Rabu, 11 Juli 2012

The Blue Eyes Of the Lighthouse (part 9)


       Jadi, setelah kira-kira setahun, hubunganku dengan Mark sekarang berakhir begitu saja. Padahal otakku sudah dipenuhi cerita-cerita dramatis bahwa Mark adalah malaikat yang turun dari langit untuk menyingkirkan Nicky dari hatiku. Aku bahkan sudah membayangkan suatu saat akan menikah dengan Mark dengan gaun putih berenda-renda. Otakku benar-benar tidak bisa berhenti berpikir terlalu jauh.
       Tidak ada lagi SMS selamat pagi dari Mark, panggilan mesra darinya, ajakan nge-date, atau bahkan kedatangannya ke apartemenku untuk sekedar bertemu. Dan itu semua hanya karena satu alasan bodoh. Aku tidak mengerti jalan pikiran Mark yang berpikir aku harus menunggu calon suami orang. Tapi diam-diam aku kagum padanya yang bisa menembus kedalam hatiku. Aku bertanya-tanya apa aku ini benar-benar mudah ditebak? Kalau begitu, apa Nicky sebenarnya sudah menyadari perasaanku?
       Aku sangat sayang pada Mark. Tidak ada laki-laki sebaik dia. Tapi tetap saja perasaanku pada si blonde sialan itu belum berubah. Bahkan sejak aku masih sekolah sampai sekarang. Aku disuruh Mark menunggu. Dia sudah gila. Dan aku juga sama gilanya, karena aku menyanggupi. Mungkin seumur hidupku harus mengejar bayangan semu, mengejar es ang sudah mencair, mengejar air yang sudah menguap, mengejar api yang telah padam. Mungkin seumur hidup aku harus sendirian saja.
      Didepan laptopku, sambil menulis novel keduaku, aku terus berpikir apa aku menyakiti Mark? Kalau memang aku menyakitinya, lebih baik siapapun yang berbaik hati membunuhku sekarang juga. Kalau benar aku menyakitinya, aku benar-benar membenci diriku sendiri. Semua ini hanya karena keegoisan dan harapan kosongku. Laki-laki sebaik Mark tidak pantas sakit hati hanya karena cewek hancur sepertiku.
       Yang jelas, sementara ini aku tidak boleh memberitahu Mum dan Darren tentang Mark. Atau aku akan digantung di tiang bendera Plunkit high school, atau mungkin diikat ditengah rel kereta, atau apapun itu, yang jelas pasti mengerikan. Aku hanya bisa berdoa agar gosip tidak cepat menyebar kemana-mana.
       Aku hampir melompat ketika melihat display handphoneku. Kupikir aku tidak akan pernah menerima SMS Mark lagi. tapi jelas-jelas terlihat nama “Mark” di inbox. Sms macam apa yang akan dikirimnya setelah kami putus? Jelas bukan ajakan bertemu atau hal sejenisnya. Dengan tidak sabar aku membaca SMS darinya.
       “Hari ini aku dapat kabar dari Nicky kalau dia jam tiga sore akan pergi ke pusat perbelanjaan didekat apartemenmu.”
       Aku bengong.
       SMS macam apa ini? Mark Feehily...kau tidak mungkin menyuruhku berbelanja bersama dengannya seperti sepasang suami istri yang sedang berbelanja popok bayinya kan? Lagipula mungkin saja ia pergi bersama Georgina. Tapi...memang aku ingin sekali bertemu dengannya. Aku ingin tahu kenapa malam itu ia langsung pulang tanpa permisi seperti orang yang sudah mabuk berat. Kulirik jam dindingku. Jam dua lebih.
       Jadi, setelah beberapa menit aku benar-benar mengganti bajuku dan pergi ke pusat perbelanjaan yang dimaksud oleh Mark. Aku sengaja menunduk sampai rambut menutupi wajahku saat berjalan disana. Orang-orang yang lewat melihat kearahku seakan-akan aku alien yang datang dari planet pluto. Aku benar-benar tidak mau tiba-tiba Nicky melihat wajahku. Aku tidak siap disapa olehnya. Aku duduk didepan supermarket dengan rambut masih menutupi wajahku. Menatap ke kiri dan kanan berusaha menemukan Nicky dengan kedua bolamataku.
       Lalu aku menemukannya, ya...tidak sulit mengenali rambut blondenya yang kusukai. Ia berjalan kearah supermarket dengan langkah agak pincang. Kenapa dia? Tapi selain itu, ia terlihat baik-baik saja. Wajahnya terlihat lebih ringan daripada hari-hari saat aku bertemu dengannya sebelumnya. Sorot matanya mempelihatkan segaris kebahagiaan. Tentu saja, sebentar lagi ia akan menikah. Tidak ada yang bisa membuatnya lebih bahagia.
       Diam-diam aku mengikutinya. Ya, oke, baiklah. Aku resmi menjadi penguntit sekarang. Sebenarnya bisa saja aku menyapanya dengan alasan tidak sengaja melihatnya saat berbelanja. Tapi rasa takut yang aneh menyelimutiku. Aku melihat ia mengambil beberapa snack dan minuman dengan senyum diwajahnya. Aku menatap setelan bajunya, kemeja dan jeans. Dandanan simple yang tetap membuatnya terlihat bersinar dimataku. Tanpa sadar aku mendekat, aku ingin melihat matanya.
       Sampai aku melihat matanya tiba-tiba melihat kearahku.
       Cukup sampai sini saja prestasiku sebagai penguntit.
       “Michelle?” Ia mengangkat alis.
       Aku takut untuk menjawab sapaannya. Bolamata birunya menatap lurus kearahku, suara huskynya terucap untukku. Tapi aku menyadari segala keindahan yang ada didepanku ini bukan milikku. Bayangkan saja...dengan hanya menyebut namaku saja, ia sudah membuatku jatuh cinta lagi. aku tidak mau tenggelam dalam kebahagiaan yang percuma, jadi aku berbalik badan dan berjalan menjauh darinya. Rupanya ketololanku benar-benar tidak bisa disembuhkan. Aku berjalan cepat melewati deretan makanan. Aku bisa mendengar langkah kaki dibelakangku. Ia mengikutiku. Aku panik, lalu mulai berlari.
       “Hey, Michelle!” Ujarnya, ikut berlari. “Kenapa kabur sih?! Michelle!”
       “I, I, I’m not Michelle, sorry sir!!” Aku berlari lebih cepat.
       “Kau ini kurang bodoh apa sih?!” Ujarnya lebih keras, sekarang ia hampir meraih lenganku. Iya, aku memang bodoh. Tapi memangnya kau pikir gara-gara siapa aku berhak menerima penghargaan sebagai orang terbodoh didunia hah?! Aku buru-buru menyingkir sebelum ia meraih lenganku.
       Tentu saja dengan kemampuanku berlari yang tidak lebih cepat dari siput, dan dengan kemampuannya yang bisa berlari sangat cepat, aku sama sekali bukan tandingannya. Ia menarik lenganku dan dengan spontan aku memekik kaget. Ia memegang kedua pundakku dan sekarang kami berhadapan. Ia menghela nafas lega.
       “Kenapa harus kejar-kejaran sih?!” Ujarnya kesal.
       “Dasar tolol! Aku tidak mau bertemu denganmu!!” Jeritku tidak sadar, menunduk, sebisa mungkin tidak menatap matanya. “Kau sadar nggak sih kau akan menikah?! Dan sadar nggak sih kalau aku ini pacar Mark?! Mark tidak suka kalau kau mendekatiku! Lagipula aku juga tidak mau membuat Mark marah lagi!!”
       Bicaraku benar-benar ngawur.
       Ia terdiam. Sama sekali tidak bersuara setelahnya. Ia melepas kedua pundakku. Dengan takut aku menatap wajahnya. Wajahnya yang tadi kulihat bahagia, berubah total menjadi suram. Ia menghela nafas dengan berat.
       “Siapa bilang aku akan menikah?” Tanyanya dengan suara sangat pelan.
       Aku tidak bergerak.
       “Dan maaf kalau kau tidak suka.” Katanya dengan sorot mata yang dikuat-kuatkan. “Maaf selalu menggangumu dengan Mark. Tapi itu semua karena aku...”
       Nicky berhenti bicara, aku masih diam saja. Ia menghela nafas. Sepertinya ia tidak bernat untuk melanjutkan kata-katanya. Seakan-akan kata-kata yang ingin ia ucapkan setelahnya sangat tabu untuk didengar olehku.
       “Maaf...bodoh sekali. Ternyata aku selalu membuat Mark marah? Sahabat macam apa aku ini.” Ia tertawa terpaksa. “Aku nggak akan mengganggu kalian lagi. bye...”
       Aku ingin menarik kata-kataku, tapi tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutku. Aku hanya bisa melihat punggung Nicky yang menjauh dariku. Apa yang kukatakan barusan? Kenapa aku tidak bisa mengendalikan kepanikanku sampai berkata seperti itu? Aku memukuli kepalaku sendiri menelan penyesalan atas perbuatanku sendiri. Lihat? Sekarang jarakku dan Nicky akan semakin menjauh.
       Handphoneku berbunyi.
       Dengan airmata yang masih membanjiri pipiku aku mengangkat telepon itu tanpa ragu. Suara Mum langsung terdengar lembut ditelingaku. Aku menangis makin kencang ketika aku berkata dengan cepat pada Mum.
       “Mum...aku ingin kembali ke Baldoyle...aku ingin bertemu denganmu. Aku akan pergi ke baldoyle besok pagi...”

***

       Udara Baldoyle yang tenang kembali membelai kulitku. Aku duduk diam diteras rumah kayuku. Aku merindukan rumah ini, aku merindukan Mum dan Dad. Aku merindukan bau khas didalam rumah ini. aku menghirup udara sebebas mungkin. Hari sudah sangat sore. aku tidak berhenti memikirkan ketololanku saat bertemu dengan Nicky tempo hari. Berhari-hari aku hanya mengurung diri di kamarku yang nyaman, menangis sepuasnya.
       Mum sudah tahu semuanya. Ternyata ia tidak tega memarahiku saat aku menceritakan semuanya. Bagaimana aku masih tidak bisa melupakan Nicky sampai sekarang, dan betapa aku merasa bersalah pada Mark. Mum memang yang terbaik. Jadi ia tahu kapan dirinya harus marah, dan kapan dirinya harus bersikap sebagai manusia paling lembut didunia ini.
       Aku menatap sepeda lamaku, tersenyum geli mengingat saat-saat aku menaiki sepeda itu dengan rambut yang tidak pernah disisir dan blazer yang tidak pernah dikancingkan. Aku menyentuh sepeda itu, menyentuh stangnya, menyentuh joknya, dan tiba-tiba aku ingin menaikinya lagi.
       Aku mengayuh sepeda itu keluar rumah. Menyusuri jalanan Baldoyle dengan angin semilir menyertaiku, membelai helai-helai rambutku, menerpa wajahku dengan hawa dingin yang familiar. Cukup lama aku mengayuh sepedaku, kemudian aku membelokkannya ke tikungan. Tikungan waktu itu, tikungan yang mengubah hidupku sampai sekarang, tikungan yang membuatku bertemu dengannya.
       Aku menarik rem.
       Aku tidak bisa mempercayai mataku. Ia ada disana, juga dengan sepedanya. Sepeda yang dulu menabrak sepedaku. Deja vu yang begitu jelas. Tapi kali ini kami tidak tabrakan. Kami berpapasan dengan sepeda yang direm lebih dulu. Terlalu aneh bahkan untuk disebut keajaiban. Aku panik, salah tingkah, merasa tidak sanggup melihat wajahnya setelah apa yang kukatakan padanya. tapi ia justru tersenyum dan menyapaku.
       “Hai...” Sapanya.     
       Hening. 
       Michelle...bicaralah...Batinku pada diriku sendiri.
       “Nicky...” Aku tidak boleh jadi pengecut. “Maaf waktu itu...aku tidak bermaksud membentakmu...”
       “Nggak usah dipikirkan.” Nicky menggeleng.
       “Aku bohong kok...” Aku memutuskan jujur. “Mark tidak pernah marah kalau kau dekat denganku. Aku cuma mengarang...aku cuma tidak ingin mengganggu hubunganmu dengan Georgina.”
       Nicky hanya diam dengan wajah yang agak menegang. Ia menatap sepedanya, lalu menatap sepedaku. Garis wajahnya menghalus, lalu ia menatapku sambil tersenyum.
       “Sama seperti waktu itu. Lucu banget ya...” Ia tertawa kecil.
       “Hahahaha...” Aku tertawa dengan wajah tolol. “Kenapa kau ada disini?”
       “Kau sendiri?” Ia balik bertanya.
       “Kenapa balik nanya sih?!” Ujarku.
       “Jawab apa susahnya?!” Balasnya.
       “Aku yang bertanya duluan pirang!” Tanggapku.
       “Lady’s first!”
       “Kenapa kau nyebelin banget sih?!”
       “Kau pikir kau ramah?”
       “Diam kau jelek!”
       Hening.
       “Duduk dikursi taman yuk.” Ajaknya. “Tentu saja, kalau kau nggak keberatan. Setidaknya aku sudah berjanji nggak akan mengganggumu dan Mark lagi.”
       “Kenapa juga aku harus mau?” Kataku.
       “Yasudah...” Ia mengayuh sepedanya kearah taman. Tololnya aku, aku akhirnya malah mengikutinya. Ia tertawa saat melihatku mengayuh sepedaku kearah taman. Kami menyenderkan sepeda kami, lalu duduk dikursi taman. Aku sadar matahari sedang terbenam. Kesunyian mengurung kami beberapa saat.
       “Aku diputusin Mark...” Kataku tiba-tiba. “Bahkan sebenarnya, aku sudah putus dengannya sebelum bertemu denganmu tempo hari. Menyedihkan ya?”
       Ia terlihat kaget, tapi hanya sesaat.
       “Curhat?” Ia melirikku.
       Aku memukul lengannya keras-keras.
       “Sakit, cewek hancur!” Ujarnya. “Aku kan bercanda.”
       Aku cemberut.
       “Kau serius?” tanyanya.
       Aku mengangguk.
       “Kenapa kau putus dengannya? Apa dia menyakitimu?” Tanyanya.
       Aku cepat-cepat menggeleng.
       “Kami putus karena alasan bodoh.” Kataku.
       Tiba-tiba ia memperlihatkan tangannya padaku, jari manisnya tidak dilingkari oleh cincin lagi. aku mengerutkan dahiku.
       “Aku juga sudah berpisah dengan Gina...” Gumamnya.
       “Good joke...” Tanggapku.
       “It’s not joke.” Katanya.
       “Really nice joke...”
       “I said it’s not joke!” Nicky kesal. “We’re over. She returned her ring to me”
       Aku tidak percaya.
       “Why?” Tanyaku.
       “Because she said I love someone else...” Ucap Nicky dengan wajah datar. “And I guess she’s right.”
       Aku duduk kaku.
      “H, how come?” Tanyaku.
       “I don’t know. this girl stole my heart since the first time I met her.” Kata Nicky. “Until now...”
       Aku diam mendengarnya.
       “She has the messy hair when the first time I met her...” Katanya, tersenyum. “But now, she has the beautiful light brown hair.”
       Aku masih diam.
       “She taught me to reach another beautiful dream...” Ia melanjutkan. “Like no one did.”
       Aku tetap diam.
       “She yelled at me all the time, she said that she hates me, but I love her more each time she said it...” Nicky tertawa kecil. “Interesting...”
       Aku benar-benar diam.
       Ia ikut diam.
       Kami tertawa kaku.
       “Hahahahaha...” Tawaku garing. “She’s such a jerk.”
       “Hahahahaha not really...” Tawa Nicky. “No, no, she’s not...Aku sebenarnya sedang patah hati, merindukannya setengah mati tapi kupikir aku tidak bisa bertemu dengannya lagi. aku kembali ke Baldoyle hanya karena ingin mengenang bagaimana saat aku pertama bertemu dengannya, melepas sedikit kerinduan. Dan ternyata tanpa kusangka-sangka, cewek itu juga ada disini. Dekat sekali...duduk disebelahku dengan wajahnya yang tolol.”
       Aku masih tertawa kaku. Aku bersumpah itu tawa paling kaku yang pernah ada.
       Lama-lama tawaku terhenti. dan keheningan kembali menyelimuti kami berdua.
       Tiba-tiba Nicky mendekati wajahku dan mencium bibirku. Aku kaget setengah mati. Ia tidak melepasku. Ia meraih pundakku dan menarikku lebih dekat. Aku berusaha tidak panik walaupun ini sama sekali tidak masuk akal. Pikiranku kosong. Aku memejamkan mataku, jantungku berdebar-debar tidak karuan, wajahku terasa terbakar. Aku meraih lehernya dan melingkarkan tanganku disana. Aku bahkan tidak mengerti apa yang sedang terjadi.
       Nicky melepaskanku.
       Aku tidak mau membuka mataku. Rasa malu menguasaiku. Aku menunduk. Ia memeluk tubuhku erat-erat. Aku tidak bisa melakukan apa-apa selain ikut memeluknya. Kurasakan hangatnya berada dipelukannya, betapa harum tubuhnya, aku benar-benar tidak sadar.
       “I love you...” Bisiknya.
       Aku pasti bermimpi.
       “I love you...” Bisiknya lagi. “I keep silent for years...Michelle...I...”
       Ia kehilangan suaranya. Nafasnya tercekat.
       “Good joke...” Kataku dengan airmata yang tidak bisa kubendung lagi.
       “Thank you...” Tanggapnya, memelukku lebih erat. “It must be the best joke ever...”

***

              

5 komentar:

  1. so sweeeeeeeettttttt !!! Bahasa.a puitis bgt :3

    BalasHapus
  2. Okay...., di chapter ini, mulai kurasakan bonding dan interaksi perasaan antara Nicky dan Michelle :) Good job! Well done!

    hanya jujur yang aku merasa kurang dapet dari chpter chapter sebelumnya adalah isi hati masing-masing nih bocah (nicky dan Michelle). aku kurang dapet greng-nya kalau mereka tuh sebenarnya suka dan cinta. Hanya memang tergambarkan sedikit dari sisi Michelle, tapi tidak dari Nicky :D

    Meski begitu, sumprit, jujur aku sebel banget sama model cowok kayak Nicky, plis deh, pick up your mind, boy..., megangin Gina, tapi terus bayang-bayangin Michelle yg akhirnya Michelle susah move on. Repot kan.

    Giliran ada Mark, meski Michelle berusaha mencintai Mark, tetap hati tidak bisa dibohongi,dan Mark tahu itu, makanya dia lebih baik putus, daripada hidup dalam hubungan rasa kasihan Michelle
    (lho, kok kayak pernah baca plot ini ya ....?)

    Secara keseluruhan untuk chapter ini, aku bisa mengikutinya, dan sangat bagus sekali penulisannya. Alurnya maju (mungkin ada yg mundur tapi tidak terlalu kentara) dan perpindahan waktunya tidak lompat-lompat mengagetkan dan membingungkan aku) hehehehe


    Okey, tak ada kata lain, LANJUTKAN !!! hehehehe- Awesome !!

    BalasHapus
  3. Alhamdulillah :'D hehehe komentar kalian bikin aku speechless. makasih ya tulisan kalian juga awesome. kak maria, aku bakal berusaha buat perbaikin kekurangan yang tadi kaka sebutin. nanti aku lanjutin ;)thanks a lot :'D

    BalasHapus
  4. Great!!! 4 jempol dah buat kak Malika *LirikJempolKaki

    Huaaaaaa,,, ngiri banget sama Kak Malika.... such a great fanfic!!! :'( aku blm bisa buat kyk gt... :'(

    BalasHapus
  5. makasih yaaaaa :* dan maaf baru bales sekarang. baru buka blog.
    banyak-banyak nulis!

    BalasHapus