Sabtu, 14 Juli 2012

The Blue Eyes of the Lighthouse (part 11)

       
       Ketika aku sampai dirumahku, jam tanganku sudah menunjukkan  pukul tujuh malam. Aku membuka gerbang rumahku dengan tubuh kedinginan. Baru kusadari sebentar lagi salju akan mulai turun di irlandia. Aku cepat-cepat menutup gerbang, tidak sabar ingin meminum secangkir besar coklat panas. tapi bukannya masuk kedalam rumah, aku malah terpaku dengan tubuh yang makin membeku menatap ke teras rumahku.
       Nicky duduk didepan pintu masuk rumahku, tertidur disana.
       “My Goodness...Nicky what are you doing here?” aku menyentuh pipinya yang dingin.
       “Ng?” ia membuka matanya. Menatapku sejenak dengan muka bingung. “Hmmm...I’m waiting for you. Aku ketuk-ketuk pintunya tapi tidak ada jawaban. Jadi aku duduk disini saja menunggu siapapun yang datang...dan malah ketiduran.”
       “It’s so cold outside! My parents went to coleraine and they’ll come back tomorrow. I’m alone here.” Aku merogoh tasku, mengambil kunci pintu. “Kenapa kau nggak pulang saja?”
       “Where have you been?” Nicky balik bertanya, tidak menjawab pertanyaanku.
       “Hmmm...book store?” Aku membuka pintu. “Let’s come in. It’s so cold...”
       “And where’s your book?” ia mengangkat alis, tidak bergerak sedikitpun.
       Aku menghela nafas, merapatkan mantelku, lalu menatap wajahnya.
       “I met Mark.” Kataku jujur, masuk kedalam rumah. Nicky langsung berdiri dan mengikutiku masuk, aku menutup pintu.
       “And you didn’t say anything to me?” Wajah Nicky menegang.
       “Come on Nicky, it’s just Mark!” Aku menatapnya.
       “But you’re my girlfriend.” Suaranya terdengar tenang, tapi ada kecemburuan terselip didalamnya. Aku merasa aneh dengan sebutan itu, seketika wajahku bersemu merah. “I called you but you didn’t answer. I just wanna know where did you go.”
       Aku mengambil handphoneku dan melihat ada tiga missed call dari Nicky. Aku lupa dari tadi aku mengaktifkan menu silent di handphoneku. Yang artinya, aku sama sekali tidak dengar Nicky meneleponku.
       “I’m sorry...” Kataku menyesal.
       “It’s okay...” ia menggenggam tanganku. “Aku tidak mau jadi orang egois yang marah-marah hanya karena kau bertemu dengan sahabatku, aku juga tidak mau jadi orang menyebalkan yang menerormu kemanapun kau pergi. Aku cuma khawatir kenapa kau tidak mengangkat teleponku. Selama ini aku selalu jadi orang egois yang menyebalkan. Aku tidak mau stuck pada keburukan itu.”
       “Nicky sssshhh...” bisikku, tersenyum. “Aku tidak menganggap itu menyebalkan. Aku tersanjung kau khawatir padaku padahal umurku sudah bisa dibilang dewasa. Aku merasa kembali muda.” Aku sengaja menyelipkan sedikit joke, ia tersenyum geli.
       Aku naik ke lantai atas dan masuk ke kamarku untuk mengambil selimut, lalu turun lagi dan menyerahkan selimut itu pada Nicky. Ia menerimanya dan duduk di sofa ruang tamu. Aku menyalakan pemanas ruangan.
       “How’s Georgina? Is she okay?” aku duduk disebelahnya.
       “She’s good.” Jawabnya. “She’ll come back to ireland soon. She doesn’t want to tell me where she is now. Sepertinya dia dapat kenalan disana. Tapi dia bilang dia belum mau punya pacar lagi. dia bilang setidaknya kalau punya pacar, dia ingin mencari cowok yang tidak takut naik lift, dan aku tersanjung.”
       Tawaku meledak.
       “Yeah, yeah...hahahaha!” tawaku. “That’s a great choice.”
       “And are you ready?” Nicky menatapku. “To announce our relationship to the public...”
       Aku menggeleng.
      “It’s fucking hard. Everybody will hate me...” Kataku. “Aku pikir aku tidak akan diterima oleh fansmu. Dan fans Mark akan setengah mati membenciku. Semuanya akan beranggapan kau sinting karena meninggalkan Georgina dan memilihku. Segalanya sulit...dan aku sama sekali tidak siap...”
       “Michelle...I love you.” Ia menatapku lekat-lekat. “So everything’s gonna be alright. I promise it won’t be happen.”
       “I love you too.” Ucapku mati-matian dengan wajah panas. aku memejamkan mataku saat ia mencium dahiku. Kurasa jantungku akan meledak kalau aku tidak cepat-cepat menyingkir. Aku mendorongnya dan bangkit dari dudukku. “I’ll cook something for us.”
       Aku berjalan cepat kearah dapur. Ia menciumku dua kali. Dan itu membuatku gila. Walaupun ciuman keduanya hanya pada dahiku, tapi kurasa aku akan sinting karena terlalu bahagia. Aku bahkan hampir saja meletakkan cangkir diatas kompor. Aku mulai memasak tanpa berani menatap wajahnya lagi, karena kalau aku menatap wajahnya, aku pasti akan melakukan hal bodoh seperti merebus air diatas penggorengan.

***
      
       Begitu membuka mataku, aku merasa agak gerah.
       Kemudian kusadari aku memakai dua lapis selimut hingga menutupi kepalaku dan menyalakan pemanas ruangan. Aku menyingkap dua lapis selimut itu dan mengelap keringatku dengan sebelah tangan. Kulirik jam weker terkutuk itu, jam dua pagi. Ya, waktu yang “tepat” untuk bangun dalam keadaan gerah.
       Tentu saja, ketika aku terbangun hal yang pertama kupikirkan adalah Nicky. Aku mengingat kami duduk berdua di meja makan tanpa siapapun yang bisa mengganggu. Dering telepon sekalipun. Memakan telur ceplok gagalku dengan perasaan yang hangat, tertawa-tawa seakan-akan tidak akan ada penderitaan yang bisa mengusik kami. Aku ingat saat ia pamit diambang pintu rumahku dengan suara husky yang kusukai, dengan senyum hangat yang tidak pernah bosan kupandangi. Aku yakin tidak ada yang bisa membuatku lebih bahagia dari ini. aku berani bersumpah.
       Aku tahu disaat perasaanku keterlaluan hangat begini, apa yang ingin kulakukan sekarang. Aku tahu betul. Aku ingin menulis, melanjutkan novel keduaku yang sempat terbengkalai. Aku meraih saklar lampu dan mencari-cari laptopku. Hampir sepuluh menit aku mencari-cari dengan hasil nihil. Aku panik ketika menyadari laptopku hilang. Sedetik kemudian, aku menepuk dahiku. Laptop itu pasti masih kutinggal dibawah.
       Dengan langkah teratur, aku menuruni tangga kayu dan buru-buru mencari laptop itu dengan kedua bolamataku. Benar saja, laptop itu tergeletak diatas meja didepan sofa tempatku dan Nicky duduk tadi. Aku meraihnya dan kembali keatas. Mataku sebenarnya masih perih karena baru bagun tidur, tapi itu tentu saja bukan masalah. Aku tetap bisa mengetik walaupun barusan aku salah memencet folder. Aku membuka folder yang sudah lama sekali tidak kubuka. Kubaca judul satu-satunya file yang ada didalam folder itu. “A letter for my Lighthouse”
       Surat bodoh yang kutulis pada masa-masa patah hatiku. Merasa tergoda, aku membuka file itu dan membaca surat bodoh itu, tersenyum geli, berpikir begitu melankolisnya aku saat itu. Aku terpaku saat selesai membaca kalimat terakhir pada surat itu, merasa sangat janggal. Halaman pada file ini masih ada selembar lagi. padahal suratnya sudah selesai. Aku menggerakkan kursor kebawah dan menemukan sesuatu yang mengejutkan. Aku menemukan satu halaman yang penuh dengan tulisan asing. Aku tidak ingat pernah menulis ini. kubaca tulisan itu dengan bingung.
       “For Michelle, from your lighthouse.
       Wow, entah aku ini kurang puitis atau apa. Aku suka sekali panggilan rahasiamu padaku. Maaf kalau aku lancang, atau mungkin kelewatan lancang membuka-buka file pada laptopmu. Tapi aku yakin kau memaafkanku. Setidaknya sekarang aku yakin. Entah kalau besok. Lighthouse...panggilan yang nyaris membuatku gila.
       Michelle, kau pasti tidak percaya aku nyaris menangis membaca surat yang kau tulis diam-diam itu. Kau sangat keliru jika kau bilang aku akan melupakan pertemuan pertama kita. Aku bahkan masih ingat tiap detik dari saat istimewa itu. Saat kita tabrakan dan itu menjengkelkan. Terus terang saja. Sepeda kebanggaanku tergores karena kejadian itu. Lalu, aku ingat ketika aku bangkit dan berdiri, yang pertama kulihat adalah rambut paling berantakan yang pernah kulihat seumur hidupku. Ehm, kecuali rambut gelandangan yang kutemui baru-baru ini di Dublin.
       Jengkel, itu hal pertama yang kurasakan. Lalu kemudian, rasa bersalah. Sudah membuat wanita berantakan itu luka-luka di lututnya.  Berikutnya, aku merasakan sesuatu yang bahkan aku tidak tahu namanya. Hangat, bukan pada tubuhku. Tapi jauh didalam dadaku. Cinta? Kurasa aku sinting kalau menyebutnya cinta. Karena sosok yang kulihat itu benar-benar hancur sampai susah disebut sebagai wanita. Aku berusaha memahaminya. Kutatap wajahmu yang luar biasa dongkol saat itu. Aku mungkin tidak bisa menyebutnya cantik. Tapi hangat, familiar, seperti bagian puzzle dihatiku yang hilang, kemudian kutemukan lagi. dan aku setuju dengan hati dan otakku bahwa aku resmi bisa disebut sinting mulai detik itu. Aku mencintaimu. Ya, bahkan pada pertemuan pertama kita.
       Kau ingat lagu yang kunyanyikan dibawah balkonmu? Puzzle of my heart. Lagu dari coast to coast yang sangat cocok untuk mendeskripsikan dirimu. Kau bagian dari diriku yang hilang. Aku bahagia bisa menemukan bagian penting itu lagi kedalam pelukanku. Tapi setelah hari pertemuan yang luar biasa itu, aku sadar aku memiliki Georgina. Wanita yang bahkan bisa disebut sempurna, diluar topik bahwa tidak ada yang sempurna didunia ini. sejak hari itu, hatiku adalah bagian diriku yang paling kubenci. Aku benci jatuh cinta padamu. Aku benci karena aku tidak bisa mencintai Gina walau berusaha sekeras apapun. Rasa benci itu, yang membuatku bisa menyembunyikan perasaanku padamu. Tak kubiarkan sedikit saja tatapanku ditebak oleh siapapun. Walaupun aku menatapmu dengan perasaan manis sekaligus pahit, tidak akan ada yang bisa menyebutnya cinta. Tidak, kecuali diriku sendiri.
       Tapi kemudian, kusadari ternyata aku salah. Serapat apapun rahasiaku, pasti akan terbongkar juga. Gina menyadarinya, kemudian Mark, aku tahu mereka sadar. Walaupun aku terus mengendalikan diriku yang penuh dusta tanpa mempedulikan mereka yang telah membongkar rahasiaku. Mungkin kau ingat hari pertama kau berubah. Rambutmu terlihat halus, aku bisa gila karena keinginanku untuk menyentuhnya. Seragammu rapi, baumu berbeda. Sedikit lebih baik. Kau cantik. Dan malam itu aku tidak bisa tidur sama sekali. Memikirkan setiap jengkal perubahanmu yang sangat mencolok. Aku tahu, aku makin mencintaimu. Aku tahu, aku semakin membenci hatiku. Perasaan bersalahku pada Gina bertambah. Aku tidak mau melihatnya menangis. Tidak sekalipun. Aku sangat menyayanginya. Untuk alasan simple itu, aku bersumpah tidak akan meninggalkannya. Selamanya.
       Tapi aku keliru. Melihatmu menjalin hubungan dengan Mark menyiksaku. Sakitnya bahkan tidak bisa kugambarkan. Aku tahu aku brengsek. Tapi pertarungan sengit didalam hatiku tidak bisa dihentikan. Aku tidak sanggup meninggalkan Gina. Tapi aku juga tidak sanggup melihatmu bersama Mark. Aku adalah manusia yang bertengkar dengan hatiku sendiri. Rasanya sakit, hingga aku bisa mengungkapkan perasaanku padamu. aku sangat berterimakasih pada Gina. sampai rasanya seumur hidup pun aku tidak akan bisa cukup mengucapkan terima kasih padanya.  
       Rasanya, balasan surat yang kutulis ini harus dihentikan. Kalau kau penasaran kapan aku menulis ini, akan kuberitahu rahasianya. Aku menulis ini saat kau sedang memasak didapur dengan bau yang tidak karuan. Aku tidak pernah melihat orang memasak telur ceplok segini lamanya. Oh, aku mendengar kau mematikan kompor. Itu artinya, aku harus selesai. Terima kasih sudah membaca ini. aku mencintaimu.
       Nicky x”
***
       Dari semua kesialan-kesialan yang pernah Nicky buat, ia tidak pernah se- “sialan” ini. sialan dalam arti yang berbeda. Setelah membaca suratnya, aku tidak tidur sama sekali. Aku tersenyum-senyum sambil menangis sesenggukan. Seperti pasien rumah sakit jiwa yang sudah sakit jiwa akut. Aku tidak menulis satu hurufpun. Aku tidak jadi melanjutkan novelku. Ide cemerlangku buyar sama sekali. Aku membaca surat itu berkali-kali sampai tertidur dengan mata sembab.
       “Michelle?”
       Aku membuka mataku lebar-lebar. Duduk dengan terkantuk-kantuk. Hasil dari tidak tidurnya aku, aku nyaris tertidur di cafe tempatku dan editorku bertemu. Bahkan disaat editorku sedang berorasi. Kalau aku masih sekolah, aku pasti sudah disetrap.
       “Yeah Clark?” aku menguap.
       “Aku mohon katakan padaku kalau kau sedang memberiku lelucon. Terlalu kurang ajar kalau kau tertidur saat aku bicara.” Kata editorku.
       “Maaf, aku mungkin kurang ajar sejak lahir...” kataku.
       Editorku bernama Clark Aiber. Aku bertemu dengannya sebelum novel pertamaku terbit. Ia adalah salah satu murid kesayangan Mum. Aku yakin aku belum cerita. Ya, Mum memang mantan guru. Dan Clark dengan senang hati menjadi editor putri dari guru kesayangannya. Clark berambut hitam dan wajahnya agak asia. Warna matanya gelap, tapi aku bersumpah dia tampan, dan tentu saja sudah punya pacar. Kami sering bicara di SMS walaupun hanya bertemu sekali-sekali. Aku suka sekali konsultasi dengannya. Masalah tulisanku, tentu saja. Dan kali ini dia gemas karena novel keduaku bergerak luar biasa lamban.
       “Okay, sekarang buka matamu.” Katanya tegas.
       “Aku yakin matamu tidak kenapa-kenapa Clark. Aku sudah membuka mataku daritadi.” Kataku membela diri. Clark mendesah, aku yakin ia ingin sekali menyiramku dengan lemonade dihadapannya.
       “Michelle, mungkin menyebalkan mengatakan ini, tapi, harus kukatakan. Kau punya banyak fans. Walaupun bukan fans yang akan fangirling didepan mukamu saat bertemu. Fans yang menyukai tulisanmu. Oh, aku selalu bermimpi punya fans. Kau sudah mendapatkannya. Cepat selesaikan novelmu sebelum fansmu mati karena kelamaan menunggu!”
       “Aku fansmu Clark.” Kataku.
       “Trims...” Ucapnya dengan nada pahit.
       “Maafkan aku. Setelah ini aku akan mati-matian didepan laptopku. Dunia ini terlalu asyik untuk malas-malasan.” Aku tertawa, lalu kulihat wajah Clark sperti ingin menerkamku. “Bercanda, aku bercanda. Aku bukannya malas. Tapi waktu dan tempat selalu tidak mengizinkanku.”
       “Okay, kusimpulkan kau terlalu banyak pacaran dengan penyanyi bernama Mark itu.” Kata Clark.
       “Nicky.” Koreksiku.
       “Aku nggak yakin dia sudah berubah nama.” Clark mengangkat alis.
       “Aku sudah putus dengan Mark, pacarku sekarang Nicky Byrne.” Kataku.
       “Lucu sekali. Mungkin setelah ini kau akan pacaran dengan Brian McFadden?”
       “Mungkin saja.” Kataku bercanda.
       Clark mengerang.
       “Cukup bercandanya, Michelle.” Ia menggeleng.
       “Aku tidak bercanda, aku benar-benar pacaran dengan Nicky.” Aku meminum kopi panasku. “Khusus untukmu, aku sangat jujur.”
       “Okay, mungkin kau terlalu banyak pacaran dengan Micky itu...”
       “Nicky...”
       “Terserah.” Ia mendesah. “Aku minta kau serius pada profesimu ini.”
       “Hmmmm. Okay?” aku tersenyum.
       “Bagus...kutunggu naskahmu.” Clark balas tersenyum.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar