Minggu, 08 Juli 2012

The Blue Eyes of the Lighthouse (part 8)


       Mark menggandeng tanganku masuk kedalam sebuah bar. Aku meyakinkan diriku bahwa aku sudah melupakan kejadian tadi sore. dan akan menghapusnya sama sekali dengan party bersama Westlife. Aku langsung disambut sorakan Nicky, Shane, Brian dan Kian saat menjejakkan kaki disana. Aku melihat Georgina disamping Nicky, terlihat cantik seperti biasanya. Ia mengenakan dress maroon elegan dan rambutnya dibiarkan tergerai. Ia memegang gelas wine ditangan kananya dan tangan kirinya memeluk lengan Nicky. Aku berusaha tidak melihat mereka berdua. Aku memeluk lengan Mark, sekilas aku melihat wajah Nicky berkerut kesal.
       Kami bersenang-senang disana. Setidaknya bersenang-senang untukku adalah memalingkan wajah sebisa mungkin dan tidak melihat Nicky dan Georgina berdansa dengan mesra. Aku minum beberapa teguk. Lalu menertawakan Brian dengan ulahnya yang macam-macam.
       “Ada kabar bagus...” Shane duduk di kursi depan meja bartender.
       Aku menatap Shane.
       “What?” sahutku penasaran.
       “Sebaiknya Nicky saja deh yang bilang” Shane mengangkat alis, menatap Nicky. Nicky menggeleng. Shane memukul punggungnya. “Kau malu-malu banget! Kau kan tinggal bilang kau sedang merencanakan pernikahanmu dengan Georgina, Nick.”
       Aku hampir menjatuhkan gelas wineku.
       Georgina tertawa malu. The lads menyoraki Nicky.
       Aku mencoba tersenyum. Tunggu...bagaimana cara tersenyum? Aku menggenggam gelasku erat-erat. Aku tinggal memasang poker face seperti biasa kan? Tapi bibirku tidak bergerak sedikitpun. Pandanganku kosong, tubuhku lemas, kucoba bernafas seperti biasa. Tidak bisa. Nafasku berat, tenggorokanku seperti tersumbat, dadaku terasa terbakar karena menahan tangis. Apa aku tidak terlalu bodoh mencintainya bahkan sampai detik ini?
      Mark mengulurkan tangannya padaku. Aku menatapnya sesaat. Ia tersenyum. Aku menyambut tangannya. Ia mengajakku berdansa. Aku menggerakkan kakiku susah payah. Aku menunduk, tidak bisa menatap wajah Mark. Suara bising yang dibuat the lads makin terdengar samar.
       “Michelle, waktu didepan kedai kopi itu...aku gagal mendapatkan sesuatu yang berharga” katanya. “Hubungan kita sudah sekitar satu tahun. Dan kurasa aku ingin mendapatkannya sekarang”
       Tatapanku tetap kosong. Tanganku melingkar di leher Mark, tapi wajahku tidak kuangkat sedikitpun. Aku mengerti apa maksud Mark, tapi entah kenapa aku takut. Aku takut melihat kenyataan. Aku takut kehilangan Nicky sepenuhnya, aku takut menatap wajah Mark ditengah keegoisanku, aku takut memberikan ciumanku padanya, segalanya membuatku takut. Aku diam saja, benar-benar diam.
       Perlahan aku mengangkat kepalaku. Menatap Mark beberapa saat.
       “Will you?” tanyanya.      
       Aku mengangguk singkat. Memejamkan mataku. Menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Hatiku terlalu sakit untuk mengambil keputusan apapun. Aku merasakan Mark mendekatiku dan saat itu terdengar suara keras di samping kami.
       “BRAK!!”
       Seketika aku membuka mataku dan melihat kesamping. Mark ikut menoleh, terlihat Nicky berdiri dengan wajah yang tidak jelas mengeluarkan ekspresi apa. Ia melompat. Ia melompat dari kursi didepan meja bartender, dan kursinya jatuh, suara itu berasal dari jatuhnya kursi itu. Ia juga menyenggol gelas winenya dan sekarang gelas itu tergeletak disamping kursi yang jatuh itu. Aku menatapnya kaget. Ada apa? Kenapa dia bersikap aneh begitu? Kami semua memandangnya bingung.
       “Nicky?” Shane menatap Nicky dengan alis berkerut. “What’s wrong?”
       Nicky tidak berkata apa-apa. Tangannya terkepal. Lalu ia tiba-tiba berjalan keluar dari bar. Kami semua bertatapan. Georgina langsung menyusulnya. Nicky berjalan cepat kearah mobilnya. wajahnya berkerut-kerut, Georgina berlari menuju kearahnya dan langsung menarik tangannya. Nicky memalingkan wajahnya. Tidak sanggup melihat wajah Georgina.
       “Gina...maafkan aku...” katanya penuh sesal. “Maaf...”
       Georgina terlihat takut mendengar kata-kata Nicky.
       “Kau bicara apa? Ada apa denganmu?” Georgina tertawa terpaksa. “Ayo kembali kedalam. Semuanya kebingungan melihatmu...”
       Nicky menggeleng sambil memejamkan matanya.
       “I can’t...” Katanya, membuka pintu mobilnya. “Aku tidak bisa kembali kesana, maaf...aku mau pulang sekarang”
       Georgina buru-buru membuka pintu penumpang dan masuk kedalam mobil bersama Nicky dan langsung memasang seatbelt.
       “Let me be with you tonight...” Katanya.
       Nicky menghela nafas. Tidak bisa melarangnya.
       Mobil Nicky melaju. Ia menyetir dengan tatapan kosong. Georgina berkali-kali menatap wajah Nicky. Setiap ia gerakkan bola matanya untuk menatap wajah Nicky, ia semakin takut. Tapi ia memutuskan diam.
       Nicky membelokkan mobilnya ke apartemennya. Ia masuk kedalam kamarnya dan langsung menghempaskan tubuhnya di tempat tidur dengan wajah putus asa. Georgina meletakkan tasnya diatas meja dan mendekati Nicky tanpa berkata apa-apa. Berjam-jam ia hanya duduk diam di tempat tidur Nicky. Menatap Nicky yang jatuh tertidur dengan wajah berkerut. Ia ketakutan, sama sekali tidak bisa menutup matanya.
       Malam semakin larut. Ia mendengar ringtone handphone Nicky berkali-kali tapi tidak ada keberanian untuk mengangkat telepon. Itu pasti salah satu dari the lads. Semuanya pasti mengkhawatirkan Nicky. Tingkahnya begitu aneh. Rasa kantuk mulai menyerang Georgina. Ia hampir kehilangan kesadarannya ketika ia mendengar sebuah kata terucap sangat pelan dari mulut Nicky.
       “Michelle...”
       Suara itu sangat pelan, nyaris tidak terdengar. Suara yang penuh keputusasaan, penyesalan, dan beban yang begitu berat. Georgina mendengarnya, sangat jelas ditelinganya. Ia langsung tersenyum, airmatanya jatuh. Ia tertawa kecil sambil mengelus kepala Nicky.
       “Kenapa kau bodoh sekali?” gumamnya. “We’ve been together for years...”
       Georgina menatap wajah Nicky baik-baik. Menatap wajah sedih yang bertahun-tahun disembunyikannya. Ia tahu sudah lama Nicky menahan dirinya untuk tidak menunjukkan wajah itu. Sejak bertahun-tahun yang lalu. Ia berhenti mengelus kepala Nicky. Ia menatap cincin di jari manisnya, lalu melepasnya.
       Ia tersenyum sekali lagi, kemudian meletakkan cincin yang dilepasnya diatas meja. Cincin pertunangannya dengan Nicky. Ia meletakkannya di meja, meraih tasnya, dan keluar dari apartemen Nicky tanpa suara.

***

       Aku duduk di sofa apartemenku tanpa berkata apa-apa. Otakku sudah pasti penuh dengan Nicky. Tentang pernikahannya dengan Georgina, tentang tingkahnya yang aneh di bar tadi...dia membuatku kacau. Mark duduk disampingku, ia juga tidak bicara apa-apa. Kami terjebak didalam kesunyian. Malam sudah larut sekali. Tapi sepertinya Mark enggan menggerakkan kakinya untuk pulang. Ia menatapku agak lama, menghela nafas.
       “What song do you like the most in Coast to coast?” Tanyanya memecah keheningan.
       “I like all of the songs in it...” Jawabku.
       “No, no...I want you to choose one song” Katanya. “Kalau bisa yang temponya cepat”
       “When you’re looking like that?” Itu lagu yang terlintas di kepalaku.
       “Bingo...” Mark bangkit dari duduknya, meraih CD coast to coast milikku yang tergeletak diatas CD playerku, lalu menyetelnya, ia memutar lagu when you’re looking like that dan mengulurkan tangannya padaku.
       “Do you wanna dance?” Ia tersenyum lucu.
       Aku tertawa kecil, lalu menyambut tangannya. Kami menari-nari gila diruang tamu apartemenku. Kami berputar-putar, melompat-lompat, sampai menarikan tarian Irlandia. Kami tertawa-tawa hingga lagu habis. Kemudian terputar lagu Close. Mengalun lembut ditelinga kami berdua. Kami berhenti menari.
       Mark berbisik ditelingaku.
       “Kita putus saja ya?”
       Aku terbelalak.
       “Hah?” Aku menatap Mark bingung. “Kenapa?”
       “Because you don’t love me.” Katanya.
       “Mark, jangan ngawur...” Aku menggeleng.
       “Kau yang ngawur. Kau luar biasa ngawur karena berpikir mau menjalani hubungan ini denganku.” Mark tertawa.
       “Mark, stop...”
       “I won’t stop, until you confess it.” Kata Mark santai.
       Aku terdiam.
       “Aku tahu kok...sekarang kau benar-benar ingin menangis. Ingin menangis kencang-kencang seperti bayi.” Katanya, menatapku sambil tersenyum. “Do you love Nicky, don’t you?”
       “What are you talking about?” Aku menarik nafas panjang.
       “Michelle, lebih baik nggak usah pura-pura bodoh.” Wajah Mark berubah serius. “Kau sangat mencintai Nicky, cinta sampai kau mau berusaha lari, lari padaku, berusaha menganggapku pengganti dia dihatimu. Kau terlalu cinta, bahkan kau nggak bisa berhenti menangis. Menangis terus. Mau sampai kapan kau menangis? Mau tunggu sampai airmatamu benar-benar habis? Pura-pura nggak akan menyelesaikan masalah...”
       Aku merinding mendengar kata-kata Mark.
       “Mark, but I love you...”
       “Berhenti mengarang...” Mark menempelkan jari telunjuknya dibibirku. “Aku tahu kau kuat...kuat untuk menunggu Nicky sekali lagi.”
       “Mark kau sudah gila!” jeritku tidak tahan. “Nicky sudah tunangan dengan Georgina. Mereka sudah merencanakan pernikahan mereka. Kau pikir aku sinting hah?! Buat apa aku menunggu dia?!”
       “Kalau kau tidak mendengarkanku kau akan menyesal.” Kata Mark tegas. “Michelle, kalau kau menyayangiku aku mohon jujurlah. Melihatmu terus-terusan berbohong menyakitiku...”
       Aku tidak tahu harus bagaimana.
       “Walaupun kau tidak jujur, aku akan tetap meninggalkanmu.” Mark duduk kembali di sofa, mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya di meja. Menatapku sambil mengangkat alis. Lalu ia mengambil handphonenya. “Sepertinya Nicky bakal dapat berita bagus...”
       “Wait, Mark...what are you doing?” Aku melihat Mark sedang memencet-mencet tombol handphonenya.
        Mark tersenyum jenaka kearahku.
       “I wanna call Nicky.” Katanya. “I wanna call him and tell him a good news. I’ll tell him that you love him.”
       “Mark, you’re silly. Give your phone to me!” Aku panik, berusaha meraih handphone ditangan Mark. Mark menyembunyikan handphone itu dibelakang punggungnya. Menatapku dengan wajah setan yang tidak pernah ia tunjukkan padaku. “Mark, it’s not funny!”
       Mark bangkit dari duduknya dan menyingkir dariku, ia menempelkan handphone di telinganya. Aku buru-buru menghampirinya saat ia bilang “Hello”. Dengan cepat aku merebut handphonenya dan ketika kulihat display handphonenya, ia sedang tidak menelepon siapa-siapa. Wajahku merah padam, Sesaat kami hanya berdiri berhadapan. Aku menggenggam handphonenya dengan tangan berkeringat. Aku menunduk, dan saat aku mengangkat kepalaku aku langsung melihat cengiran Mark didepanku.
       “You’re trapped.” Katanya. “I’ll tell him anytime I want it.”
       Aku menghela nafas. Rasanya percuma berbohong lagi.
       “Okay...alright...” aku memegang kepalaku. “Alright Mark."
       “So?” Tanya Mark.
       Dengan berat aku mengangguk.
       Mark tersenyum, mengambil handphonenya dari tanganku dan langsung mengantongkannya di kantung celananya. Ia menatap wajahku yang sudah nggak jelas bentuknya.
       “Begitu saja susah...Sedikit lebih lega?” tanyanya.
       “Lebih lega dari yang kubayangkan...” aku mengaku.
       Aku benar-benar kalah.
       Mark benar. Selalu benar.
       “I’m sorry...” Kataku akhirnya.
       Mark mengacak-acak rambutku.
       “Sebenarnya sih tidak apa-apa...” Mark tersenyum. “Kau akan tahu semuanya nanti, kalau waktunya sudah tepat, akan kuberitahu sesuatu...”
       Aku menatapnya penasaran.
       “Kau mau kan menunggu Nicky?” tanyanya.
       Aku mendesah.
       “Should I?” tanyaku.
       Mark mengangguk, tersenyum.
       “Aku pasti sudah gila...” Aku mendesah. “What if I say yes?...”
       “That’s my Michelle.” Mark menonjok lenganku pelan. “I have to go home now.”
       “Well...hmmm...hati-hati Mark...”
       Mark menuju pintu depan.
       “Mark, wait!” seruku.
       “Th, thank you...” aku menatapnya. “Thank you for everything.”
       Mark hanya menanggapiku dengan tersenyum singkat.
       “See you soon.” Ia membuka pintu apartemenku. Lalu ia keluar, aku menatap punggungnya hingga ia berbalik dan menutup pintu. Ia berjalan menuju tempat parkir mobilnya, ia masuk kedalam mobilnya dan tersenyum beberapa saat, menyandarkan diri di jok lalu menghela nafas panjang.
       “Aaaaah...selesai deh...” Katanya, lalu ia tertawa lepas didalam mobilnya. 

***

       Nicky membuka matanya, merasakan sinar matahari menembus jendela kamarnya. Ia mengusap wajahnya.
       “Gina?” Panggilnya pelan, menatap kesamping. Kosong.
       Ia langsung duduk dan menatap sekeliling kamarnya.
       “Gina?” Panggilnya lagi. ia turun dari tempat tidurnya dan membuka kamar mandi. Tidak ada tanda-tanda orang lain disana selain dirinya. Ia keluar dari kamarnya. Benar-benar sunyi. Ia kembali ke kamarnya dan duduk ditempat tidurnya, bingung. Ia merogoh kantung celananya dan mengambil handphonenya. Menatap display handphonenya sesaat, lalu menelepon Georgina.
       Tidak aktif.
       Ia meletakkan handphonenya diatas tempat tidur. Lalu menangkap sesuatu yang berkilau dengan matanya. Ia berjalan kearah meja dengan hati-hati dan melihat sebuah cincin disana. Ia lansung mengecek jarinya. Cincin miliknya masih terpasang di jari manisnya. Ia langsung menyadari itu cincin milik Georgina.
       Ia menelepon Georgina lagi. Beberapa kali.
       Nihil. Nomornya benar-benar tidak aktif. Ia langsung mengambil jaketnya dan berjalan keluar, menuju mobilnya. ia menyetir mobilnya dengan cepat ke apartemen Georgina. Ditengah lampu merah, ia menelepon sekali lagi. Tetap tidak aktif. Ia meletakkan handphonenya di dashboard.
       Apartemen Georgina adalah apartemen terbesar dikawasannya. Ia membeli apartemen itu agar lebih dekat dari tempat kerjanya. Nicky menaiki tangga darurat. Tentu saja baginya bukan waktu yang tepat untuk berdiri didalam benda mengerikan yang tertutup rapat hingga lantai 20. Ia menyusuri koridor, berdiri didepan pintu apartemen Georgina dan mengebel. Tidak ada suara apapun. Ia mulai mengetuk pintu berkali-kali. Tidak ada jawaban. Ia buru-buru merogoh kantung jaketnya dan menemukan kunci pintu cadangan Georgina. Ia membuka pintu dan langsung masuk kedalam.
       “Gina? Are you here?” Panggilnya, berjalan kearah ruang tengah, ke kamar, kamar mandi, dapur, tapi Georgina sama sekali tidak ada. Ia mulai panik.
       “Gina! Can you hear me?!” Ujarnya. Ia menatap kekanan dan kiri. Tapi kosong. Ia membuka lemari baju Georgina, bahkan lemarinya kosong.
       “Oh God what happened...” Wajah Nicky pucat.
       “Kriiiiiiiiiiiiiiing!”
       Nicky terkejut mendengar telepon di kamar Georgina berbunyi. Pada dering ketiga akhirnya ia mendekati sumber suara. Dengan ragu ia memutuskan duduk di tempat tidur dan meraih pesawat telepon.
       “Hello?”
       “Ah, you’re there...” Suara Georgina. Nicky langsung menghembuskan nafas lega.
       “Gina what happened? Where are you? What’s going on? Wh...”
       “I called you...” Kata Georgina. “Tapi sibuk terus. Did you call my handphone number?”
       “Yeah I called you many times...”
       “Handphoneku mati. I called your apartment number but you didn’t answer. Then I guess you’re in my apartment.”
       “Gina, tell me what happened. Where are you?”
       “Should I?” Georgina tertawa. “I’m in airport, I just wanna say goodbye. It’s too weird if I don’t tell you anything. I’m leaving.”
       Nicky tercekat.
       “Your ring...”
       “I guess I don’t need it anymore, Nicky...” Kata Georgina. “Because we’re over now.”
       “What?”
       “You’re too stupid. It’s impossible for me to stay in this relationship. You love someone else...” Suara Georgina terdengar ringan.
       Nicky tidak bisa berkata apa-apa.
       “Aku lega...” Ucap Georgina. “Sekarang aku sudah tahu semuanya. Apa yang ada dihatimu, diotakmu, semuanya penuh oleh gadis berambut light brown itu. Bahkan sejak bertahun-tahun lalu. I was afraid, for years...but now I’m relieved...Kau bodoh sekali tetap mempertahankan hubungan kita bahkan sampai bertunangan.”
      Nicky menggigit bibirnya. Ia selalu menunggu waktu yang tepat untuk berkata jujur pada Georgina, tapi ia akhirnya berpikir tidak akan ada waktu yang tepat. Ia tidak mau melihat Georgina menangis karena dirinya. Tapi sekarang, mendengar suara ringan Georgina diseberang sana membuatnya jauh lebih lega. Dan ia berpikir mungkin ada saat tepat yang selama ini ia tunggu. Saat yang tepat itu adalah sekarang. Ia memejamkan mata sejenak dan akhirnya memutuskan untuk bicara.
        “I...I’m really sorry, Gina...” Kata Nicky. “I’ve tried my best. I’ve tried so hard to love you until the end...”
       “You didn’t love me. From the start...” Kata Georgina. “Right?”
       Nicky memejamkan mata lagi. Rasa bersalah membebani punggungnya.
       “I love you Nicky...” Ucap Georgina. “It’s hard for me to leave you. But it’s harder to see you like this. You’re not happy when you’re with me. Follow your way. Your own way...”
       “Thank you Gina...” Gumam Nicky dengan suara berat. “Thank you so much...thank you so much....thank you so much, Gina...”  

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar