Jumat, 22 Juni 2012

The Blue Eyes of the Lighthouse (part 3)


       Aku hampir tidak percaya saat nama Kyla terpampang di display handphoneku. Aku duduk di tempat tidurku. Buru-buru membuka dan membaca SMS itu.
       “Hey Michelle...maaf aku tidak pernah menghubungimu selama ini. Tadinya aku benar-benar tidak mau menghubungimu lagi. Tapi kurasa ini tidak adil untukmu...Michelle, maaf. Sebenarnya sejak dulu, sejak kita bersahabat di Mullingar...Mum selalu tidak suka denganmu. Sejak dulu ia selalu melarangku berteman denganmu. Ia selalu mengomentari apapun tentangmu. Caramu berpakaian, rambutmu, caramu bicara, caramu berjalan, dan semuanya. Kau sudah tau kan bagaimana keluargaku?Mum menginginkanku berteman dengan orang yang dianggapnya baik. Bahkan mungkin keterlaluan sopan. Tapi aku tidak peduli karena kupikir kau asyik.”
       “Tapi kemudian kau meninggalkanku Michelle...kau pindah ke Baldoyle. Jadi kupikir untuk apa mempertahankan persahabatan kita?aku bosan dengan omelan Mum tentangmu. Ia bahkan mengancamku tidak akan mengizinkanku masuk universitas pilihanku kalau aku masih berteman denganmu. Mum selalu serius dengan omongannya Michelle...kau tahu itu. Aku merasa memang kita tidak ditakdirkan untuk berteman lagi. aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatanku untuk masuk universitas bagus hanya karena orang yang sudah meninggalkanku. Aku yakin kau punya banyak teman baru yang baik disana. Yang jauh lebih baik daripada aku. Maafkan aku Michelle.terima kasih selama ini.selamat tinggal...”
       Aku terdiam menatap display handphoneku. Aku mematung, terpaku. Rasanya aku tidak bisa bernafas. Rasanya aku ingin mati saja. Detik itu juga. Darahku seakan tidak mengalir lagi. jantungku terasa melambat, dan saat itu kurasakan ada air bening yang hangat mengalir menuruni pipiku.
       Hatiku terasa sakit. Lebih sakit dari kesakitan yang pernah kuderita selama ini. Airmataku terus mengalir. Aku berteriak sekencang-kencangnya. Berusaha melepas sakit yang mengurung hatiku. Aku berlari keluar rumah. Tidak peduli walaupun Mum memanggilku berkali-kali. Diluar langit benar-benar gelap. Awan hitam berkumpul, menurunkan hujan yang lama-kelamaan semakin deras.
      Berlari, aku berlari. Entah berlari kemana. Aku berlari tanpa tujuan. Ditengah hujan. Sendirian. Aku terpeleset aspal yang licin. Aku terjatuh keras keatas aspal. Aku merasa seluruh tubuhku nyeri. Tapi aku berdiri kembali dan melanjutkan lariku.
       “Menurutku, pakai blazer yang tidak dikancingkan itu keren!”
       Kata-kata itu terngiang. Kata-kata Kyla yang membuatku makin semangat untuk tampil berantakan. Cowok-cowok dikelasku selalu menyebutku siluman cewek. Tapi kemudian Kyla berdiri didepanku dan melepas kancing blazernya.
       “Kalau kalian mau menjelek-jelekkan Michelle, jelek-jelekkan aku juga!”
       Aku terengah-engah. Terus menangis sepanjang jalan. Kakiku luar biasa sakit dan aku menggigil kedinginan. Tapi aku tidak mau berhenti. Aku terus berlari sampai akhirnya aku terjatuh lagi.
       “Michelle?” terdengar sebuah suara ditengah suara hujan yang bergemuruh
       Aku kenal suara itu.
       Suara yang kubenci.
       Aku mengangkat kepalaku. Nicky berdiri didepanku, menggenggam payung hitam yang melindunginya dari hujan.
       Ia menatapku panik.
       “Astaga! Kenapa kau hujan-hujanan?!kau luka-luka!” ia membantuku berdiri. Aku tidak bisa berbuat apapun. Aku sudah mati rasa. Ia memegangiku sambil memayungiku. Kami berjalan beberapa lama hingga kami sampai disebuah rumah. Ini pasti rumahnya, aku duduk diteras rumahnya yang luas. Ia masuk kedalam rumahnya dan memberiku handuk. Kemudian menatapku.
       “What happen to you?” tanyanya.
       Aku menggeleng.
       “You...you don’t have to know. you don’t have to bring me here. You don’t have to care about me. I hate you! You know that I hate you!!” jeritku.
       Ia terdiam. Menatapku dengan mata biru itu, mata biru yang bahkan tidak bisa berhenti kukagumi. Sampai sekarang.
       “Why do you hate me?...” gumamnya pelan.
       Tiba-tiba ia mengelus pipiku dengan salah satu tangannya.
       Aku kaku.
       Aku mengingat-ingat kenapa aku benci padanya. Karena ia menabrakku dan membuat lututku luka bahkan dihari pertama aku bertemu dengannya? karena ia selalu mengejekku? Karena ia lebih segala-galanya dariku? Atau...karena ia membuatku jatuh cinta dengan percuma?...
       “I won’t tell you why...” jawabku dengan muka datar.
       “You’re really a messy girl” katanya. “Totally different with Gina...”
       “Can you shut your m...”
       “But I see something inside of you...” kata Nicky memotong kata-kataku.
       “What do you mean?” tanyaku ketus.
       “I won’t tell you” jawabnya datar.
       Aku terdiam. Kali ini aku merasakannya lagi. merasa jantungku berdetak makin cepat. Merasa dada dan wajahku panas. aku memandanginya. Memandangi rambut blondenya, parasnya yang cool, bibirnya yang tipis, matanya yang biru, sebenarnya aku tahu dari awal orang ini benar-benar mengambil hatiku dan tidak mengembalikannya lagi. Aku tidak bisa membohongi hatiku lagi. tidak bisa memungkiri lagi bahwa cintaku padanya lebih besar daripada benciku.
       Tapi ini cinta yang tidak akan pernah kuungkapkan.
       Karena walau kuungkapkan, tak akan ada artinya. Sedikitpun...

***
      
        “Michelle, do you wanna hang out with me after school?” Darren menghampiri mejaku.
       Aku menutup buku yang sedang kubaca, menatap Darren.
       “I think, I can’t...I’m sorry Darren” aku kembali pada bukuku. “I’ve to prepare myself for the examination next week”
       “I still got no idea...actually what happen to you in the last five months?” Darren duduk disampingku. “you’ve changed”
       “Really?and then what about you?you’re too busy with your beloved boyfriend” kataku berusaha setenang mungkin.
       “What do you mean with that?!” Darren meninggikan suaranya. “You’re still my best friend. You have no boyfriend so you can’t understand!”
       Aku menutup bukuku lagi.
       “Yes. I have no boyfriend because I’m not beautiful like you...” kataku.
       “Michelle don’t make me emotional” Darren menghela nafas.
       Aku bangkit dari kursiku, keluar dari kelas dan menuju toilet wanita. Aku terdiam didepan cermin. Apa aku salah? Lima bulan telah berlalu sejak hari aku menerima SMS dari Kyla. Sejak hari itu, aku bertekad untuk keluar. Keluar dari hidupku yang sebelumnya. Aku memutuskan berubah.
       Dan disinilah aku, di toilet sekolah, memandangi sosokku di cermin. Rambut light brown ku sekarang lebih panjang dan sangat rapi. Setiap pagi aku selalu memberinya conditioner dan menyisirnya hingga rapi, aku memotong poniku yang berantakan, aku ke salon setiap seminggu sekali, aku selalu membersihkan wajah dan kulitku, dan aku berolahraga kapanpun aku bisa. Aku sudah kehilangan banyak berat badan. Dan aku sekarang selalu mengancingkan blazerku.
       Kyla tidak ingin berteman lagi denganku karena sosokku yang dulu.
       Nicky membanding-bandingkan aku dengan Georgina karena sosokku yang dulu.
       Cukup beralasan bagiku untuk mengubah diriku. Dan sekarang Darren malah bertanya apa yang terjadi padaku. Tentu saja ia tidak tahu apa yang terjadi padaku. Pacarnya jauh lebih penting daripada aku.
       Akupun sudah lama tidak bicara pada Nicky. Aku pindah tempat duduk ke meja yang lebih depan agar bisa menerima pelajaran dengan baik. Aku selalu mendapat nilai terbaik sekarang. aku bahkan mengalahkan Nicky dalam semua pelajaran kecuali olahraga. Hari liburku kugunakan untuk belajar.
       Itu sama sekali tidak mudah. Tapi aku berhasil.
       Walaupun begitu lama tidak berbicara dengan Nicky membuatku gila. Kadang ketika pelajaran sedang berlangsung aku melihatnya dari kejauhan. Menatap setiap gerakan yang ia buat. Menatap wajah seriusnya yang sedang konsentrasi pada buku catatannya, menatap gerakan tangannya saat menulis, menatap ia menguap didalam kelas. Itu saja sudah membuatku merasa jauh lebih baik.
       Aku terpaku.
       Sosok Nicky langsung terlihat dipinggir lapangan bola ketika aku keluar dari toilet. Aku mengerutkan dahi. Wajahnya terlihat sedih, ia terlihat rapuh, dan aku hampir tidak pernah melihatnya hanya menonton pertandingan bola. Biasanya ia selalu ikut bermain. Jadi keeper ataupun jadi pemain.
       Aku berusaha tidak peduli. Tapi rasa cintaku yang masih melekat ini mengalahkan segalanya. Aku menghampirinya dan duduk disebelahnya dengan hati-hati.
       “Ada apa?” tanyaku takut-takut.
       Nicky menoleh kearahku.
       “Kau peduli? Kalau nggak salah kau bilang kau membenciku...” Nicky berusaha terlihat usil seperti biasanya. Tapi hatinya sepertinya tidak setuju. Ia tetap terlihat rapuh dimataku.
       “Su, sudah deh jawab saja kenapa sih! Kalau nggak mau jawab ya aku pergi saja!” aku bangkit dari dudukku.
       Ia menarik tanganku.
       “Please stay...” gumamnya. Menggenggam tanganku erat-erat.
       Wajahku memerah. Aku tidak mungkin meninggalkannya. Jadi aku duduk lagi disampingnya. Berusaha bersikap normal.
       “Kau pernah patah semangat?” Nicky bertanya tanpa melihat wajahku.
       “Hidupku selalu penuh dengan patah semangat” jawabku.
       Nicky tertawa.
       “Kau bilang begitu sedangkan sekarang kau sudah mengalahkan nilai-nilaiku ha? Kau sebut itu patah semangat?”
       Aku diam saja.
       “Kau pasti tahu aku ingin sekali jadi pemain bola” Katanya lagi.
       “Kupikir disini nggak ada yang nggak tahu...” kataku.
       “And I have to forget it. I have to forget my dream to be a famous footballer” ia tersenyum sedih. “You know why?”
       Aku menggeleng bingung.
       “Tinggi badanku tidak memenuhi syarat” Kali ini Nicky tertawa. Tawa yang menyayat hatiku. “Hurt, eh?”
       “Hey Nicky...kau kan masih bisa tumbuh lebih tinggi! Jangan cengeng dong!” ujarku gemas. “Kau kan bukan kakek-kakek yang sudah berhenti tumbuh!”
       Nicky menggeleng.
       “Aku sempat bertemu dengan calon-calon pemain sepak bola Leeds United. Dan aku paling pendek disana. Aku hanya tumbuh beberapa sentimeter sejak masuk sekolah ini. Umurku sudah 17 tahun dan waktuku tidak lama untuk meninggikan badan.” Katanya. “Aku berusaha berpikir realistis. Karena kalau aku tetap tidak tumbuh sesuai keinginanku sedangkan aku memaksa kehendakku rasanya akan lebih sakit.”
       Aku tidak bisa berkata apa-apa.
       “Kau mau jadi apa, Michelle?” Tanyanya tiba-tiba.
       Aku ingin hidup bersama denganmu...jawabku dalam hati.
       “Penulis terkenal...” kataku akhirnya. “Penulis yang bukunya selalu dipajang di etelase sebagai best seller. Itu mimpiku sejak kecil.
       “Kau nggak perlu tinggi badan untuk jadi penulis...” Nicky tertawa.
       “Berhenti membicarakan tinggi badan!” ujarku. “Aku jadi merasa luar biasa pendek tahu. Aku kan lebih pendek darimu. Dengar, suaramu bagus. Kenapa kau nggak coba jadi penyanyi? Bahkan sejak sekarang saja kau sudah punya banyak fans. Jangan stuck pada satu hal kalau kau punya yang lain! Lagipula kalau kau jadi penyanyi pasti Georgina bakalan bangga banget padamu”
       Nicky menatapku, tersenyum. Belum sempat aku membalas senyumnya, Georgina sudah muncul didepan kami.
       Aku kaget melihatnya tiba-tiba datang. Ia terlihat cantik seperti biasanya. Bukan hanya cantik, kali ini tatapannya tajam. Dan tatapan itu mengarah kearahku. Aku mulai merasa...agak panik.
       “Who are you?” tanyanya. Suaranya ramah. Tapi tatapan tajamnya benar-benar terasa menusuk mataku. “I’m sorry, but can I take Nicky from here?”
       Michelle, Nicky adalah milik gadis cantik yang ada didepanmu. BUKAN milikmu. Aku terus membatin dalam hati. Berusaha tidak menyakiti hatiku sendiri. Aku harus kembali realistis. Tidak boleh berharap sedikitpun.
       “Sure...we just talked about the lesson in our class” aku tersenyum ramah pada Georgina. “I wanna go back to class now. Hahaha”
       Aku bangkit dari dudukku. Berjalan menjauh. Kenapa rasanya sakit? Kenapa rasanya dadaku disumbat sesuatu sehingga aku tidak bisa bernafas normal? Kenapa mataku panas? dan kenapa sekarang aku malah nangis?!
       Aku mengusap airmataku. Menarik nafas dalam-dalam. Aku tidak boleh menangis. Tapi tetap saja airmataku jatuh lagi. aku mengusap airmataku lagi. berusaha menghapus sesak didadaku tapi aku tidak bisa. Aku ingin senyumnya selalu ada didepan mataku, aku ingin suara tawanya selalu terdengar oleh telingaku. Aku ingin matanya birunya selalu menatap kearahku. Aku benar-benar jatuh kedalam lubang yang selama ini kuhindari. Bodoh... Benar-benar bodoh.
       “What’s wrong?” Darren muncul didepanku. Melihatku sedang menangis. Aku tahu aku tidak punya siapa-siapa selain dia. Ia temanku yang paling dekat walaupun sesering apapun ia meninggalkanku. Aku tidak tahan lagi. tangisku meledak. Darren panik dan langsung memelukku.
       “Ada apa Michelle? Ada apa?!” tanyanya.
       “I’m in love with him...” kataku jujur. Airmataku tidak bisa kukendalikan. Nafasku terasa berat. “I know that I’m so damn stupid but I love Nicky. I can’t fool my heart. I love him...I love him so much...”

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar