berpikir, kalau aku jadi dia, aku pasti akan bertindak bodoh seperti dia. Aku akan mengambil keputusan yang sama dengannya. Aku sangat menyesal...aku menyesal tidak menepuk pundaknya saat dia dalam kesulitan begini. Sekarang ia pergi ke New York dan tidak ingin diganggu siapapun.”
       Darren menahan tangisnya.
       “Dia bilang aku tidak perlu khawatir…padahal, mana bisa…” Ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya. “Dia sama sekali tidak mengabari Nicky, Nicky seperti orang gila sekarang. Meneleponku berkali-kali dengan suara frustasi. Tapi dia melarangku untuk memberitahu Nicky. Aku bingung aku harus bagaimana. Aku terus-terusan seperti orang bodoh berbohong pada Nicky, berkata aku tidak tahu apa-apa…”
       Kyla tidak bersuara. Mata abu-abunya menatap Darren lurus.
       “Dia bertindak bodoh lagi…selalu saja bertindak tidak sesuai dengan kata hatinya.” Darren masih menutup wajahnya. “Tapi aku tidak bisa apa-apa…”
       “Kurasa kau bisa.” Kyla tersenyum. “Mengingat kau membentakku di airport waktu itu, aku tahu kau sahabat yang akan mati-matian membela sahabatnya. Kalau waktu itu kau bisa, kenapa sekarang tidak?”
       Darren menatap Kyla beberapa lama. Lalu ia berkata dengan tegas.
       “Kalau begitu, tolong aku…”

       ***
      
       Winter di Amerika lebih baik daripada di Irlandia. Itu yang kusimpulkan saat aku sudah berhari-hari memutuskan untuk stay disebuah hotel di New York, aku agak ragu kalau harus menyewa apartemen. Laptopku masih dalam keadaan mati berhari-hari, daritadi aku memandangi lukisan diatas tempat tidur kamar hotel yang kutempati. Pemandangan lautan dengan mercusuar yang menjulang disana. Lighthouse. Aku mengingat kenapa aku menyebut Nicky dengan panggilan itu. Ya, karena ia adalah cahaya yang menyinariku dalam gelap. Segelap apapun, ketika aku membayangkan wajahnya, muncul cahaya yang entah datang darimana.                                            
       Tapi sekarang, tidak ada lagi cahaya. Sejak aku tahu aku harus meninggalkannya. Bahkan secercah cahaya dalam kamar yang gelap ini ketika aku mematikan lampu terakhir dalam kamar. Gelap…aku menuju tempat tidur, membaringkan tubuhku, kemudian aku menyalakan lampu kecil disisi tempat tidur.
       “It’s so dark, isn’t it?” aku bicara sendiri. Aku melirik jam di dinding hotel. Malam sudah sangat larut. Hampir jam dua belas malam. Aku bahkan tidak bisa memejamkan mataku. Sama saja seperti malam-malam sebelumnya. Mataku akan terbuka lebar hingga pagi-pagi buta, kemudian aku akan tertidur dengan letih karena semalaman memikirkan terlalu banyak hal. Seharusnya aku tidak usah dilahirkan saja. Kalau tahu jadinya begini, lebih baik aku…
        “TING TONG”
        Mataku melebar. Aku terlonjak kaget mendengar suara bel kamarku. Tunggu dulu…ini tengah malam! Siapa yang datang? Aku duduk di tempat tidur, merinding. Tidak mungkin ada orang yang datang jam segini. Petugas hotel sekalipun. Aku jadi ingat cerita seram yang pernah Darren ceritakan padaku.
       Bel berbunyi lagi.
       Penguntit?
       Aku mencari-cari alat yang bisa dipakai untuk membela diri. Akhirnya kuambil sepatu heelsku. Lumayan. Aku menuju pintu depan dengan keringat dingin. Ketika bel berbunyi pada yang ketiga kalinya, tangan kananku sudah memegang kenop pintu. Aku mengintip keluar, darahku seakan tidak mengalir, aku tidak bisa mempercayai mataku. Apa aku berhalusinasi? Atau aku benar-benar diikuti hantu? Jangan-jangan aku bermimpi? Jika mataku masih normal, yang ada diluar sana benar-benar Georgina Ahern.
       Georgina Ahern…
       Nggak mungkin…
       Kubuka pintu didepanku dengan berdebar-debar. Aku berdiri didepan Georgina-khayalan ini dengan masih memegang sepatu heels. Ia menatap lurus kearah mataku, sudah lama aku tidak melihatnya. Tapi tentu saja ia masih membuatku terpesona dengan sosoknya.
       “Ngapain kau bawa heels?”
       Aku melirik heels di tangan kiriku. Buru-buru kujatuhkan heels itu ke lantai.
       “Gina?” suaraku benar-benar pelan. “H, how come…”
       “Aku punya dua tangan, Michelle Myron.” Katanya tegas.
       Aku hanya terdiam tidak mengerti. Kurasa wajahku pucat. Ini Amerika! Kalau aku ada di pinggiran Dublin sih aku masih bisa menganggap ini logis.
       Darimana dia…..
       “Aku masih punya satu tangan untuk menarik Nicky kembali ke sisiku. Dan aku masih punya satu tangan untuk menutup matanya, agar dia tidak melihatmu lagi.” Katanya. “Aku masih punya dua tangan. Kau yakin kau akan membiarkanku menggunakan kedua tanganku?”
       Aku benar-benar membisu.
       “Aku menyerah bukan untuk hal sekonyol ini, Michelle.” Georgina menggelengkan kepalanya. “Aku menyerah dan memberikan Nicky padamu karena dia sangat sayang padamu. Aku tidak meninggalkannya untuk dikhianati seperti ini olehmu. Kau pikir apa yang terjadi padanya setelah kau meninggalkannya?”
       “A, apa yang terjadi?”
       “Kau lihat saja sendiri, dia menunggumu dibawah.” Kata Georgina.
       “I, impossible…” aku berjalan melewati Georgina. Sebenarnya ada apa? Aku masuk kedalam lift dan menekan tombol ke lantai paling bawah. Nicky, ada di New York? Untuk menghampiriku? Tapi, bagaimana bisa? Yang tahu keberadaanku hanya Clark dan Darren. Itupun hanya Clark yang tahu pasti aku ada dimana. Nicky menungguku dibawah? Itu kan mustahil…
       Pintu lift terbuka, baru saja aku ingin melangkahkan kaki keluar, jantungku diserang lagi dengan pemandangan tidak masuk akal. Aku melihat Nicky berdiri didepan lift, menatapku dengan tatapan yang tak bisa kutebak. Ia melangkah masuk kedalam lift, menekan tombol disamping pintu lift, dan pintu bergeser tertutup.
       “Wait! Nicky, what are you doing? Ini kan lift! Lalu kenapa kau bisa…”
       “Hotel ini ada 50 lantai ya…” gumamnya memotong omonganku. Aku menganga saat ia menekan tombol angka 50 disamping pintu lift.
       “Ni…cky…”
       “Nggak buruk juga…” wajahnya agak terlihat pucat. “Seperti naik kapal…agak kangen juga. Berapa lama ya aku tidak naik lift…”
       Aku tidak bisa berkata-kata. Ia menatap mataku.
       “Kalau untukmu, aku tidak keberatan ada diatas benda ini sekarang. Tapi…Kenapa kau pergi, Michelle?” tanyanya. “Aku benar-benar jadi sinting gara-gara kau.”
       “Aku…” aku menunduk. “Tidak pantas untukmu.”
       “Kau mendengarkan semua yang orang-orang katakan” katanya. “Padahal mereka tidak tahu apa-apa.  Padahal mereka tidak tahu apa yang kita rasakan. Setelah bisa berdiri disisimu, apa pantas aku membiarkanmu pergi lagi? Kumohon. Jangan. Dengarkan. Mereka.”
       Nicky menutup kedua telingaku dengan kedua tangannya.
       “Jangan dengarkan mereka lagi, dengarkan aku baik-baik. Hanya aku yang boleh kau dengar.” Ia menatapku dalam-dalam. “Aku janji akan melakukan apapun agar para fans bisa menerimamu. Aku janji aku akan konsisten mulai sekarang. Aku memilihmu, dan selamanyapun akan terus memilihmu. Aku janji aku akan berusaha tidak egois seperti sebelumnya. Aku janji nggak akan membiarkanmu pergi untuk alasan bodoh, kau memang bodoh seperti biasanya.”
       Ia menyingkirkan kedua tangannya dari telingaku.
       “Dan yang harus kau dengar dengan jelas sekarang…dengarkan aku baik-baik.” Ia menghela nafas. “I love you, more than you can imagine…”
       Aku tidak bisa menahan airmataku.
       Pintu lift terbuka. Kami sampai di lantai 50. Jendela kaca yang sangat besar terlihat,  menampilkan pemandangan New York dari ketinggian lantai 50.
       “Do you love me?” tanyanya tanpa menatap kearahku. Pandangannya mengarah pada pemandangan indah itu. Kami bahkan bisa melihat patung liberty dari sini.
       “You’ve known what my answer is.” Tanggapku.
       “Kalau begitu, kita bisa menghadapinya kan?” Ia tersenyum. Senyumnya bahkan lebih indah daripada pemandangan diluar sana. Aku tidak bisa memalingkan wajahku. “Say it to the world, it’s my only wish.”
       Aku mengangguk.
       “Forgive me…” gumamku.
       Nicky hanya tersenyum menanggapinya. Tiba-tiba aku mendengar suara familiar.
       “Finding someone you love and who loves you back is a miracle.”
       Aku menoleh kearah belakang. Aku mendapat serangan jantung ketiga saat kulihat Darren, Kyla dan Clark berdiri di belakangku. Dan yang tadi kudengar adalah suara Kyla. Ia tersenyum kearahku.
       “It’s your quote, I’ve read your novel.” Kata Kyla. “You’ve found a miracle, it sucks if you throw it away, Michelle.”
       Aku benar-benar menangis sekarang.
       “Ini semua rencana mereka berdua.” Clark menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Aku menemukan hobi baru, sekarang aku hobi membongkar rahasiamu.”
       Darren dan Kyla tertawa.
       “Sekarang, guys…” Nicky menghela nafas panjang. “Bagaimana caranya aku turun dari sini?”
***

14 komentar:

  1. finally !!!!
    heiiii, michelle jangan sampai km lepasin lagi nix.a ato gak nanti q ambil -________-
    hehehehehe

    BalasHapus
  2. huahahahah. namanya juga pasangan bodoh XD terus, gimana kesannya? maap kalo jelek. aku malu -_-

    BalasHapus
  3. overall is great :D
    kerasa bgt kegalauan.a michelle disini :D #pukpuknicky
    trus stress.a darren gara"ditelponin mulu sama nicky :D

    btw sebener.a rencana.a kya gimana sih ?? aq kurang dpt maksud.a hahaha :Dv

    nicky kamu terjun aja dari sana, nanti pasti kutangkap XDXD

    oke lanjutkan :D

    BalasHapus
  4. rencananya emang sengaja belum dijabarin secara spesifik. nanti tunggu aja di chapter selanjutnya dijelasin kok ;)

    yakali dah terjun -_- wkwkwk tapi makasiiiih sharooon <3 :D

    BalasHapus
  5. hehehehe ditunggu :D

    *peluk nicky dengan tangan terbuka*

    BalasHapus
  6. Lanjutkan michelle, rossie siap nangkap nicky di lantai dasar!!

    BalasHapus
  7. Sumprit, tadi sudah nulis panjang, terus ke klik apa, njuk ilang semua ... n back to square one

    tapi anyway, mari kucoba tulis lagi ...

    Yeah! finally nyadar juga anak dua bodoh ini..., berakhir juga drama bodohnya... *gemes, abisnya ada laki yang strong mempertahanin cintanya dah gitu cewek juga gampang banget nyerah ... duuhhh....

    tapi tak apa, toh, akhirnya pada nyadar juga dua-duanya heheehe

    tapi jujur, ini agak mirip sama ceritaku ya. Pas Kee-an jemput keavy ke Amerika dan saat Gillian bilang ke Keavy "Di saat nggak ada lagi penghalang diantara kalian, kamu malah milih mundur, itu nyakitin diri sendiri, nama'
    'Nggak papa, yang jelas nggak ada yang berbahagia di atas kesedihan orang lain...' :D


    Oh, tokoh Darren sama siapa itu yg kawan-kawan nya menurutku hanya sebagai Cameo yang sangat tidak mempengaruhi jalan cerita kalau mereka nggak ada- tapi maaaaaf kalau salah ...


    LANJUT-LANJUT-LANJUT !!!


    NiCKY !!! Loncat aja, dah disiapin tarmpolin sama Kee di bawah heheehehe

    Keep writing !!! :D

    BalasHapus
  8. lagi-lagi ceritanya rada sama ama cerita kak keav -_- ada apa ini? Darren sama Kyla itu yang bikin rencana. nanti di chapter berikutnya dikasih tau deh rincinya. aku sengaja bikin tokoh michelle ini ndablek banget biar ada pesan moral sendablek2nya orang bisa punya happy ending. dan aku akuin sifat michelle rada mirip sama sifatku yang pesimis :p *curhat ceritanya*

    nah, ini kenapa jadi pada mau nangkepin nicky dibawah?? ga boleh nicky punya michelle! *jorokin nicky kedalem lift*

    thanks all :D

    BalasHapus
  9. wahahaha suka quote.a malik XDXD

    nicky daripada parno di dlm lift mending terjun aja !!

    terjun langsung ke dalam hatiku #eaaaa

    BalasHapus
  10. heeeehhh dirimuuuu!! nanti mark kuambil beneran nih XD

    BalasHapus
  11. wahh.. masih panjang ya??, michelle aku banget,:3 tpi nickynya diganti sama Mark huhaha. aku suka kata-katanya, bnyk yg puitis. dan menurut aku dari kata-katanya itu bisa dapet suasana perasaan dari sikarakternya. sumpah, udah berkali-kali aku nyoba bikin ff tapi pasti ancur ceritanya.. :'( gak bisa ngatur kata-katanya (curcol sedikit) ok dttgu chapter selanjutnya ya... XDD

    BalasHapus
  12. makasih yaaaa. maaf belum aku lanjutin :( tapi pasti kulanjutin kok. makasih udah baca dan makasih commentnya.

    kalo aku ngatur kata-kata bisa sesuai suasana hati, keluarin aja apa yang bener2 dirasain. kadang2 kalo nulis aku juga perlu suasana yang pas. kalo aku paling enak nulis malem-malem didalem mobil wkwkwk :D

    BalasHapus
  13. Seru ceritanya kak, lanjut...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Oh iya, aku baru suka Westlife tahun 2017 bulan Juli ato Juni ya? Hehe lupa

      Hapus