Rabu, 27 Juni 2012

The Blue Eyes of the Lighthouse (part 5)


       Depresi
       Satu-satunya kata yang cocok denganku. Aku menatap monitor komputerku. Sebenarnya apa yang membuat tiga penerbit tidak menerima naskah novelku? Tiga penerbit. Apa tulisanku sejelek itu? Tiga-tiganya pun berkata naskahku belum matang untuk dijadikan novel. Apa sih maksud mereka? Aku merasa gagal dalam usaha pencapaian cita-citaku. Aku teringat Nicky yang gagal jadi pemain sepak bola. Aku mengerti perasaannya sekarang. aku menghela nafas panjang, lalu menyalakan televisi untuk menghilangkan pening di kepalaku.
       Lagi-lagi Westlife.
       Saat aku menyalakan televisiku, aku langsung melihat liputan tentang boyband baru bernama Westlife dan kesuksesan album pertamanya. Ya, Nicky salah satu anggotanya. Ia lolos audisi seleksi bersama satu orang dari Dublin, Brian McFadden. Kulihat Nicky, wajahnya bahagia sekali disana. Tentu saja, Mimpinya yang lain sudah terwujud.
       Seluruh dunia sudah mengenal mereka sekarang. perlu diakui aku juga suka lagu-lagu mereka. Aku suka melihat wajah-wajah personilnya, aku bisa disebut salah satu fans mereka. Dan sampai sekarangpun, aku tidak berhenti mencintai Nicky. Aku justru makin gila. Melihatnya bernyanyi layaknya seorang idola justru membuatku makin jatuh cinta. Kapan aku akan bisa melupakannya? Entahlah...aku menghela nafas sambil meraih ponselku yang daritadi berbunyi. Jantungku berdentum kencang. Telepon dari Nicky.
       “Hello?” aku berkata takut-takut.
       “Hi, Michelle...lama tidak bertemu denganmu...” katanya, masih dengan suara yang kusukai. “How are you?”
       Aku menahan tangis. Aku sangat merindukannya, tapi tidak mungkin kukatakan. Aku sulit bernafas saat aku menjawab “I’m fine”
       “Michelle, aku ingin berterimakasih padamu.” Katanya. “Kalau bukan karena kau, mungkin aku nggak akan begini sekarang. kalau kau tidak menyuruhku untuk beralih pada dunia menyanyi, mungkin aku bukan siapa-siapa sekarang. aku beruntung mengenalmu. Thank you so much...”
       Aku mati-matian menahan tangis. Aku tidak bisa menjawab apa-apa.
       “Michelle, nanti malam kau mau dinner dengan Westlife?” tanya Nicky.
       Aku melotot.
       “Sorry?” aku tidak percaya.
       “Makan malam di Artane restaurant. Kau tahu tempatnya?aku hanya bisa melakukan ini untuk berterimakasih. Kau bisa ketemu Shane Filan, Mark Feehily, Kian Egan dan Brian McFadden yang dipuja cewek-cewek.” Nicky tertawa. “Wah, kau berdosa pada gadis-gadis di seluruh dunia kalau kau menolak”
       Aku mematung.
       “Pokoknya kami tunggu kau disana jam tujuh!sudah ya, ada fans yang ingin minta foto. Kalau kau nggak tahu tempatnya, sms aku secepatnya. Bye!” Nicky menutup telepon.
       Yang benar saja...
       Aku langsung kalang kabut. Aku langsung mandi, menggosok badanku sebersih mungkin, menyikat gigiku berkali-kali, memakai baju terbaikku, memakai make up sebagus mungkin, memilih sepatu dengan susah payah, memberi rambutku conditioner, menyisirnya serapi mungkin, memilih aksesoris yang akan kupakai, dan menatap cermin berkali-kali. Mimpi apa aku semalam...
       Aku memakai parfum  berkali-kali, lalu melirik jam tangan. Jam enam lewat tiga puluh. Rupanya aku kelamaan dandan. Aku langsung panik. Aku meraih tasku dan cepat-cepat berlari keluar rumah, lalu mencari taksi. Aku duduk ditaksi dengan jantung yang sudah tidak jelas lagi detaknya. Seperti ingin berhenti berdetak. Walaupun Nicky mengenalku, aku nggak berpikir sampai kesini. Aku nggak berpikir akan makan malam bersama Westlife. Makan malam bersama west..........
       Aku merosot di jok mobil. Aku ingin teriak.
       Lagipula, aku bisa melepas kerinduanku pada Nicky. Aku bahagia bisa bertemu lagi dengannya. Aku tidak henti-hentinya tersenyum. Aku bahagia hingga ingin menangis! Ketika melihat restoran yang kutuju, tubuhku makin kaku. Aku keluar dari taksi dan mengatur nafasku. Sebaik mungkin.
       Aku masuk kedalam restoran. Mencari-cari Nicky dengan bolamataku. Aku dikagetkan dengan tepukan dipundakku. Aku menoleh dan melihat Nicky tersenyum dibelakangku. Tuhan...wajah Nicky masih seperti yang kukenal, matanya...kedua mata birunya menatapku seperti dulu. Kedua mata yang kupuja. Senyumnya semanis dulu, hanya saja ada aura berbeda yang melekat padanya. Itu pasti karena ia sudah jadi orang terkenal sekarang. baunya harum sekali. Rambut blonde spikenya terlihat keren. Ia sangat tampan. Bahkan lebih tampan dari terakhir kali aku bertemu dengannya.
       Aku merasa bermimpi saat ia memelukku. Iya, ia memelukku erat-erat. Aku terkejut. Tapi aku merasa hangat dipelukannya, hangat dan harum. Aku nyaris menangis. Kukuasai diriku. Aku tidak boleh berharap. Tidak boleh...tidak boleh...aku sulit bernafas. Bahkan setelah ia melepas pelukannya.
       “Lama nggak ketemu ya?” cengirnya. “teman-temanku ada disebelah sana...”
       “Hahaha...iya” tanggapku, jantungku berdetak tidak karuan. Aku menatap kearah sebuah meja. Disana terlihat empat cowok yang...God...mereka tampan sekali. Mark Feehily, ia pemuda yang sangat cool, berambut dark brown dan berbolamata biru jernih, bibirnya kemerahan, senyumnya manis sekali. Dan aku tidak percaya aku sedang menjabat tangannya. Ia tersenyum ramah padaku.
       Setelah itu aku melihat Shane Filan, penyanyi leader didalam Westlife. Bolamatanya hazel seperti bolamataku. Rambutnya dark brown seperti Mark. Ia terlihat sangat cool dengan baju tanpa lengan. Kian Egan, rambut blondenya ditata sangat menarik, aku suka poninya, bolamatanya biru dan ia punya bekas luka dipipinya. Terakhir, aku melihat Brian McFadden. Wajahnya jenaka, dagunya belah, rambutnya blonde dan bolamatanya juga biru. Aku suka senyumnya, ia terlihat lucu.
       “Gosh...shes’s beautiful, Nick” kata Kian, aku tidak percaya mendengar kata-katanya.
       “Ha! Dasar playboy! Mau berapa cewek sih yang kau pacari?!” Shane menonjok lengan Kian. “Nice to meet you Michelle. Santai saja ya. Kalau kau teman Nicky, berarti kau juga teman kami. Kita bisa bertemu kapanpun kalau sempat”
       Aku perlu mengorek telingaku.
       Aku ingin tertawa melihat Brian membuat berbagai macam ekspresi aneh. Lalu aku menatap Mark, Ia lebih banyak diam. Parasnya cool, tapi aku bisa melihat wajahnya bersemu merah saat kami bertatapan.
       “So, what’s your job, Michelle?” tanya Brian sambil memainkan garpu ditangannya.
       “Failed writer...” jawabku. Aku tidak bermaksud melawak, tapi Brian malah tertawa mendengar jawabanku.
       “What do you mean with that?” tanyanya.
       “Sudah tiga penerbit menolak naskah novelku. Aku bekerja sambilan di toko buku. Mengumpulkan uang sedikit-sedikit...” kataku jujur.
       Sunyi.
       “Jadi, kalian mau pesan apa?” Nicky mengalihkan pembicaraan. Menatap buku menu. “Aku sedang ingin makan spagetti, kalian apa?”
       “Aku salad...” ucapku. Yang lain menyebutkan pesanannya ketika waiter menghampiri meja kami. Mereka benar-benar lucu, memesan makanan saja ributnya setengah mati. Aku tertawa-tawa saja melihat kelakuan mereka. Kami makan sambil ngobrol. Membicarakan apa saja. Tentang Westlife yang akan berangkat world tour dua minggu lagi, tentang cerita-cerita lucu selama mereka bernyanyi di panggung, dan Nicky menanyakan Darren, aku sesak kembali saat mengingat Darren. Ia pindah ke London untuk menjalankan usaha butiknya. Aku ingat sekeras apa aku menangis saat kami berpisah.
       “Katanya pulang world tour, Nicky akan bertunangan dengan Georgina.” Shane tersenyum. “Bagaimana sudah fix kan?”
       Aku berdebar.
       “Ah...itu...” Wajah Nicky memerah. “Yah, doakan saja”
       Seketika hatiku seakan dibanting keras-keras. Aku berusaha untuk tidak gemetar. Hatiku sakit sekali. Kenapa? Bukankah aku sudah tahu hari itu akan datang? Seketika nafsu makanku hilang. Aku menahan airmataku dan lama-lama aku tidak tahan. Aku meletakkan alat makanku dan menatap mereka berlima.
       “Aku nggak enak badan. Aku pulang dulu ya, lads?” Kataku sambil menunduk. Mengambil tasku.
       “Are you okay?” Nicky mengangkat alis.
       Aku mengangguk.
       “Kuantar kau pulang ya?” tiba-tiba Mark bangkit dari duduknya. Aku agak kaget. Diantar pulang oleh Mark Feehily? Aku pasti mimpi. Aku cepat-cepat menggeleng. Tidak mau merepotkannya. “Kumohon biarkan aku mengantarmu pulang...” Kata Mark lagi. Ia menatapku serius. Belum sempat aku membalas ucapannya, ia cepat-cepat menarik tanganku keluar restoran. Aku kaget setengah mati.
       “Mark...Mark!apa yang kau pikirkan? Aku bisa pulang sendiri!” ujarku, merasa tidak enak. Aku melepas genggaman Mark.
       “Mana bisa aku membiarkan gadis sepertimu pulang sendirian dengan keadaan kurang sehat?” Mark menatapku serius. “Aku benar-benar nggak keberatan.”
       Aku terdiam. Lalu menggeleng. Aku tidak mau menerima kebaikan Mark ditengah keegoisanku dan kecemburuanku yang luar biasa. Aku memegang pundak Mark, tersenyum padanya. “Nggak usah...” kataku pelan. Aku langsung memanggil taksi dan masuk kedalamnya. Mark terus menatap taksi yang kunaiki hingga hilang dari pandangannya. Aku merasa bersalah pada Mark tapi aku benar-benar tidak kuat lagi. Aku menangis sepuasnya didalam taksi.
       Menangisi orang itu lagi. Lagi dan lagi hingga aku bosan. Nicky, sebentar lagi ia bertunangan dengan Georgina. Seharusnya aku tahu. Seharusnya aku nggak menangis dan berbuat bodoh. Seharusnya sekarang aku masih duduk di restoran bersama Westlife dan memberi Nicky selamat. Tapi hatiku menolak. Aku tidak mau menangis didepan mereka. Bodoh sekali kalau aku sampai menangis sedangkan mereka menatapku keheranan. Jadi aku pergi begitu saja.
       Sudah bertahun-tahun aku menyimpan cinta yang percuma ini. Aku terus memikirkan Nicky. Memikirkan semua yang ada pada dirinya. Tapi aku bingung, diantara ribuan bayangan tentang Nicky, terselip satu wajah ditengahnya.
       Mark.

***

       “Really?!” Aku berteriak tidak percaya.
       “Yeah Ms. Myron...kami suka naskah novel anda. Kami harap kami bisa menerbitkannya secepatnya”
       Aku seakan bermimpi. Itu pembicaraan yang sangat kuingat tadi pagi di telepon. Akhirnya aku berhasil menarik perhatian penerbit keempat setelah nyaris patah semangat. Aku sudah menyusun jadwal pertemuanku dengan penerbit itu. Aku turun kebawah, ke ruang keluarga dan memekuk Mum yang sedang menonton televisi erat-erat. Ia terbingung-bingung melihat wajahku yang sudah berminggu-minggu suram seketika menjadi sangat cerah.
       “What’s going on?” tanyanya heran.
       “Mum, jangan heran ya kalau tiba-tiba saat kau nonton TV dan tiba-tiba anakmu ini muncul sebagai orang terkenal...” kataku agak melunjak. “Aku berhasil Mum...novelku akan diterbitkan!”
       Mum tersenyum senang mendengarnya.
       “I know that you can dear...” kata Mum. “You’ll be the best writer in the future”
       Saat ini kami menjadi sepasang ibu dan anak paling berlebihan diseluruh dunia. Tapi kemudian Mum menatapku serius dengan alis berkerut.
       “Tapi Mum belum membaca naskahmu sama sekali...” katanya. “Selama ini kau hanya ribut soal novel. Tapi ceritanya saja kau tidak memberitahunya sama sekali”
       Sunyi.
       “Aku menulis love story...” wajahku bersemu merah.
       Wajah Mum berubah menjadi wajah mencibir.
       “Oh...itu sebabnya kau berubah jadi gadis rapi?” Ia mengangkat alis.
       Aku diam saja. Mum tidak tahu hatiku sudah terbanting-banting oleh laki-laki yang kutulis dalam novelku dengan nama samaran. Mum mematikan TV dan berjalan menuju dapur. Pasti ia mau membuat kue. Aku tahu kebiasaannya kalau sedang senang. Aku menyusulnya ke dapur.
       “Kau tahu Westlife kan?” tanya Mum tiba-tiba.
       Aku nyaris memecahkan mangkuk mendengar pertanyaan Mum.     
       “Yeah, of course. I met them some weeks ago” kataku jujur. Tapi Mum justru tertawa-tawa sinting menanggapinya. sepertinya ia tidak percaya. Biarkan sajalah. Siapa yang minta dia percaya? Mum nggak tahu apa-apa. Bahkan ia tidak tahu salah satu personil Westlife adalah tetangganya sendiri.
       “I just love their songs...” kata mum, mengambil beberapa butir telur. “Personilnya yang namanya Mark Feehily itu ganteng”
       Aku menahan tawaku. Mum memang selalu melirik cowok ganteng. Siapapun. Penyanyi, aktor, bahkan orang lewat sekalipun. Mum pasti akan pingsan kalau tahu Mark pernah minta mengantarku pulang. Tiba-tiba aku merindukan Mark. Aku terlalu sakit hati untuk memikirkan Nicky lagi. Westlife sedang dalam world tour sekarang. Mereka sedang di Asia tenggara.
       Sebenarnya beberapa hari ini aku selalu texting dengan Mark. Ia mengirim SMS lebih dulu. Pasti ia mendapat nomorku dari Nicky. Aku selalu tidur larut malam demi membalas SMS nya. Karena perbedaan waktu. Dan sepertinya Mark tidak menyadari di Irlandia sudah larut malam saat ia dengan cepat mengirimiku SMS demi SMS. Sosoknya yang pemalu, cool, calm, ternyata hanya cover depannya. Ia sangat asyik untuk dijadikan teman ngobrol. Ia suka melucu. Dan aku merasa nyaman dengan itu.
       Aku meninggalkan Mum sebentar di dapur untuk mengecek handphoneku. Dan benar saja. Ada tiga SMS dari Mark. Aku tertawa kecil. SMS pertama berbunyi: “Michelle, setelah Westlife pulang dari world tour seminggu lagi aku ingin bertemu denganmu. Ada yang ingin kubicarakan” yang kedua: “Hmmm...apa aku salah bicara?”  yang ketiga: “I’m sorry. Are you angry?”
       Yaampun Mark! Cowok satu ini benar-benar bikin ketawa! Memangnya siapa yang bakal marah karena diajak ketemuan?! Apalagi dia selebriti papan atas. Aku membalas SMS nya sambil tertawa-tawa.
       “Mark, you’re silly! Of course. We’ll meet a week later :)”

***

       “Mark!!”
       “Sssssssshhhh!!!jangan keras-keras!” Mark menempelkan jari telunjuk dibibirnya. “Dari tadi orang-orang melihat kearahku. Jangan sebut namaku!”
       “Ups, sorry” Aku menutup mulutku.
       Seperti janjiku, aku dan Mark bertemu sehari setelah Westlife pulang world tour. Kami bertemu disebuah cafe. Mark memakai jaket yang ada tudung kepalanya. Aku duduk diseberangnya.
       “How’re the lads?” tanyaku.
       “They’re fine” Mark tersenyum, menatapku. “Hey,I miss you...”
       Aku tertawa.
       “How come? I met you just once!”
       Mark ikut tertawa. Sepertinya ia salah tingkah gara-gara kata-katanya.
       “Aku nggak akan seaneh ini dengan cewek lain. I don’t know...you’re different” Katanya. “Bagaimana novelmu?”
       “A, akan diterbitkan secepatnya” jawabku.
       Kemudian kesunyian menyelubungi kami. Jantungku berdebar-debar. Suasananya benar-benar aneh dan kaku. Aku tidak tahu harus membuka obrolan apa. Ia bilang ia mau membicarakan sesuatu. Tapi ia justru diam saja sekarang. Aku gemas. Tapi terlalu takut untuk menegurnya.
       Tiba-tiba Mark duduk tegak, lalu menatapku serius.
       “Begini...” katanya dengan wajah merah padam. Ia menarik nafas dalam-dalam. “Maybe it sounds stupid but I think my heart was stolen by you. I don’t know how come but I think I love you, Michelle. Will you be my girlfriend?”
       Aku bengong.
       Hening.
       “Hah?” Aku tidak bisa berkata apa-apa selain itu. Tubuhku kaku. Aku merasa sedang bermimpi. Wajahku pasti kelihatan seperti orang idiot. Aku tidak berkedip, tubuhku tidak bergeser sedikitpun. Wajah Mark merah sekali. Ia terlihat benar-benar malu. Ia menunduk. Tidak berani menatapku.
       “Why?hahahaha...” tawanya kaku. “Sorry. Sudah kuduga aku bakalan ditolak. Kau suka pada Nicky kan? Aku bisa melihatnya dari matamu.”
       Nicky lagi. kenapa selalu Nicky? Apakah aku gampang sekali ditebak?
       Tapi,daripada itu...Mark ini apa-apaan sih?! Barusan dia ngomong apa?!
       “You’re joking Mark...” aku menggeleng-geleng. “We met some weeks ago and it was the first time we met. You texted me, I texted back...and...we meet again today”
       “Yeah...simple, huh?” Mark tertawa. “But I’m not joking. I’m 100 % serious”
       “But...” aku tidak tahu harus bilang apa.
       “Nggak usah tegang begitu. Aku tahu kok kau nggak suka padaku...” Mark tertawa kecil. “Kau mau minum apa? kutraktir”
       Tunggu...
       MANA MUNGKIN MARK JATUH CINTA PADA CEWEK SEHANCUR AKU?!
       Aku ingin teriak. Dunia ini terlalu aneh.
       “I will...”
       Mark terpaku.
       “So, sorry?” ia menatapku, memastikan kata-kata itu berasal dari mulutku.
       “I will...” ulangku.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar