Ketika aku sampai dirumahku, jam tanganku sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Aku membuka gerbang rumahku dengan tubuh kedinginan. Baru kusadari sebentar lagi salju akan mulai turun di irlandia. Aku cepat-cepat menutup gerbang, tidak sabar ingin meminum secangkir besar coklat panas. tapi bukannya masuk kedalam rumah, aku malah terpaku dengan tubuh yang makin membeku menatap ke teras rumahku.
Nicky
duduk didepan pintu masuk rumahku, tertidur disana.
“My
Goodness...Nicky what are you doing here?” aku menyentuh pipinya yang dingin.
“Ng?”
ia membuka matanya. Menatapku sejenak dengan muka bingung. “Hmmm...I’m waiting
for you. Aku ketuk-ketuk pintunya tapi tidak ada jawaban. Jadi aku duduk disini
saja menunggu siapapun yang datang...dan malah ketiduran.”
“It’s
so cold outside! My parents went to coleraine and they’ll come back tomorrow.
I’m alone here.” Aku merogoh tasku, mengambil kunci pintu. “Kenapa kau nggak
pulang saja?”
“Where
have you been?” Nicky balik bertanya, tidak menjawab pertanyaanku.
“Hmmm...book store?” Aku membuka pintu. “Let’s come in. It’s so cold...”
“And
where’s your book?” ia mengangkat alis, tidak bergerak sedikitpun.
Aku
menghela nafas, merapatkan mantelku, lalu menatap wajahnya.
“I met
Mark.” Kataku jujur, masuk kedalam rumah. Nicky langsung berdiri dan
mengikutiku masuk, aku menutup pintu.
“And
you didn’t say anything to me?” Wajah Nicky menegang.
“Come
on Nicky, it’s just Mark!” Aku menatapnya.
“But
you’re my girlfriend.” Suaranya terdengar tenang, tapi ada kecemburuan terselip
didalamnya. Aku merasa aneh dengan sebutan itu, seketika wajahku bersemu merah.
“I called you but you didn’t answer. I just wanna know where did you go.”
Aku
mengambil handphoneku dan melihat ada tiga missed call dari Nicky. Aku lupa
dari tadi aku mengaktifkan menu silent di handphoneku. Yang artinya, aku sama
sekali tidak dengar Nicky meneleponku.
“I’m
sorry...” Kataku menyesal.
“It’s
okay...” ia menggenggam tanganku. “Aku tidak mau jadi orang egois yang
marah-marah hanya karena kau bertemu dengan sahabatku, aku juga tidak mau jadi
orang menyebalkan yang menerormu kemanapun kau pergi. Aku cuma khawatir kenapa
kau tidak mengangkat teleponku. Selama ini aku selalu jadi orang egois yang
menyebalkan. Aku tidak mau stuck pada keburukan itu.”
“Nicky
sssshhh...” bisikku, tersenyum. “Aku tidak menganggap itu menyebalkan. Aku
tersanjung kau khawatir padaku padahal umurku sudah bisa dibilang dewasa. Aku
merasa kembali muda.” Aku sengaja menyelipkan sedikit joke, ia tersenyum geli.
Aku
naik ke lantai atas dan masuk ke kamarku untuk mengambil selimut, lalu turun
lagi dan menyerahkan selimut itu pada Nicky. Ia menerimanya dan duduk di sofa
ruang tamu. Aku menyalakan pemanas ruangan.
“How’s
Georgina? Is she okay?” aku duduk disebelahnya.
“She’s
good.” Jawabnya. “She’ll come back to ireland soon. She doesn’t want to tell me
where she is now. Sepertinya dia dapat kenalan disana. Tapi dia bilang dia
belum mau punya pacar lagi. dia bilang setidaknya kalau punya pacar, dia ingin
mencari cowok yang tidak takut naik lift, dan aku tersanjung.”
Tawaku
meledak.
“Yeah,
yeah...hahahaha!” tawaku. “That’s a great choice.”
“And
are you ready?” Nicky menatapku. “To announce our relationship to the
public...”
Aku
menggeleng.
“It’s
fucking hard. Everybody will hate me...” Kataku. “Aku pikir aku tidak akan
diterima oleh fansmu. Dan fans Mark akan setengah mati membenciku. Semuanya
akan beranggapan kau sinting karena meninggalkan Georgina dan memilihku.
Segalanya sulit...dan aku sama sekali tidak siap...”
“Michelle...I love you.” Ia menatapku lekat-lekat. “So everything’s
gonna be alright. I promise it won’t be happen.”
“I love
you too.” Ucapku mati-matian dengan wajah panas. aku memejamkan mataku saat ia
mencium dahiku. Kurasa jantungku akan meledak kalau aku tidak cepat-cepat
menyingkir. Aku mendorongnya dan bangkit dari dudukku. “I’ll cook something for
us.”
Aku
berjalan cepat kearah dapur. Ia menciumku dua kali. Dan itu membuatku gila.
Walaupun ciuman keduanya hanya pada dahiku, tapi kurasa aku akan sinting karena
terlalu bahagia. Aku bahkan hampir saja meletakkan cangkir diatas kompor. Aku
mulai memasak tanpa berani menatap wajahnya lagi, karena kalau aku menatap
wajahnya, aku pasti akan melakukan hal bodoh seperti merebus air diatas
penggorengan.
***
Begitu
membuka mataku, aku merasa agak gerah.
Kemudian kusadari aku memakai dua lapis selimut hingga menutupi kepalaku
dan menyalakan pemanas ruangan. Aku menyingkap dua lapis selimut itu dan
mengelap keringatku dengan sebelah tangan. Kulirik jam weker terkutuk itu, jam
dua pagi. Ya, waktu yang “tepat” untuk bangun dalam keadaan gerah.
Tentu
saja, ketika aku terbangun hal yang pertama kupikirkan adalah Nicky. Aku
mengingat kami duduk berdua di meja makan tanpa siapapun yang bisa mengganggu.
Dering telepon sekalipun. Memakan telur ceplok gagalku dengan perasaan yang
hangat, tertawa-tawa seakan-akan tidak akan ada penderitaan yang bisa mengusik
kami. Aku ingat saat ia pamit diambang pintu rumahku dengan suara husky yang
kusukai, dengan senyum hangat yang tidak pernah bosan kupandangi. Aku yakin
tidak ada yang bisa membuatku lebih bahagia dari ini. aku berani bersumpah.
Aku
tahu disaat perasaanku keterlaluan hangat begini, apa yang ingin kulakukan
sekarang. Aku tahu betul. Aku ingin menulis, melanjutkan novel keduaku yang
sempat terbengkalai. Aku meraih saklar lampu dan mencari-cari laptopku. Hampir
sepuluh menit aku mencari-cari dengan hasil nihil. Aku panik ketika menyadari
laptopku hilang. Sedetik kemudian, aku menepuk dahiku. Laptop itu pasti masih
kutinggal dibawah.
Dengan
langkah teratur, aku menuruni tangga kayu dan buru-buru mencari laptop itu
dengan kedua bolamataku. Benar saja, laptop itu tergeletak diatas meja didepan
sofa tempatku dan Nicky duduk tadi. Aku meraihnya dan kembali keatas. Mataku
sebenarnya masih perih karena baru bagun tidur, tapi itu tentu saja bukan
masalah. Aku tetap bisa mengetik walaupun barusan aku salah memencet folder.
Aku membuka folder yang sudah lama sekali tidak kubuka. Kubaca judul
satu-satunya file yang ada didalam folder itu. “A letter for my Lighthouse”
Surat
bodoh yang kutulis pada masa-masa patah hatiku. Merasa tergoda, aku membuka
file itu dan membaca surat bodoh itu, tersenyum geli, berpikir begitu
melankolisnya aku saat itu. Aku terpaku saat selesai membaca kalimat terakhir
pada surat itu, merasa sangat janggal. Halaman pada file ini masih ada selembar
lagi. padahal suratnya sudah selesai. Aku menggerakkan kursor kebawah dan
menemukan sesuatu yang mengejutkan. Aku menemukan satu halaman yang penuh
dengan tulisan asing. Aku tidak ingat pernah menulis ini. kubaca tulisan itu
dengan bingung.
“For Michelle, from your lighthouse.
Wow, entah aku ini kurang puitis atau
apa. Aku suka sekali panggilan rahasiamu padaku. Maaf kalau aku lancang, atau
mungkin kelewatan lancang membuka-buka file pada laptopmu. Tapi aku yakin kau
memaafkanku. Setidaknya sekarang aku yakin. Entah kalau besok.
Lighthouse...panggilan yang nyaris membuatku gila.
Michelle, kau pasti tidak percaya aku
nyaris menangis membaca surat yang kau tulis diam-diam itu. Kau sangat keliru
jika kau bilang aku akan melupakan pertemuan pertama kita. Aku bahkan masih
ingat tiap detik dari saat istimewa itu. Saat kita tabrakan dan itu
menjengkelkan. Terus terang saja. Sepeda kebanggaanku tergores karena kejadian
itu. Lalu, aku ingat ketika aku bangkit dan berdiri, yang pertama kulihat
adalah rambut paling berantakan yang pernah kulihat seumur hidupku. Ehm,
kecuali rambut gelandangan yang kutemui baru-baru ini di Dublin.
Jengkel, itu hal pertama yang kurasakan.
Lalu kemudian, rasa bersalah. Sudah membuat wanita berantakan itu luka-luka di
lututnya. Berikutnya, aku merasakan sesuatu yang
bahkan aku tidak tahu namanya. Hangat, bukan pada tubuhku. Tapi jauh didalam
dadaku. Cinta? Kurasa aku sinting kalau menyebutnya cinta. Karena sosok yang
kulihat itu benar-benar hancur sampai susah disebut sebagai wanita. Aku berusaha
memahaminya. Kutatap wajahmu yang luar biasa dongkol saat itu. Aku mungkin
tidak bisa menyebutnya cantik. Tapi hangat, familiar, seperti bagian puzzle
dihatiku yang hilang, kemudian kutemukan lagi. dan aku setuju dengan hati dan
otakku bahwa aku resmi bisa disebut sinting mulai detik itu. Aku mencintaimu.
Ya, bahkan pada pertemuan pertama kita.
Kau ingat lagu yang kunyanyikan dibawah
balkonmu? Puzzle of my heart. Lagu dari coast to coast yang sangat cocok untuk
mendeskripsikan dirimu. Kau bagian dari diriku yang hilang. Aku bahagia bisa
menemukan bagian penting itu lagi kedalam pelukanku. Tapi setelah hari
pertemuan yang luar biasa itu, aku sadar aku memiliki Georgina. Wanita yang
bahkan bisa disebut sempurna, diluar topik bahwa tidak ada yang sempurna
didunia ini. sejak
hari itu, hatiku adalah bagian diriku yang paling kubenci. Aku benci jatuh
cinta padamu. Aku benci karena aku tidak bisa mencintai Gina walau berusaha
sekeras apapun. Rasa benci itu, yang membuatku bisa menyembunyikan perasaanku padamu.
Tak kubiarkan sedikit saja tatapanku ditebak oleh siapapun. Walaupun aku
menatapmu dengan perasaan manis sekaligus pahit, tidak akan ada yang bisa
menyebutnya cinta. Tidak, kecuali diriku sendiri.
Tapi kemudian, kusadari ternyata aku
salah. Serapat apapun rahasiaku, pasti akan terbongkar juga. Gina menyadarinya,
kemudian Mark, aku tahu mereka sadar. Walaupun aku terus mengendalikan diriku
yang penuh dusta tanpa mempedulikan mereka yang telah membongkar rahasiaku.
Mungkin kau ingat hari pertama kau berubah. Rambutmu terlihat halus, aku bisa
gila karena keinginanku untuk menyentuhnya. Seragammu rapi, baumu berbeda.
Sedikit lebih baik. Kau cantik. Dan malam itu aku tidak bisa tidur sama sekali.
Memikirkan setiap jengkal perubahanmu yang sangat mencolok. Aku tahu, aku makin
mencintaimu. Aku tahu, aku semakin membenci hatiku. Perasaan bersalahku pada
Gina bertambah. Aku tidak mau melihatnya menangis. Tidak sekalipun. Aku sangat
menyayanginya. Untuk alasan simple itu, aku bersumpah tidak akan meninggalkannya.
Selamanya.
Tapi aku keliru. Melihatmu menjalin
hubungan dengan Mark menyiksaku. Sakitnya bahkan tidak bisa kugambarkan. Aku
tahu aku brengsek. Tapi pertarungan sengit didalam hatiku tidak bisa
dihentikan. Aku tidak sanggup meninggalkan Gina. Tapi aku juga tidak sanggup
melihatmu bersama Mark. Aku adalah manusia yang bertengkar dengan hatiku
sendiri. Rasanya sakit, hingga aku bisa mengungkapkan perasaanku padamu.
aku sangat berterimakasih pada
Gina. sampai rasanya seumur hidup pun aku tidak akan bisa cukup mengucapkan
terima kasih padanya.
Rasanya, balasan surat yang kutulis ini
harus dihentikan. Kalau kau penasaran kapan aku menulis ini, akan kuberitahu
rahasianya. Aku menulis ini saat kau sedang memasak didapur dengan bau yang
tidak karuan. Aku tidak pernah melihat orang memasak telur ceplok segini
lamanya. Oh, aku mendengar kau mematikan kompor. Itu artinya, aku harus
selesai. Terima kasih sudah membaca ini. aku mencintaimu.
Nicky x”
***
Dari semua kesialan-kesialan yang pernah
Nicky buat, ia tidak pernah se- “sialan” ini. sialan dalam arti yang berbeda.
Setelah membaca suratnya, aku tidak tidur sama sekali. Aku tersenyum-senyum
sambil menangis sesenggukan. Seperti pasien rumah sakit jiwa yang sudah sakit
jiwa akut. Aku tidak menulis satu hurufpun. Aku tidak jadi melanjutkan novelku.
Ide cemerlangku buyar sama sekali. Aku membaca surat itu berkali-kali sampai
tertidur dengan mata sembab.
“Michelle?”
Aku membuka
mataku lebar-lebar. Duduk dengan terkantuk-kantuk. Hasil dari tidak tidurnya
aku, aku nyaris tertidur di cafe tempatku dan editorku bertemu. Bahkan disaat
editorku sedang berorasi. Kalau aku masih sekolah, aku pasti sudah disetrap.
“Yeah
Clark?” aku menguap.
“Aku mohon katakan padaku kalau kau sedang
memberiku lelucon. Terlalu kurang ajar kalau kau tertidur saat aku bicara.”
Kata editorku.
“Maaf,
aku mungkin kurang ajar sejak lahir...” kataku.
Editorku bernama Clark Aiber. Aku bertemu dengannya sebelum novel
pertamaku terbit. Ia adalah salah satu murid kesayangan Mum. Aku yakin aku
belum cerita. Ya, Mum memang mantan guru. Dan Clark dengan senang hati menjadi
editor putri dari guru kesayangannya. Clark berambut hitam dan wajahnya agak
asia. Warna matanya gelap, tapi aku bersumpah dia tampan, dan tentu saja sudah
punya pacar. Kami sering bicara di SMS walaupun hanya bertemu sekali-sekali.
Aku suka sekali konsultasi dengannya. Masalah tulisanku, tentu saja. Dan kali
ini dia gemas karena novel keduaku bergerak luar biasa lamban.
“Okay,
sekarang buka matamu.” Katanya tegas.
“Aku
yakin matamu tidak kenapa-kenapa Clark. Aku sudah membuka mataku daritadi.”
Kataku membela diri. Clark mendesah, aku yakin ia ingin sekali menyiramku
dengan lemonade dihadapannya.
“Michelle,
mungkin menyebalkan mengatakan ini, tapi, harus kukatakan. Kau punya banyak
fans. Walaupun bukan fans yang akan fangirling didepan mukamu saat bertemu.
Fans yang menyukai tulisanmu. Oh, aku selalu bermimpi punya fans. Kau sudah
mendapatkannya. Cepat selesaikan novelmu sebelum fansmu mati karena kelamaan
menunggu!”
“Aku
fansmu Clark.” Kataku.
“Trims...” Ucapnya dengan nada pahit.
“Maafkan aku. Setelah ini aku akan mati-matian didepan laptopku. Dunia ini
terlalu asyik untuk malas-malasan.” Aku tertawa, lalu kulihat wajah Clark
sperti ingin menerkamku. “Bercanda, aku bercanda. Aku bukannya malas. Tapi
waktu dan tempat selalu tidak mengizinkanku.”
“Okay,
kusimpulkan kau terlalu banyak pacaran dengan penyanyi bernama Mark itu.” Kata
Clark.
“Nicky.” Koreksiku.
“Aku
nggak yakin dia sudah berubah nama.” Clark mengangkat alis.
“Aku
sudah putus dengan Mark, pacarku sekarang Nicky Byrne.” Kataku.
“Lucu
sekali. Mungkin setelah ini kau akan pacaran dengan Brian McFadden?”
“Mungkin saja.” Kataku bercanda.
Clark
mengerang.
“Cukup
bercandanya, Michelle.” Ia menggeleng.
“Aku
tidak bercanda, aku benar-benar pacaran dengan Nicky.” Aku meminum kopi
panasku. “Khusus untukmu, aku sangat jujur.”
“Okay,
mungkin kau terlalu banyak pacaran dengan Micky itu...”
“Nicky...”
“Terserah.” Ia mendesah. “Aku minta kau serius pada profesimu ini.”
“Hmmmm.
Okay?” aku tersenyum.
“Bagus...kutunggu naskahmu.” Clark balas tersenyum.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar