Cinta
memang tidak bisa disangkut-pautkan dengan logika.
Saat
aku membuka mata di pagi hari, aku merasakan hal yang benar-benar tidak logis.
Hidupku sangat aneh. Entah harus meratapinya atau menikmatinya. Yang jelas saat
membuka mata dan melihat sinar matahari menembus jendela kamarku, aku seperti
sedang terbang, jalan-jalan ke awan, melayang dan tidak akan pernah mendarat
lagi. detik pertama saat aku terbangun, yang kupikirkan adalah aku bermimpi.
Mimpi paling indah yang pernah masuk kedalam alam tidurku. Aku bahkan ingin
kembali tidur, agar aku bermimpi lagi, dan tidak pernah terbangun lagi
selama-lamanya.
Jadi,
aku memejamkan mata lagi, merasakan dalam-dalam kenyamanan yang tidak nyata
itu. Kuhela nafas panjang. Aku mencintainya. Ya, aku memang sangat mencintai
Nicky.
“KRIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIING!!!”
Mataku
serta-merta terbuka lebar. Segala macam bayangan dari alam bawah sadarku buyar
seperti puzzle lengkap yang kembali diacak-acak. Aku mengerang. Sudah lama aku
tidak mendengar suara laknat itu. Suara jam wekerku saat masih sekolah. Ini
pasti kerjaan Mum. Seenaknya menyetel weker seakan-akan aku masih anak bocah.
Lagipula, kenapa weker itu belum rusak-rusak sih?!
Aku
meraih jam weker berwarna kuning norak itu, lalu mematikan tombolnya. Aku sudah
duduk di tempat tidur sekarang, sepenuhnya bangun. Aku mengusap wajahku. Jam
setengah tujuh pagi. Samar-samar tercium bau roti panggang dari arah lantai
bawah.
Apa ini
mimpi?batinku, buru-buru berdiri dan berjalan terseok-seok ke kamar mandi.
Kucuci wajahku berkali-kali. Lalu kutatap cermin. Aku berani bersumpah wajahku
tidak pernah sebahagia itu. Persetan dengan jam weker itu. Aku benar-benar
bahagia sampai rasanya sanggup mati detik ini juga. Oh tidak. Enak saja, siapa
yang mau mati disaat-saat istimewa begini?
Dengan
perasaan bahagia yang membuncah didadaku, aku mengelap wajahku dengan handuk
dan menajamkan pendengaranku. Aku tidak salah dengar. Suara petikan gitar
terdengar menembus tembok kamarku. Dengan cepat aku membuka pintu balkon dan
melongok kearah jalanan dibawah balkon rumahku. Nicky berdiri disana, memetik
gitarnya, dan bernyanyi sambil menatap kearahku.
Wajahku
bersemu merah. Bukan, bukan sepenuhnya karena ini romantis. Tapi aku juga malu
melihat cowok aneh sedang melakukan hal ajaib seperti memetik gitar pagi-pagi.
Tapi kemudian aku tersenyum. Dengan hadirnya ia disana, aku sepenuhnya
menyadari ini sama sekali bukan mimpi.
“It's
the way she fills my senses. It's the perfume that she wears. I feel I'm losing
my defences. To the colour of her hair...And every little piece of her is
right. Just thinking about her. Takes me through the night...” Ia menyanyikan
lagu itu sambil menatap lembut kearahku. “Every time we meet. The picture is
complete. Every time we touch. The feeling is too much. She's all I ever need.
To fall in love again. I knew it from the very start. She's the puzzle of my
heart...”
aku hanya bisa diam, meremas celana pendek yang kukenakan. Bergerak sedikit saja aku pasti salah tingkah. Aku tidak percaya suara merdu itu ditujukan untukku.
“It's the way she's always smiling. That makes me think she never cries. I feel I'm losing my defences. To the colour of her eyes...And every little piece of her is right... Like a miracle she's meant to be. She became the light inside of me. And I can feel her like a memory. From long... ago... Every time we meet. The picture is complete. Every time we touch. The feeling is too much. Every time we meet. The picture is complete. Every time we touch. The feeling is too much. She's all I ever need. To fall in love again. I knew it from the very start. She's the puzzle of my heart...”
aku hanya bisa diam, meremas celana pendek yang kukenakan. Bergerak sedikit saja aku pasti salah tingkah. Aku tidak percaya suara merdu itu ditujukan untukku.
“It's the way she's always smiling. That makes me think she never cries. I feel I'm losing my defences. To the colour of her eyes...And every little piece of her is right... Like a miracle she's meant to be. She became the light inside of me. And I can feel her like a memory. From long... ago... Every time we meet. The picture is complete. Every time we touch. The feeling is too much. Every time we meet. The picture is complete. Every time we touch. The feeling is too much. She's all I ever need. To fall in love again. I knew it from the very start. She's the puzzle of my heart...”
Ia melakukan petikan terakhir
digitarnya. Lalu menatapku sambil tersenyum dengan wajah merah.
“Good morning, Michelle...”
ucapnya.
“Bisa nggak, melakukan hal
yang lebih wajar seperti lari pagi atau minum secangkir teh? Kau terlihat tolol
benar deh...” Aku tertawa geli. “Oke, kuakui hatiku dicuri lagi.”
“Jadi aku berhasil?”
cengirnya.
“Kau nggak pernah nggak
berhasil.” Aku menggelengkan kepalaku. “Tidak sekalipun.”
Aku bisa melihat wajahnya
memerah.
“Thank you...it’s the most
beautiful morning for me.” Aku menatapnya lekat-lekat.
“You’re welcome.” Ia
tersenyum. “Aku harus pulang. Aku belum sarapan.”
“Oh Nick, go home now, have
your breakfast.” Aku menghela nafas.
Ia langsung berbalik badan dan
berjalan menuju rumahnya. Aku tertawa-tawa sampai perutku sakit. Bagaimana aku
tidak jatuh cinta pada konyolnya dia? Sesuatu yang konyol, tapi juga sangat
indah. Sekali lagi, kupikir cinta memang tidak bisa
disangkut-pautkan dengan logika.
Apakah
logis untukku menyadari Nicky tidak mencintai gadis secantik, selembut,
sepintar Georgina dan justru jatuh cinta pada gadis paling tolol didunia ini?
dan apakah logis aku percaya pada perasaannya begitu saja setelah ia menjalani
hubungan super lama dengan Georgina? Entahlah...saat kemarin ia mencium dan
memelukku aku bisa merasakan bahwa ia sungguh-sungguh. Aku mendengarnya dari
lonceng yang berbunyi dihatiku. Aku tidak sempat berpikir. Karena cinta tidak
ada hubungannya dengan logika.
Aku kembali masuk kedalam rumah dan memutuskan
turun kebawah untuk sarapan. Sebelum aku membuka pintu kamaku, aku melihat ada
secarik kertas terselip dibawah pintu. Aku meraihnya, lalu menyadari itu adalah
tiket bioskop film yang kutonton bersama Mark beberapa bulan yang lalu. Hatiku
yang sedang bahagia seakan tergores melihat tiket bioskop itu. Saat itu aku dan
Mark duduk di seat paling depan karena kehabisan tiket untuk duduk agak
dibelakang. Ia menatapku, tersenyum.
“Duduk
didepan itu enak lho.” Katanya. “Tujuan kita kan memang melihat layar. Bukan
melihat kepala orang.”
Aku
mengunyah popcornku, mengangkat alis.
“Kurasa
itu lelucon yang garing.” Aku tertawa.
“Aku
suka duduk didepan. Asal duduk disampingmu...daripada kita duduk di seat yang
berjauhan, ini lebih baik.” Katanya. “Diposisi paling nggak enak sekalipun,
asal kita nggak pisah ya semua baik-baik saja.”
“Mark,
bisa nggak bicara gombal ditempat lain?” Aku berusaha menahan tawa.
“Kecuali
kalau kau ingin duduk di seat yang lebih enak, aku menyerah...” Ia melanjutkan.
“Lebih baik duduk disamping bapak-bapak berbadan bau daripada duduk disebelahmu
sedangkan kau tidak senang.”
“Cukup
Mark.” Wajahku merah. Terkesan dengan kata-katanya, tapi juga menahan tawa.
“Suatu
saat, kalau kita berpisahpun juga begitu. Lebih baik kita pisah daripada kau
tidak merasa nyaman disampingku.” Katanya.
“Mark,
kulempar kau keluar dari sini. Sumpah! Kata-katamu itu bikin mau nangis! Kita
sedang nonton film horror. Bukan film sedih. Ini nggak lucu.” Aku menggelengkan
kepalaku. Mark menanggapinya hanya tersenyum.
Senyum
yang masih kuingat sampai sekarang.
Mark...
Aku
meraih handphoneku, memencet sebuah nomor dan menempelkan handphone ke
telingaku. Pada dering keempat, telepon diangkat.
“Hello?
Mark...Can we meet today?”
***
Mark
melempar tusuk gigi kearah dahiku.
“Aw!”
Pekikku. Menatap seringainya didepanku. Aku tersadar daritadi aku bengong
sampai tidak sempat menghabiskan pesanan makananku di restoran tempat aku dan
Mark bertemu.
“Katanya kau mau bicara? Jangan buang-buang waktuku deh. Kalau sedang
bengong, wajahmu ajaib tahu!” Katanya. “Makananku sudah habis dan kau nggak
bicara juga.”
“Maaf...” aku menunduk. “Aku...aku benar-benar merasa bersalah padamu.
Sungguh demi apapun. Aku keterlaluan kan Mark? Aku jahat padamu. Seharusnya
waktu itu aku memang menolakmu. Aku bukannya mau membuatmu sakit hati atau apa.
Kau tahu kan aku tolol? Jadi itu salah satu ketololanku...”
Mark
tertawa, makin lama tawanya makin keras. Ia memegangi perutnya. Aku bengong
dengan tubuh tidak bergerak sedikitpun menatapnya tertawa-tawa sinting. Ia
meminum lemon tea nya dan berpaling kearahku.
“Ah,
ya...masih ingat kan waktu itu aku bilang akan kuberitahu kau sesuatu kalau
waktunya sudah tepat?” Mark tersenyum. “Nah, sekarang kutanya dulu. Bagaimana
hubunganmu dengan Nicky?”
Wajahku
bersemu merah.
“Dia
menembakku...” Kataku menahan malu.
“Sudah
kuduga Nico bakal bertindak cepat.” Mark tertawa. “Sekarang kau sadar kan? He
loves you, for years...”
Aku
mengangguk kaku.
“Michelle, sebelum bertemu denganmu, aku sudah bertekad akan
menjadikanmu pacar.” Kata Mark. “Setelah bosan setiap saat Nicky selalu
membicarakanmu didepan kami padahal ia sudah punya pacar, aku benar-benar
gemas. Aku tahu dia menyimpan perasaan padamu. Kurasa ini nggak adil untuk
Georgina. Jadi kupikir aku ingin memancingnya dengan menjadikanmu pacar.”
Aku
melongo.
“Waktu
kita pertama bertemu di restoran waktu itu, aku sengaja mendekatimu, menarikmu,
menawarkanmu pulang hanya agar Nicky cemburu. Aku sama sekali tidak menyimpan
perasaan apapun padamu. Sampai akhirnya kita texting, aku malah jadi tertarik
padamu. Tidak kusangka-sangka aku malah jatuh ke lubang yang mestinya tidak
kulewati. Aku menembakmu waktu itupun, tidak sepenuhnya karena aku suka padamu.
Itu karena Nicky. Kau mau tebak apa reaksi Nicky saat tahu kita jadian?”
Aku
tidak menjawab.
“He cried hopelessly...” Kata-kata Mark
membekukan tubuhku. “Ia menangis, membentakku, menarik kerah kemejaku sambil
marah-marah. Saat itu aku balik membentaknya. Padahal dalam hati, aku tertawa
terbahak-bahak.”
Aku
benar-benar melongo.
“Disatu
sisi aku senang sudah membuat Nicky agak tahu diri. Tapi disatu sisi ternyata
aku tidak mau kehilanganmu. Selama kita pacaran, aku tahu kau tidak pernah
menatapku. Kau menatap Nicky dari balik punggungku. Tapi tujuanku sesungguhnya
adalah membuat Nicky jujur pada perasaannya. Jadi walaupun aku mulai
menyukaimu, kupikir memang pada akhirnya aku akan menghancurkan sendiri
hubungan kita. Saat kita hampir kissing waktu itu, kuakui aku nggak sadar.
Untung saja Nicky datang dan menggagalkannya. Dan saat itu, aku tahu Nicky
ingin sekali menonjokku.”
Aku
meremas serbet.
“Aku
marah sekali pada Nicky saat ia memutuskan bertunangan dengan Georgina. Makanya
aku memutuskan menyerah menyatukan kalian. Aku memutuskan untuk, menjalani
hubungan serius denganmu. aku tidak membiarkannya mendekatimu karena tidak mau
dia hanya bermain dengan hatimu sedangkan ia masih didalam genggaman Georgina.
Tapi apa? Ia masih menarik perhatianmu, tapi tidak sanggup meninggalkan
Georgina. Tapi percayalah...itu karena ia tidak mau menyakiti hati wanita...”
Mark
menghela nafas.
“Karena
sudah terlalu capek gara-gara mereka malah berencana menikah, aku memintamu
untuk menciumku di bar itu. See? Dia tidak sanggup melihatnya dan langsung
minggat pulang ke apartemennya. Saat itu aku sadar, tidak lama lagi pasti ia
akan mengutarakan perasaannya padamu. Jadi, aku minta putus denganmu. daaan
selesai!”
Ia
menepukkan kedua tangannya.
“Kalian
pasangan paling bodoh dan membingungkan yang pernah kulihat. Tapi tenang saja
Michelle, walaupun kita berpisah, hatiku tidak sesakit yang kau bayangkan. Aku
merasa kehilanganmu, tapi memang itulah yang harus kurasakan. Sejak awal, ini
resikoku karena memilih memainkan sandiwara besar-besaran itu...”
“Mark,
kau gila...” Gumamku tidak percaya, bibirku kering.
“Memang...” katanya.
“Aku tidak tahu harus melakukan apa untuk
berterima kasih padamu...” aku tercekat.
“Tidak
usah berterima kasih. Kuakui aku memang cukup gila melakukan semua ini.”
Katanya. “Lagipula, sekarang aku punya cewek yang kusukai...”
“Si,
siapa?” Tanyaku penasaran.
“Rahasia...” Ia tersenyum penuh misteri.
Sepertinya tidak ada gunanya aku menanyakannya lagi kalau dia sudah
bilang rahasia. Cepat atau lambat, aku juga akan segera tahu. Aku lega, sangat
lega mengetahui semuanya sekarang. Melihat Mark bahagia, adalah favorit
keduaku. Yang pertama, sudah pasti kau tahu. Aku tersenyum pada Mark.
“Keep
your secret Fatso!” candaku.
***
This one is tottally awesome !!!!
BalasHapusKONAAAAAHHHHHH!!!!! I LOP YOU , kenapa aku lihat Konah jadi mirip Andrew ya ...? #RoseTrilogy
Kee-an, Keavy, Andrew ....??
Nico, Michelle, Mark ....??
hanya Kee ga se - (sorry) brengsek Nico... hehehehee...
Kee-an cinta sama Keavy, hanya Keavy yang belum siap, dan kee-an tetep menunggu sampai Keavy siap, dan yeah, Andrew sama berhati besar dengan Mark, saat Keavy akhirnya jadian juga sama Kee-an,padahal Andrew dri jaman SMP benci banget sama Kee
Hanya edhun!!! aku suka caramu mengutarakan hati Mark cerita sandiwara gilanya , jauh terasa isi hatinya dibanding saat dirimu mendeskripsikan Nico .... GREAT JOB FOR MARK.... - i put a heart for him. Be my baby Konah ...., i do ... i really do ...heheheehe
Awesome one for the lastest chapter .... - CARRY ON !!!
AAAAAAAAAAAAA thank you kak Maria :'D XD hahaha emang nico brengsek yah disitu :p masa sih sama kaya rose trilogy? aku ga jiplak sumpah #plak oke makasih kak, I'll do my best for the next chapter!
BalasHapusAku juga jatuh cinta sama konah-nya. coba cowok kaya gitu beneran ada :p *ini ceritanya mengkhayal*
BalasHapus