Kamis, 12 Juli 2012

The Blue Eyes of the Lighthouse (part 10)


       Cinta memang tidak bisa disangkut-pautkan dengan logika.
       Saat aku membuka mata di pagi hari, aku merasakan hal yang benar-benar tidak logis. Hidupku sangat aneh. Entah harus meratapinya atau menikmatinya. Yang jelas saat membuka mata dan melihat sinar matahari menembus jendela kamarku, aku seperti sedang terbang, jalan-jalan ke awan, melayang dan tidak akan pernah mendarat lagi. detik pertama saat aku terbangun, yang kupikirkan adalah aku bermimpi. Mimpi paling indah yang pernah masuk kedalam alam tidurku. Aku bahkan ingin kembali tidur, agar aku bermimpi lagi, dan tidak pernah terbangun lagi selama-lamanya.
       Jadi, aku memejamkan mata lagi, merasakan dalam-dalam kenyamanan yang tidak nyata itu. Kuhela nafas panjang. Aku mencintainya. Ya, aku memang sangat mencintai Nicky.
       “KRIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIING!!!”
       Mataku serta-merta terbuka lebar. Segala macam bayangan dari alam bawah sadarku buyar seperti puzzle lengkap yang kembali diacak-acak. Aku mengerang. Sudah lama aku tidak mendengar suara laknat itu. Suara jam wekerku saat masih sekolah. Ini pasti kerjaan Mum. Seenaknya menyetel weker seakan-akan aku masih anak bocah. Lagipula, kenapa weker itu belum rusak-rusak sih?!
       Aku meraih jam weker berwarna kuning norak itu, lalu mematikan tombolnya. Aku sudah duduk di tempat tidur sekarang, sepenuhnya bangun. Aku mengusap wajahku. Jam setengah tujuh pagi. Samar-samar tercium bau roti panggang dari arah lantai bawah.
       Apa ini mimpi?batinku, buru-buru berdiri dan berjalan terseok-seok ke kamar mandi. Kucuci wajahku berkali-kali. Lalu kutatap cermin. Aku berani bersumpah wajahku tidak pernah sebahagia itu. Persetan dengan jam weker itu. Aku benar-benar bahagia sampai rasanya sanggup mati detik ini juga. Oh tidak. Enak saja, siapa yang mau mati disaat-saat istimewa begini?
       Dengan perasaan bahagia yang membuncah didadaku, aku mengelap wajahku dengan handuk dan menajamkan pendengaranku. Aku tidak salah dengar. Suara petikan gitar terdengar menembus tembok kamarku. Dengan cepat aku membuka pintu balkon dan melongok kearah jalanan dibawah balkon rumahku. Nicky berdiri disana, memetik gitarnya, dan bernyanyi sambil menatap kearahku.
       Wajahku bersemu merah. Bukan, bukan sepenuhnya karena ini romantis. Tapi aku juga malu melihat cowok aneh sedang melakukan hal ajaib seperti memetik gitar pagi-pagi. Tapi kemudian aku tersenyum. Dengan hadirnya ia disana, aku sepenuhnya menyadari ini sama sekali bukan mimpi.
       “It's the way she fills my senses. It's the perfume that she wears. I feel I'm losing my defences. To the colour of her hair...And every little piece of her is right. Just thinking about her. Takes me through the night...” Ia menyanyikan lagu itu sambil menatap lembut kearahku. “Every time we meet. The picture is complete. Every time we touch. The feeling is too much. She's all I ever need. To fall in love again. I knew it from the very start. She's the puzzle of my heart...”
        aku hanya bisa diam, meremas celana pendek yang kukenakan. Bergerak sedikit saja aku pasti salah tingkah. Aku tidak percaya suara merdu itu ditujukan untukku. 
       “It's the way she's always smiling. That makes me think she never cries. I feel I'm losing my defences. To the colour of her eyes...And every little piece of her is right... Like a miracle she's meant to be. She became the light inside of me. And I can feel her like a memory. From long... ago... Every time we meet. The picture is complete. Every time we touch. The feeling is too much. Every time we meet. The picture is complete. Every time we touch. The feeling is too much. She's all I ever need. To fall in love again. I knew it from the very start. She's the puzzle of my heart...”
       Ia melakukan petikan terakhir digitarnya. Lalu menatapku sambil tersenyum dengan wajah merah.
       “Good morning, Michelle...” ucapnya.
       “Bisa nggak, melakukan hal yang lebih wajar seperti lari pagi atau minum secangkir teh? Kau terlihat tolol benar deh...” Aku tertawa geli. “Oke, kuakui hatiku dicuri lagi.”
       “Jadi aku berhasil?” cengirnya.
       “Kau nggak pernah nggak berhasil.” Aku menggelengkan kepalaku. “Tidak sekalipun.”
       Aku bisa melihat wajahnya memerah.
       “Thank you...it’s the most beautiful morning for me.” Aku menatapnya lekat-lekat.
       “You’re welcome.” Ia tersenyum. “Aku harus pulang. Aku belum sarapan.”
       “Oh Nick, go home now, have your breakfast.” Aku menghela nafas.
       Ia langsung berbalik badan dan berjalan menuju rumahnya. Aku tertawa-tawa sampai perutku sakit. Bagaimana aku tidak jatuh cinta pada konyolnya dia? Sesuatu yang konyol, tapi juga sangat indah. Sekali lagi, kupikir cinta memang tidak bisa disangkut-pautkan dengan logika.
       Apakah logis untukku menyadari Nicky tidak mencintai gadis secantik, selembut, sepintar Georgina dan justru jatuh cinta pada gadis paling tolol didunia ini? dan apakah logis aku percaya pada perasaannya begitu saja setelah ia menjalani hubungan super lama dengan Georgina? Entahlah...saat kemarin ia mencium dan memelukku aku bisa merasakan bahwa ia sungguh-sungguh. Aku mendengarnya dari lonceng yang berbunyi dihatiku. Aku tidak sempat berpikir. Karena cinta tidak ada hubungannya dengan logika.
       Aku kembali masuk kedalam rumah dan memutuskan turun kebawah untuk sarapan. Sebelum aku membuka pintu kamaku, aku melihat ada secarik kertas terselip dibawah pintu. Aku meraihnya, lalu menyadari itu adalah tiket bioskop film yang kutonton bersama Mark beberapa bulan yang lalu. Hatiku yang sedang bahagia seakan tergores melihat tiket bioskop itu. Saat itu aku dan Mark duduk di seat paling depan karena kehabisan tiket untuk duduk agak dibelakang. Ia menatapku, tersenyum.
       “Duduk didepan itu enak lho.” Katanya. “Tujuan kita kan memang melihat layar. Bukan melihat kepala orang.”
       Aku mengunyah popcornku, mengangkat alis.
       “Kurasa itu lelucon yang garing.” Aku tertawa.
       “Aku suka duduk didepan. Asal duduk disampingmu...daripada kita duduk di seat yang berjauhan, ini lebih baik.” Katanya. “Diposisi paling nggak enak sekalipun, asal kita nggak pisah ya semua baik-baik saja.”
       “Mark, bisa nggak bicara gombal ditempat lain?” Aku berusaha menahan tawa.
       “Kecuali kalau kau ingin duduk di seat yang lebih enak, aku menyerah...” Ia melanjutkan. “Lebih baik duduk disamping bapak-bapak berbadan bau daripada duduk disebelahmu sedangkan kau tidak senang.”
       “Cukup Mark.” Wajahku merah. Terkesan dengan kata-katanya, tapi juga menahan tawa.
       “Suatu saat, kalau kita berpisahpun juga begitu. Lebih baik kita pisah daripada kau tidak merasa nyaman disampingku.” Katanya.
       “Mark, kulempar kau keluar dari sini. Sumpah! Kata-katamu itu bikin mau nangis! Kita sedang nonton film horror. Bukan film sedih. Ini nggak lucu.” Aku menggelengkan kepalaku. Mark menanggapinya hanya tersenyum.
       Senyum yang masih kuingat sampai sekarang.
       Mark...
       Aku meraih handphoneku, memencet sebuah nomor dan menempelkan handphone ke telingaku. Pada dering keempat, telepon diangkat.
       “Hello? Mark...Can we meet today?”

***

       Mark melempar tusuk gigi kearah dahiku.
       “Aw!” Pekikku. Menatap seringainya didepanku. Aku tersadar daritadi aku bengong sampai tidak sempat menghabiskan pesanan makananku di restoran tempat aku dan Mark bertemu.
       “Katanya kau mau bicara? Jangan buang-buang waktuku deh. Kalau sedang bengong, wajahmu ajaib tahu!” Katanya. “Makananku sudah habis dan kau nggak bicara juga.”
       “Maaf...” aku menunduk. “Aku...aku benar-benar merasa bersalah padamu. Sungguh demi apapun. Aku keterlaluan kan Mark? Aku jahat padamu. Seharusnya waktu itu aku memang menolakmu. Aku bukannya mau membuatmu sakit hati atau apa. Kau tahu kan aku tolol? Jadi itu salah satu ketololanku...”
       Mark tertawa, makin lama tawanya makin keras. Ia memegangi perutnya. Aku bengong dengan tubuh tidak bergerak sedikitpun menatapnya tertawa-tawa sinting. Ia meminum lemon tea nya dan berpaling kearahku.
       “Ah, ya...masih ingat kan waktu itu aku bilang akan kuberitahu kau sesuatu kalau waktunya sudah tepat?” Mark tersenyum. “Nah, sekarang kutanya dulu. Bagaimana hubunganmu dengan Nicky?”
       Wajahku bersemu merah.
       “Dia menembakku...” Kataku menahan malu.
       “Sudah kuduga Nico bakal bertindak cepat.” Mark tertawa. “Sekarang kau sadar kan? He loves you, for years...”
       Aku mengangguk kaku.
       “Michelle, sebelum bertemu denganmu, aku sudah bertekad akan menjadikanmu pacar.” Kata Mark. “Setelah bosan setiap saat Nicky selalu membicarakanmu didepan kami padahal ia sudah punya pacar, aku benar-benar gemas. Aku tahu dia menyimpan perasaan padamu. Kurasa ini nggak adil untuk Georgina. Jadi kupikir aku ingin memancingnya dengan menjadikanmu pacar.”
       Aku melongo.
       “Waktu kita pertama bertemu di restoran waktu itu, aku sengaja mendekatimu, menarikmu, menawarkanmu pulang hanya agar Nicky cemburu. Aku sama sekali tidak menyimpan perasaan apapun padamu. Sampai akhirnya kita texting, aku malah jadi tertarik padamu. Tidak kusangka-sangka aku malah jatuh ke lubang yang mestinya tidak kulewati. Aku menembakmu waktu itupun, tidak sepenuhnya karena aku suka padamu. Itu karena Nicky. Kau mau tebak apa reaksi Nicky saat tahu kita jadian?”
       Aku tidak menjawab.
       “He cried hopelessly...” Kata-kata Mark membekukan tubuhku. “Ia menangis, membentakku, menarik kerah kemejaku sambil marah-marah. Saat itu aku balik membentaknya. Padahal dalam hati, aku tertawa terbahak-bahak.”
       Aku benar-benar melongo.
       “Disatu sisi aku senang sudah membuat Nicky agak tahu diri. Tapi disatu sisi ternyata aku tidak mau kehilanganmu. Selama kita pacaran, aku tahu kau tidak pernah menatapku. Kau menatap Nicky dari balik punggungku. Tapi tujuanku sesungguhnya adalah membuat Nicky jujur pada perasaannya. Jadi walaupun aku mulai menyukaimu, kupikir memang pada akhirnya aku akan menghancurkan sendiri hubungan kita. Saat kita hampir kissing waktu itu, kuakui aku nggak sadar. Untung saja Nicky datang dan menggagalkannya. Dan saat itu, aku tahu Nicky ingin sekali menonjokku.”
       Aku meremas serbet.
       “Aku marah sekali pada Nicky saat ia memutuskan bertunangan dengan Georgina. Makanya aku memutuskan menyerah menyatukan kalian. Aku memutuskan untuk, menjalani hubungan serius denganmu. aku tidak membiarkannya mendekatimu karena tidak mau dia hanya bermain dengan hatimu sedangkan ia masih didalam genggaman Georgina. Tapi apa? Ia masih menarik perhatianmu, tapi tidak sanggup meninggalkan Georgina. Tapi percayalah...itu karena ia tidak mau menyakiti hati wanita...”
       Mark menghela nafas.
       “Karena sudah terlalu capek gara-gara mereka malah berencana menikah, aku memintamu untuk menciumku di bar itu. See? Dia tidak sanggup melihatnya dan langsung minggat pulang ke apartemennya. Saat itu aku sadar, tidak lama lagi pasti ia akan mengutarakan perasaannya padamu. Jadi, aku minta putus denganmu. daaan selesai!”
       Ia menepukkan kedua tangannya.
       “Kalian pasangan paling bodoh dan membingungkan yang pernah kulihat. Tapi tenang saja Michelle, walaupun kita berpisah, hatiku tidak sesakit yang kau bayangkan. Aku merasa kehilanganmu, tapi memang itulah yang harus kurasakan. Sejak awal, ini resikoku karena memilih memainkan sandiwara besar-besaran itu...”
       “Mark, kau gila...” Gumamku tidak percaya, bibirku kering.
       “Memang...” katanya.
       “Aku tidak tahu harus melakukan apa untuk berterima kasih padamu...” aku tercekat.
       “Tidak usah berterima kasih. Kuakui aku memang cukup gila melakukan semua ini.” Katanya. “Lagipula, sekarang aku punya cewek yang kusukai...”
       “Si, siapa?” Tanyaku penasaran.
       “Rahasia...” Ia tersenyum penuh misteri.
       Sepertinya tidak ada gunanya aku menanyakannya lagi kalau dia sudah bilang rahasia. Cepat atau lambat, aku juga akan segera tahu. Aku lega, sangat lega mengetahui semuanya sekarang. Melihat Mark bahagia, adalah favorit keduaku. Yang pertama, sudah pasti kau tahu. Aku tersenyum pada Mark.
       “Keep your secret Fatso!” candaku.

***

3 komentar:

  1. This one is tottally awesome !!!!

    KONAAAAAHHHHHH!!!!! I LOP YOU , kenapa aku lihat Konah jadi mirip Andrew ya ...? #RoseTrilogy

    Kee-an, Keavy, Andrew ....??

    Nico, Michelle, Mark ....??

    hanya Kee ga se - (sorry) brengsek Nico... hehehehee...

    Kee-an cinta sama Keavy, hanya Keavy yang belum siap, dan kee-an tetep menunggu sampai Keavy siap, dan yeah, Andrew sama berhati besar dengan Mark, saat Keavy akhirnya jadian juga sama Kee-an,padahal Andrew dri jaman SMP benci banget sama Kee

    Hanya edhun!!! aku suka caramu mengutarakan hati Mark cerita sandiwara gilanya , jauh terasa isi hatinya dibanding saat dirimu mendeskripsikan Nico .... GREAT JOB FOR MARK.... - i put a heart for him. Be my baby Konah ...., i do ... i really do ...heheheehe


    Awesome one for the lastest chapter .... - CARRY ON !!!

    BalasHapus
  2. AAAAAAAAAAAAA thank you kak Maria :'D XD hahaha emang nico brengsek yah disitu :p masa sih sama kaya rose trilogy? aku ga jiplak sumpah #plak oke makasih kak, I'll do my best for the next chapter!

    BalasHapus
  3. Aku juga jatuh cinta sama konah-nya. coba cowok kaya gitu beneran ada :p *ini ceritanya mengkhayal*

    BalasHapus