Depresi
Satu-satunya kata yang cocok denganku. Aku menatap monitor komputerku.
Sebenarnya apa yang membuat tiga penerbit tidak menerima naskah novelku? Tiga
penerbit. Apa tulisanku sejelek itu? Tiga-tiganya pun berkata naskahku belum
matang untuk dijadikan novel. Apa sih maksud mereka? Aku merasa gagal dalam
usaha pencapaian cita-citaku. Aku teringat Nicky yang gagal jadi pemain sepak
bola. Aku mengerti perasaannya sekarang. aku menghela nafas panjang, lalu
menyalakan televisi untuk menghilangkan pening di kepalaku.
Lagi-lagi Westlife.
Saat
aku menyalakan televisiku, aku langsung melihat liputan tentang boyband baru
bernama Westlife dan kesuksesan album pertamanya. Ya, Nicky salah satu
anggotanya. Ia lolos audisi seleksi bersama satu orang dari Dublin, Brian
McFadden. Kulihat Nicky, wajahnya bahagia sekali disana. Tentu saja, Mimpinya
yang lain sudah terwujud.
Seluruh
dunia sudah mengenal mereka sekarang. perlu diakui aku juga suka lagu-lagu
mereka. Aku suka melihat wajah-wajah personilnya, aku bisa disebut salah satu
fans mereka. Dan sampai sekarangpun, aku tidak berhenti mencintai Nicky. Aku
justru makin gila. Melihatnya bernyanyi layaknya seorang idola justru membuatku
makin jatuh cinta. Kapan aku akan bisa melupakannya? Entahlah...aku menghela
nafas sambil meraih ponselku yang daritadi berbunyi. Jantungku berdentum
kencang. Telepon dari Nicky.
“Hello?” aku berkata takut-takut.
“Hi,
Michelle...lama tidak bertemu denganmu...” katanya, masih dengan suara yang
kusukai. “How are you?”
Aku
menahan tangis. Aku sangat merindukannya, tapi tidak mungkin kukatakan. Aku
sulit bernafas saat aku menjawab “I’m fine”
“Michelle, aku ingin berterimakasih padamu.” Katanya. “Kalau bukan
karena kau, mungkin aku nggak akan begini sekarang. kalau kau tidak menyuruhku
untuk beralih pada dunia menyanyi, mungkin aku bukan siapa-siapa sekarang. aku
beruntung mengenalmu. Thank you so much...”
Aku mati-matian menahan tangis. Aku tidak
bisa menjawab apa-apa.
“Michelle, nanti malam kau mau dinner dengan Westlife?” tanya Nicky.
Aku
melotot.
“Sorry?” aku tidak percaya.
“Makan
malam di Artane restaurant. Kau tahu tempatnya?aku hanya bisa melakukan ini
untuk berterimakasih. Kau bisa ketemu Shane Filan, Mark Feehily, Kian Egan dan
Brian McFadden yang dipuja cewek-cewek.” Nicky tertawa. “Wah, kau berdosa pada
gadis-gadis di seluruh dunia kalau kau menolak”
Aku mematung.
“Pokoknya kami tunggu kau disana jam tujuh!sudah ya, ada fans yang ingin
minta foto. Kalau kau nggak tahu tempatnya, sms aku secepatnya. Bye!” Nicky
menutup telepon.
Yang
benar saja...
Aku
langsung kalang kabut. Aku langsung mandi, menggosok badanku sebersih mungkin,
menyikat gigiku berkali-kali, memakai baju terbaikku, memakai make up sebagus
mungkin, memilih sepatu dengan susah payah, memberi rambutku conditioner,
menyisirnya serapi mungkin, memilih aksesoris yang akan kupakai, dan menatap
cermin berkali-kali. Mimpi apa aku semalam...
Aku
memakai parfum berkali-kali, lalu
melirik jam tangan. Jam enam lewat tiga puluh. Rupanya aku kelamaan dandan. Aku
langsung panik. Aku meraih tasku dan cepat-cepat berlari keluar rumah, lalu
mencari taksi. Aku duduk ditaksi dengan jantung yang sudah tidak jelas lagi
detaknya. Seperti ingin berhenti berdetak. Walaupun Nicky mengenalku, aku nggak
berpikir sampai kesini. Aku nggak berpikir akan makan malam bersama Westlife.
Makan malam bersama west..........
Aku
merosot di jok mobil. Aku ingin teriak.
Lagipula, aku bisa melepas kerinduanku pada Nicky. Aku bahagia bisa
bertemu lagi dengannya. Aku tidak henti-hentinya tersenyum. Aku bahagia hingga
ingin menangis! Ketika melihat restoran yang kutuju, tubuhku makin kaku. Aku
keluar dari taksi dan mengatur nafasku. Sebaik mungkin.
Aku
masuk kedalam restoran. Mencari-cari Nicky dengan bolamataku. Aku dikagetkan
dengan tepukan dipundakku. Aku menoleh dan melihat Nicky tersenyum dibelakangku.
Tuhan...wajah Nicky masih seperti yang kukenal, matanya...kedua mata birunya
menatapku seperti dulu. Kedua mata yang kupuja. Senyumnya semanis dulu, hanya
saja ada aura berbeda yang melekat padanya. Itu pasti karena ia sudah jadi
orang terkenal sekarang. baunya harum sekali. Rambut blonde spikenya terlihat
keren. Ia sangat tampan. Bahkan lebih tampan dari terakhir kali aku bertemu
dengannya.
Aku
merasa bermimpi saat ia memelukku. Iya, ia memelukku erat-erat. Aku terkejut.
Tapi aku merasa hangat dipelukannya, hangat dan harum. Aku nyaris menangis.
Kukuasai diriku. Aku tidak boleh berharap. Tidak boleh...tidak boleh...aku
sulit bernafas. Bahkan setelah ia melepas pelukannya.
“Lama
nggak ketemu ya?” cengirnya. “teman-temanku ada disebelah sana...”
“Hahaha...iya” tanggapku, jantungku berdetak tidak karuan. Aku menatap
kearah sebuah meja. Disana terlihat empat cowok yang...God...mereka tampan
sekali. Mark Feehily, ia pemuda yang sangat cool, berambut dark brown dan
berbolamata biru jernih, bibirnya kemerahan, senyumnya manis sekali. Dan aku
tidak percaya aku sedang menjabat tangannya. Ia tersenyum ramah padaku.
Setelah
itu aku melihat Shane Filan, penyanyi leader didalam Westlife. Bolamatanya
hazel seperti bolamataku. Rambutnya dark brown seperti Mark. Ia terlihat sangat
cool dengan baju tanpa lengan. Kian Egan, rambut blondenya ditata sangat
menarik, aku suka poninya, bolamatanya biru dan ia punya bekas luka dipipinya.
Terakhir, aku melihat Brian McFadden. Wajahnya jenaka, dagunya belah, rambutnya
blonde dan bolamatanya juga biru. Aku suka senyumnya, ia terlihat lucu.
“Gosh...shes’s beautiful, Nick” kata Kian, aku tidak percaya mendengar
kata-katanya.
“Ha!
Dasar playboy! Mau berapa cewek sih yang kau pacari?!” Shane menonjok lengan
Kian. “Nice to meet you Michelle. Santai saja ya. Kalau kau teman Nicky,
berarti kau juga teman kami. Kita bisa bertemu kapanpun kalau sempat”
Aku
perlu mengorek telingaku.
Aku
ingin tertawa melihat Brian membuat berbagai macam ekspresi aneh. Lalu aku
menatap Mark, Ia lebih banyak diam. Parasnya cool, tapi aku bisa melihat
wajahnya bersemu merah saat kami bertatapan.
“So,
what’s your job, Michelle?” tanya Brian sambil memainkan garpu ditangannya.
“Failed
writer...” jawabku. Aku tidak bermaksud melawak, tapi Brian malah tertawa
mendengar jawabanku.
“What
do you mean with that?” tanyanya.
“Sudah
tiga penerbit menolak naskah novelku. Aku bekerja sambilan di toko buku.
Mengumpulkan uang sedikit-sedikit...” kataku jujur.
Sunyi.
“Jadi,
kalian mau pesan apa?” Nicky mengalihkan pembicaraan. Menatap buku menu. “Aku
sedang ingin makan spagetti, kalian apa?”
“Aku
salad...” ucapku. Yang lain menyebutkan pesanannya ketika waiter menghampiri
meja kami. Mereka benar-benar lucu, memesan makanan saja ributnya setengah
mati. Aku tertawa-tawa saja melihat kelakuan mereka. Kami makan sambil ngobrol.
Membicarakan apa saja. Tentang Westlife yang akan berangkat world tour dua
minggu lagi, tentang cerita-cerita lucu selama mereka bernyanyi di panggung,
dan Nicky menanyakan Darren, aku sesak kembali saat mengingat Darren. Ia pindah
ke London untuk menjalankan usaha butiknya. Aku ingat sekeras apa aku menangis
saat kami berpisah.
“Katanya pulang world tour, Nicky akan bertunangan dengan Georgina.”
Shane tersenyum. “Bagaimana sudah fix kan?”
Aku
berdebar.
“Ah...itu...” Wajah Nicky memerah. “Yah, doakan saja”
Seketika hatiku seakan dibanting keras-keras. Aku berusaha untuk tidak
gemetar. Hatiku sakit sekali. Kenapa? Bukankah aku sudah tahu hari itu akan
datang? Seketika nafsu makanku hilang. Aku menahan airmataku dan lama-lama aku
tidak tahan. Aku meletakkan alat makanku dan menatap mereka berlima.
“Aku
nggak enak badan. Aku pulang dulu ya, lads?” Kataku sambil menunduk. Mengambil
tasku.
“Are
you okay?” Nicky mengangkat alis.
Aku
mengangguk.
“Kuantar kau pulang ya?” tiba-tiba Mark bangkit dari duduknya. Aku agak
kaget. Diantar pulang oleh Mark Feehily? Aku pasti mimpi. Aku cepat-cepat
menggeleng. Tidak mau merepotkannya. “Kumohon biarkan aku mengantarmu
pulang...” Kata Mark lagi. Ia menatapku serius. Belum sempat aku membalas
ucapannya, ia cepat-cepat menarik tanganku keluar restoran. Aku kaget setengah
mati.
“Mark...Mark!apa yang kau pikirkan? Aku bisa pulang sendiri!” ujarku,
merasa tidak enak. Aku melepas genggaman Mark.
“Mana
bisa aku membiarkan gadis sepertimu pulang sendirian dengan keadaan kurang
sehat?” Mark menatapku serius. “Aku benar-benar nggak keberatan.”
Aku
terdiam. Lalu menggeleng. Aku tidak mau menerima kebaikan Mark ditengah
keegoisanku dan kecemburuanku yang luar biasa. Aku memegang pundak Mark,
tersenyum padanya. “Nggak usah...” kataku pelan. Aku langsung memanggil taksi
dan masuk kedalamnya. Mark terus menatap taksi yang kunaiki hingga hilang dari
pandangannya. Aku merasa bersalah pada Mark tapi aku benar-benar tidak kuat
lagi. Aku menangis sepuasnya didalam taksi.
Menangisi orang itu lagi. Lagi dan lagi hingga aku bosan. Nicky,
sebentar lagi ia bertunangan dengan Georgina. Seharusnya aku tahu. Seharusnya
aku nggak menangis dan berbuat bodoh. Seharusnya sekarang aku masih duduk di
restoran bersama Westlife dan memberi Nicky selamat. Tapi hatiku menolak. Aku tidak
mau menangis didepan mereka. Bodoh sekali kalau aku sampai menangis sedangkan
mereka menatapku keheranan. Jadi aku pergi begitu saja.
Sudah
bertahun-tahun aku menyimpan cinta yang percuma ini. Aku terus memikirkan
Nicky. Memikirkan semua yang ada pada dirinya. Tapi aku bingung, diantara
ribuan bayangan tentang Nicky, terselip satu wajah ditengahnya.
Mark.
***
“Really?!” Aku berteriak tidak percaya.
“Yeah
Ms. Myron...kami suka naskah novel anda. Kami harap kami bisa menerbitkannya
secepatnya”
Aku
seakan bermimpi. Itu pembicaraan yang sangat kuingat tadi pagi di telepon.
Akhirnya aku berhasil menarik perhatian penerbit keempat setelah nyaris patah
semangat. Aku sudah menyusun jadwal pertemuanku dengan penerbit itu. Aku turun
kebawah, ke ruang keluarga dan memekuk Mum yang sedang menonton televisi
erat-erat. Ia terbingung-bingung melihat wajahku yang sudah berminggu-minggu
suram seketika menjadi sangat cerah.
“What’s
going on?” tanyanya heran.
“Mum,
jangan heran ya kalau tiba-tiba saat kau nonton TV dan tiba-tiba anakmu ini
muncul sebagai orang terkenal...” kataku agak melunjak. “Aku berhasil
Mum...novelku akan diterbitkan!”
Mum
tersenyum senang mendengarnya.
“I know
that you can dear...” kata Mum. “You’ll be the best writer in the future”
Saat
ini kami menjadi sepasang ibu dan anak paling berlebihan diseluruh dunia. Tapi
kemudian Mum menatapku serius dengan alis berkerut.
“Tapi
Mum belum membaca naskahmu sama sekali...” katanya. “Selama ini kau hanya ribut
soal novel. Tapi ceritanya saja kau tidak memberitahunya sama sekali”
Sunyi.
“Aku
menulis love story...” wajahku bersemu merah.
Wajah
Mum berubah menjadi wajah mencibir.
“Oh...itu sebabnya kau berubah jadi gadis rapi?” Ia mengangkat alis.
Aku
diam saja. Mum tidak tahu hatiku sudah terbanting-banting oleh laki-laki yang
kutulis dalam novelku dengan nama samaran. Mum mematikan TV dan berjalan menuju
dapur. Pasti ia mau membuat kue. Aku tahu kebiasaannya kalau sedang senang. Aku
menyusulnya ke dapur.
“Kau
tahu Westlife kan?” tanya Mum tiba-tiba.
Aku
nyaris memecahkan mangkuk mendengar pertanyaan Mum.
“Yeah,
of course. I met them some weeks ago” kataku jujur. Tapi Mum justru tertawa-tawa
sinting menanggapinya. sepertinya ia tidak percaya. Biarkan sajalah. Siapa yang
minta dia percaya? Mum nggak tahu apa-apa. Bahkan ia tidak tahu salah satu
personil Westlife adalah tetangganya sendiri.
“I just
love their songs...” kata mum, mengambil beberapa butir telur. “Personilnya
yang namanya Mark Feehily itu ganteng”
Aku
menahan tawaku. Mum memang selalu melirik cowok ganteng. Siapapun. Penyanyi,
aktor, bahkan orang lewat sekalipun. Mum pasti akan pingsan kalau tahu Mark
pernah minta mengantarku pulang. Tiba-tiba aku merindukan Mark. Aku terlalu
sakit hati untuk memikirkan Nicky lagi. Westlife sedang dalam world tour
sekarang. Mereka sedang di Asia tenggara.
Sebenarnya beberapa hari ini aku selalu texting dengan Mark. Ia mengirim
SMS lebih dulu. Pasti ia mendapat nomorku dari Nicky. Aku selalu tidur larut
malam demi membalas SMS nya. Karena perbedaan waktu. Dan sepertinya Mark tidak
menyadari di Irlandia sudah larut malam saat ia dengan cepat mengirimiku SMS
demi SMS. Sosoknya yang pemalu, cool, calm, ternyata hanya cover depannya. Ia
sangat asyik untuk dijadikan teman ngobrol. Ia suka melucu. Dan aku merasa
nyaman dengan itu.
Aku
meninggalkan Mum sebentar di dapur untuk mengecek handphoneku. Dan benar saja.
Ada tiga SMS dari Mark. Aku tertawa kecil. SMS pertama berbunyi: “Michelle, setelah Westlife pulang dari world
tour seminggu lagi aku ingin bertemu denganmu. Ada yang ingin kubicarakan”
yang kedua: “Hmmm...apa aku salah
bicara?” yang ketiga: “I’m sorry. Are you angry?”
Yaampun
Mark! Cowok satu ini benar-benar bikin ketawa! Memangnya siapa yang bakal marah
karena diajak ketemuan?! Apalagi dia selebriti papan atas. Aku membalas SMS nya
sambil tertawa-tawa.
“Mark, you’re silly! Of course. We’ll meet a
week later :)”
***
“Mark!!”
“Sssssssshhhh!!!jangan keras-keras!” Mark menempelkan jari telunjuk
dibibirnya. “Dari tadi orang-orang melihat kearahku. Jangan sebut namaku!”
“Ups,
sorry” Aku menutup mulutku.
Seperti
janjiku, aku dan Mark bertemu sehari setelah Westlife pulang world tour. Kami bertemu
disebuah cafe. Mark memakai jaket yang ada tudung kepalanya. Aku duduk
diseberangnya.
“How’re
the lads?” tanyaku.
“They’re
fine” Mark tersenyum, menatapku. “Hey,I miss you...”
Aku tertawa.
“How
come? I met you just once!”
Mark
ikut tertawa. Sepertinya ia salah tingkah gara-gara kata-katanya.
“Aku
nggak akan seaneh ini dengan cewek lain. I don’t know...you’re different”
Katanya. “Bagaimana novelmu?”
“A,
akan diterbitkan secepatnya” jawabku.
Kemudian kesunyian menyelubungi kami. Jantungku berdebar-debar. Suasananya
benar-benar aneh dan kaku. Aku tidak tahu harus membuka obrolan apa. Ia bilang
ia mau membicarakan sesuatu. Tapi ia justru diam saja sekarang. Aku gemas. Tapi
terlalu takut untuk menegurnya.
Tiba-tiba
Mark duduk tegak, lalu menatapku serius.
“Begini...”
katanya dengan wajah merah padam. Ia menarik nafas dalam-dalam. “Maybe it
sounds stupid but I think my heart was stolen by you. I don’t know how come but
I think I love you, Michelle. Will you be my girlfriend?”
Aku bengong.
Hening.
“Hah?”
Aku tidak bisa berkata apa-apa selain itu. Tubuhku kaku. Aku merasa sedang
bermimpi. Wajahku pasti kelihatan seperti orang idiot. Aku tidak berkedip,
tubuhku tidak bergeser sedikitpun. Wajah Mark merah sekali. Ia terlihat
benar-benar malu. Ia menunduk. Tidak berani menatapku.
“Why?hahahaha...”
tawanya kaku. “Sorry. Sudah kuduga aku bakalan ditolak. Kau suka pada Nicky
kan? Aku bisa melihatnya dari matamu.”
Nicky
lagi. kenapa selalu Nicky? Apakah aku gampang sekali ditebak?
Tapi,daripada
itu...Mark ini apa-apaan sih?! Barusan dia ngomong apa?!
“You’re
joking Mark...” aku menggeleng-geleng. “We met some weeks ago and it was the first
time we met. You texted me, I texted back...and...we meet again today”
“Yeah...simple,
huh?” Mark tertawa. “But I’m not joking. I’m 100 % serious”
“But...”
aku tidak tahu harus bilang apa.
“Nggak
usah tegang begitu. Aku tahu kok kau nggak suka padaku...” Mark tertawa kecil. “Kau
mau minum apa? kutraktir”
Tunggu...
MANA
MUNGKIN MARK JATUH CINTA PADA CEWEK SEHANCUR AKU?!
Aku ingin
teriak. Dunia ini terlalu aneh.
“I
will...”
Mark terpaku.
“So,
sorry?” ia menatapku, memastikan kata-kata itu berasal dari mulutku.
“I
will...” ulangku.
***