Mark menggandeng tanganku masuk kedalam sebuah bar. Aku meyakinkan diriku bahwa aku sudah melupakan kejadian tadi sore. dan akan menghapusnya sama sekali dengan party bersama Westlife. Aku langsung disambut sorakan Nicky, Shane, Brian dan Kian saat menjejakkan kaki disana. Aku melihat
Georgina disamping Nicky, terlihat cantik seperti biasanya. Ia mengenakan dress
maroon elegan dan rambutnya dibiarkan tergerai. Ia memegang gelas wine ditangan
kananya dan tangan kirinya memeluk lengan Nicky. Aku berusaha tidak melihat
mereka berdua. Aku memeluk lengan Mark, sekilas aku melihat wajah Nicky
berkerut kesal.
Kami
bersenang-senang disana. Setidaknya bersenang-senang untukku adalah memalingkan
wajah sebisa mungkin dan tidak melihat Nicky dan Georgina berdansa dengan
mesra. Aku minum beberapa teguk. Lalu menertawakan Brian dengan ulahnya yang
macam-macam.
“Ada
kabar bagus...” Shane duduk di kursi depan meja bartender.
Aku
menatap Shane.
“What?”
sahutku penasaran.
“Sebaiknya Nicky saja deh yang bilang” Shane mengangkat alis, menatap
Nicky. Nicky menggeleng. Shane memukul punggungnya. “Kau malu-malu banget! Kau
kan tinggal bilang kau sedang merencanakan pernikahanmu dengan Georgina, Nick.”
Aku
hampir menjatuhkan gelas wineku.
Georgina tertawa malu. The lads menyoraki Nicky.
Aku
mencoba tersenyum. Tunggu...bagaimana cara tersenyum? Aku menggenggam gelasku
erat-erat. Aku tinggal memasang poker face seperti biasa kan? Tapi bibirku
tidak bergerak sedikitpun. Pandanganku kosong, tubuhku lemas, kucoba bernafas
seperti biasa. Tidak bisa. Nafasku berat, tenggorokanku seperti tersumbat,
dadaku terasa terbakar karena menahan tangis. Apa aku tidak terlalu bodoh
mencintainya bahkan sampai detik ini?
Mark
mengulurkan tangannya padaku. Aku menatapnya sesaat. Ia tersenyum. Aku
menyambut tangannya. Ia mengajakku berdansa. Aku menggerakkan kakiku susah
payah. Aku menunduk, tidak bisa menatap wajah Mark. Suara bising yang dibuat
the lads makin terdengar samar.
“Michelle, waktu didepan kedai kopi itu...aku gagal mendapatkan sesuatu
yang berharga” katanya. “Hubungan kita sudah sekitar satu tahun. Dan kurasa aku
ingin mendapatkannya sekarang”
Tatapanku tetap kosong. Tanganku melingkar di leher Mark, tapi wajahku
tidak kuangkat sedikitpun. Aku mengerti apa maksud Mark, tapi entah kenapa aku
takut. Aku takut melihat kenyataan. Aku takut kehilangan Nicky sepenuhnya, aku
takut menatap wajah Mark ditengah keegoisanku, aku takut memberikan ciumanku
padanya, segalanya membuatku takut. Aku diam saja, benar-benar diam.
Perlahan aku mengangkat kepalaku. Menatap Mark beberapa saat.
“Will
you?” tanyanya.
Aku
mengangguk singkat. Memejamkan mataku. Menunggu apa yang akan terjadi
selanjutnya. Hatiku terlalu sakit untuk mengambil keputusan apapun. Aku
merasakan Mark mendekatiku dan saat itu terdengar suara keras di samping kami.
“BRAK!!”
Seketika aku membuka mataku dan melihat kesamping. Mark ikut menoleh,
terlihat Nicky berdiri dengan wajah yang tidak jelas mengeluarkan ekspresi apa.
Ia melompat. Ia melompat dari kursi didepan meja bartender, dan kursinya jatuh,
suara itu berasal dari jatuhnya kursi itu. Ia juga menyenggol gelas winenya dan
sekarang gelas itu tergeletak disamping kursi yang jatuh itu. Aku menatapnya
kaget. Ada apa? Kenapa dia bersikap aneh begitu? Kami semua memandangnya
bingung.
“Nicky?” Shane menatap Nicky dengan alis berkerut. “What’s wrong?”
Nicky
tidak berkata apa-apa. Tangannya terkepal. Lalu ia tiba-tiba berjalan keluar
dari bar. Kami semua bertatapan. Georgina langsung menyusulnya. Nicky berjalan
cepat kearah mobilnya. wajahnya berkerut-kerut, Georgina berlari menuju
kearahnya dan langsung menarik tangannya. Nicky memalingkan wajahnya. Tidak
sanggup melihat wajah Georgina.
“Gina...maafkan aku...” katanya penuh sesal. “Maaf...”
Georgina terlihat takut mendengar kata-kata Nicky.
“Kau
bicara apa? Ada apa denganmu?” Georgina tertawa terpaksa. “Ayo kembali kedalam.
Semuanya kebingungan melihatmu...”
Nicky
menggeleng sambil memejamkan matanya.
“I
can’t...” Katanya, membuka pintu mobilnya. “Aku tidak bisa kembali kesana,
maaf...aku mau pulang sekarang”
Georgina
buru-buru membuka pintu penumpang dan masuk kedalam mobil bersama Nicky dan
langsung memasang seatbelt.
“Let me
be with you tonight...” Katanya.
Nicky
menghela nafas. Tidak bisa melarangnya.
Mobil
Nicky melaju. Ia menyetir dengan tatapan kosong. Georgina berkali-kali menatap
wajah Nicky. Setiap ia gerakkan bola matanya untuk menatap wajah Nicky, ia
semakin takut. Tapi ia memutuskan diam.
Nicky
membelokkan mobilnya ke apartemennya. Ia masuk kedalam kamarnya dan langsung
menghempaskan tubuhnya di tempat tidur dengan wajah putus asa. Georgina
meletakkan tasnya diatas meja dan mendekati Nicky tanpa berkata apa-apa.
Berjam-jam ia hanya duduk diam di tempat tidur Nicky. Menatap Nicky yang jatuh
tertidur dengan wajah berkerut. Ia ketakutan, sama sekali tidak bisa menutup
matanya.
Malam
semakin larut. Ia mendengar ringtone handphone Nicky berkali-kali tapi tidak
ada keberanian untuk mengangkat telepon. Itu pasti salah satu dari the lads.
Semuanya pasti mengkhawatirkan Nicky. Tingkahnya begitu aneh. Rasa kantuk mulai
menyerang Georgina. Ia hampir kehilangan kesadarannya ketika ia mendengar
sebuah kata terucap sangat pelan dari mulut Nicky.
“Michelle...”
Suara
itu sangat pelan, nyaris tidak terdengar. Suara yang penuh keputusasaan,
penyesalan, dan beban yang begitu berat. Georgina mendengarnya, sangat jelas
ditelinganya. Ia langsung tersenyum, airmatanya jatuh. Ia tertawa kecil sambil
mengelus kepala Nicky.
“Kenapa
kau bodoh sekali?” gumamnya. “We’ve been together for years...”
Georgina menatap wajah Nicky baik-baik. Menatap wajah sedih yang
bertahun-tahun disembunyikannya. Ia tahu sudah lama Nicky menahan dirinya untuk
tidak menunjukkan wajah itu. Sejak bertahun-tahun yang lalu. Ia berhenti
mengelus kepala Nicky. Ia menatap cincin di jari manisnya, lalu melepasnya.
Ia
tersenyum sekali lagi, kemudian meletakkan cincin yang dilepasnya diatas meja.
Cincin pertunangannya dengan Nicky. Ia meletakkannya di meja, meraih tasnya,
dan keluar dari apartemen Nicky tanpa suara.
***
Aku
duduk di sofa apartemenku tanpa berkata apa-apa. Otakku sudah pasti penuh
dengan Nicky. Tentang pernikahannya dengan Georgina, tentang tingkahnya yang
aneh di bar tadi...dia membuatku kacau. Mark duduk disampingku, ia juga tidak
bicara apa-apa. Kami terjebak didalam kesunyian. Malam sudah larut sekali. Tapi
sepertinya Mark enggan menggerakkan kakinya untuk pulang. Ia menatapku agak
lama, menghela nafas.
“What
song do you like the most in Coast to coast?” Tanyanya memecah keheningan.
“I like
all of the songs in it...” Jawabku.
“No,
no...I want you to choose one song” Katanya. “Kalau bisa yang temponya cepat”
“When
you’re looking like that?” Itu lagu yang terlintas di kepalaku.
“Bingo...” Mark bangkit dari duduknya, meraih CD coast to coast milikku
yang tergeletak diatas CD playerku, lalu menyetelnya, ia memutar lagu when
you’re looking like that dan mengulurkan tangannya padaku.
“Do you
wanna dance?” Ia tersenyum lucu.
Aku
tertawa kecil, lalu menyambut tangannya. Kami menari-nari gila diruang tamu
apartemenku. Kami berputar-putar, melompat-lompat, sampai menarikan tarian
Irlandia. Kami tertawa-tawa hingga lagu habis. Kemudian terputar lagu Close.
Mengalun lembut ditelinga kami berdua. Kami berhenti menari.
Mark
berbisik ditelingaku.
“Kita
putus saja ya?”
Aku
terbelalak.
“Hah?”
Aku menatap Mark bingung. “Kenapa?”
“Because you don’t love me.” Katanya.
“Mark, jangan ngawur...” Aku menggeleng.
“Kau
yang ngawur. Kau luar biasa ngawur karena berpikir mau menjalani hubungan ini
denganku.” Mark tertawa.
“Mark,
stop...”
“I
won’t stop, until you confess it.” Kata Mark santai.
Aku
terdiam.
“Aku
tahu kok...sekarang kau benar-benar ingin menangis. Ingin menangis
kencang-kencang seperti bayi.” Katanya, menatapku sambil tersenyum. “Do you
love Nicky, don’t you?”
“What
are you talking about?” Aku menarik nafas panjang.
“Michelle, lebih baik nggak usah
pura-pura bodoh.” Wajah Mark berubah serius. “Kau sangat mencintai Nicky, cinta
sampai kau mau berusaha lari, lari padaku, berusaha menganggapku pengganti dia
dihatimu. Kau terlalu cinta, bahkan kau nggak bisa berhenti menangis. Menangis
terus. Mau sampai kapan kau menangis? Mau tunggu sampai airmatamu benar-benar
habis? Pura-pura nggak akan menyelesaikan masalah...”
Aku
merinding mendengar kata-kata Mark.
“Mark,
but I love you...”
“Berhenti mengarang...” Mark menempelkan jari telunjuknya dibibirku.
“Aku tahu kau kuat...kuat untuk menunggu Nicky sekali lagi.”
“Mark
kau sudah gila!” jeritku tidak tahan. “Nicky sudah tunangan dengan Georgina.
Mereka sudah merencanakan pernikahan mereka. Kau pikir aku sinting hah?! Buat
apa aku menunggu dia?!”
“Kalau
kau tidak mendengarkanku kau akan menyesal.” Kata Mark tegas. “Michelle, kalau
kau menyayangiku aku mohon jujurlah. Melihatmu terus-terusan berbohong
menyakitiku...”
Aku
tidak tahu harus bagaimana.
“Walaupun kau tidak jujur, aku akan tetap meninggalkanmu.” Mark duduk
kembali di sofa, mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya di meja. Menatapku sambil
mengangkat alis. Lalu ia mengambil handphonenya. “Sepertinya Nicky bakal dapat
berita bagus...”
“Wait,
Mark...what are you doing?” Aku melihat Mark sedang memencet-mencet tombol
handphonenya.
Mark
tersenyum jenaka kearahku.
“I
wanna call Nicky.” Katanya. “I wanna call him and tell him a good news. I’ll
tell him that you love him.”
“Mark,
you’re silly. Give your phone to me!” Aku panik, berusaha meraih handphone
ditangan Mark. Mark menyembunyikan handphone itu dibelakang punggungnya. Menatapku
dengan wajah setan yang tidak pernah ia tunjukkan padaku. “Mark, it’s not
funny!”
Mark
bangkit dari duduknya dan menyingkir dariku, ia menempelkan handphone di
telinganya. Aku buru-buru menghampirinya saat ia bilang “Hello”. Dengan cepat
aku merebut handphonenya dan ketika kulihat display handphonenya, ia sedang
tidak menelepon siapa-siapa. Wajahku merah padam, Sesaat kami hanya berdiri
berhadapan. Aku menggenggam handphonenya dengan tangan berkeringat. Aku menunduk,
dan saat aku mengangkat kepalaku aku langsung melihat cengiran Mark didepanku.
“You’re
trapped.” Katanya. “I’ll tell him anytime I want it.”
Aku
menghela nafas. Rasanya percuma berbohong lagi.
“Okay...alright...”
aku memegang kepalaku. “Alright Mark."
“So?” Tanya Mark.
Dengan berat
aku mengangguk.
Mark tersenyum,
mengambil handphonenya dari tanganku dan langsung mengantongkannya di kantung
celananya. Ia menatap wajahku yang sudah nggak jelas bentuknya.
“Begitu saja susah...Sedikit
lebih lega?” tanyanya.
“Lebih
lega dari yang kubayangkan...” aku mengaku.
Aku
benar-benar kalah.
Mark
benar. Selalu benar.
“I’m
sorry...” Kataku akhirnya.
Mark
mengacak-acak rambutku.
“Sebenarnya sih tidak apa-apa...” Mark tersenyum. “Kau akan tahu
semuanya nanti, kalau waktunya sudah tepat, akan kuberitahu sesuatu...”
Aku
menatapnya penasaran.
“Kau
mau kan menunggu Nicky?” tanyanya.
Aku
mendesah.
“Should
I?” tanyaku.
Mark
mengangguk, tersenyum.
“Aku pasti sudah gila...” Aku mendesah. “What if
I say yes?...”
“That’s
my Michelle.” Mark menonjok lenganku pelan. “I have to go home now.”
“Well...hmmm...hati-hati
Mark...”
Mark menuju pintu depan.
“Mark,
wait!” seruku.
“Th,
thank you...” aku menatapnya. “Thank you for everything.”
Mark
hanya menanggapiku dengan tersenyum singkat.
“See
you soon.” Ia membuka pintu apartemenku. Lalu ia keluar, aku menatap
punggungnya hingga ia berbalik dan menutup pintu. Ia berjalan menuju tempat
parkir mobilnya, ia masuk kedalam mobilnya dan tersenyum beberapa saat, menyandarkan
diri di jok lalu menghela nafas panjang.
“Aaaaah...selesai deh...” Katanya, lalu ia tertawa lepas didalam
mobilnya.
***
Nicky
membuka matanya, merasakan sinar matahari menembus jendela kamarnya. Ia
mengusap wajahnya.
“Gina?” Panggilnya pelan, menatap
kesamping. Kosong.
Ia
langsung duduk dan menatap sekeliling kamarnya.
“Gina?”
Panggilnya lagi. ia turun dari tempat tidurnya dan membuka kamar mandi. Tidak
ada tanda-tanda orang lain disana selain dirinya. Ia keluar dari kamarnya.
Benar-benar sunyi. Ia kembali ke kamarnya dan duduk ditempat tidurnya, bingung.
Ia merogoh kantung celananya dan mengambil handphonenya. Menatap display
handphonenya sesaat, lalu menelepon Georgina.
Tidak
aktif.
Ia
meletakkan handphonenya diatas tempat tidur. Lalu menangkap sesuatu yang
berkilau dengan matanya. Ia berjalan kearah meja dengan hati-hati dan melihat
sebuah cincin disana. Ia lansung mengecek jarinya. Cincin miliknya masih
terpasang di jari manisnya. Ia langsung menyadari itu cincin milik Georgina.
Ia menelepon Georgina lagi. Beberapa kali.
Nihil.
Nomornya benar-benar tidak aktif. Ia langsung mengambil jaketnya dan berjalan
keluar, menuju mobilnya. ia menyetir mobilnya dengan cepat ke apartemen
Georgina. Ditengah lampu merah, ia menelepon sekali lagi. Tetap tidak aktif. Ia
meletakkan handphonenya di dashboard.
Apartemen Georgina adalah apartemen terbesar dikawasannya. Ia membeli
apartemen itu agar lebih dekat dari tempat kerjanya. Nicky menaiki tangga
darurat. Tentu saja baginya bukan waktu yang tepat untuk berdiri didalam benda
mengerikan yang tertutup rapat hingga lantai 20. Ia menyusuri koridor, berdiri
didepan pintu apartemen Georgina dan mengebel. Tidak ada suara apapun. Ia mulai
mengetuk pintu berkali-kali. Tidak ada jawaban. Ia buru-buru merogoh kantung
jaketnya dan menemukan kunci pintu cadangan Georgina. Ia membuka pintu dan
langsung masuk kedalam.
“Gina?
Are you here?” Panggilnya, berjalan kearah ruang tengah, ke kamar, kamar mandi,
dapur, tapi Georgina sama sekali tidak ada. Ia mulai panik.
“Gina!
Can you hear me?!” Ujarnya. Ia menatap kekanan dan kiri. Tapi kosong. Ia
membuka lemari baju Georgina, bahkan lemarinya kosong.
“Oh God
what happened...” Wajah Nicky pucat.
“Kriiiiiiiiiiiiiiing!”
Nicky
terkejut mendengar telepon di kamar Georgina berbunyi. Pada dering ketiga
akhirnya ia mendekati sumber suara. Dengan ragu ia memutuskan duduk di tempat
tidur dan meraih pesawat telepon.
“Hello?”
“Ah,
you’re there...” Suara Georgina. Nicky langsung menghembuskan nafas lega.
“Gina
what happened? Where are you? What’s going on? Wh...”
“I
called you...” Kata Georgina. “Tapi sibuk terus. Did you call my handphone
number?”
“Yeah I
called you many times...”
“Handphoneku
mati. I called your apartment number but you didn’t answer. Then I guess you’re
in my apartment.”
“Gina,
tell me what happened. Where are you?”
“Should
I?” Georgina tertawa. “I’m in airport, I just wanna say goodbye. It’s too weird
if I don’t tell you anything. I’m leaving.”
Nicky
tercekat.
“Your
ring...”
“I
guess I don’t need it anymore, Nicky...” Kata Georgina. “Because we’re over
now.”
“What?”
“You’re
too stupid. It’s impossible for me to stay in this relationship. You love
someone else...” Suara Georgina terdengar ringan.
Nicky
tidak bisa berkata apa-apa.
“Aku
lega...” Ucap Georgina. “Sekarang aku sudah tahu semuanya. Apa yang ada
dihatimu, diotakmu, semuanya penuh oleh gadis berambut light brown itu. Bahkan
sejak bertahun-tahun lalu. I was afraid, for years...but now I’m relieved...Kau
bodoh sekali tetap mempertahankan hubungan kita bahkan sampai bertunangan.”
Nicky
menggigit bibirnya. Ia selalu menunggu waktu yang tepat untuk berkata jujur
pada Georgina, tapi ia akhirnya berpikir tidak akan ada waktu yang tepat. Ia tidak
mau melihat Georgina menangis karena dirinya. Tapi sekarang, mendengar suara
ringan Georgina diseberang sana membuatnya jauh lebih lega. Dan ia berpikir
mungkin ada saat tepat yang selama ini ia tunggu. Saat yang tepat itu adalah
sekarang. Ia memejamkan mata sejenak dan akhirnya memutuskan untuk bicara.
“I...I’m really sorry, Gina...” Kata
Nicky. “I’ve tried my best. I’ve tried so hard to love you until the end...”
“You didn’t love me. From the start...”
Kata Georgina. “Right?”
Nicky
memejamkan mata lagi. Rasa bersalah membebani punggungnya.
“I love
you Nicky...” Ucap Georgina. “It’s hard for me to leave you. But it’s harder to
see you like this. You’re not happy when you’re with me. Follow your way. Your
own way...”
“Thank
you Gina...” Gumam Nicky dengan suara berat. “Thank you so much...thank you so
much....thank you so much, Gina...”
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar