Jadi,
setelah kira-kira setahun, hubunganku dengan Mark sekarang berakhir begitu
saja. Padahal otakku sudah dipenuhi cerita-cerita dramatis bahwa Mark adalah
malaikat yang turun dari langit untuk menyingkirkan Nicky dari hatiku. Aku bahkan
sudah membayangkan suatu saat akan menikah dengan Mark dengan gaun putih
berenda-renda. Otakku benar-benar tidak bisa berhenti berpikir terlalu jauh.
Tidak ada
lagi SMS selamat pagi dari Mark, panggilan mesra darinya, ajakan nge-date, atau
bahkan kedatangannya ke apartemenku untuk sekedar bertemu. Dan itu semua hanya
karena satu alasan bodoh. Aku tidak mengerti jalan pikiran Mark yang berpikir
aku harus menunggu calon suami orang. Tapi diam-diam aku kagum padanya yang
bisa menembus kedalam hatiku. Aku bertanya-tanya apa aku ini benar-benar mudah
ditebak? Kalau begitu, apa Nicky sebenarnya sudah menyadari perasaanku?
Aku
sangat sayang pada Mark. Tidak ada laki-laki sebaik dia. Tapi tetap saja
perasaanku pada si blonde sialan itu belum berubah. Bahkan sejak aku masih
sekolah sampai sekarang. Aku disuruh Mark menunggu. Dia sudah gila. Dan aku
juga sama gilanya, karena aku menyanggupi. Mungkin seumur hidupku harus
mengejar bayangan semu, mengejar es ang sudah mencair, mengejar air yang sudah
menguap, mengejar api yang telah padam. Mungkin seumur hidup aku harus
sendirian saja.
Didepan laptopku,
sambil menulis novel keduaku, aku terus berpikir apa aku menyakiti Mark? Kalau memang
aku menyakitinya, lebih baik siapapun yang berbaik hati membunuhku sekarang
juga. Kalau benar aku menyakitinya, aku benar-benar membenci diriku sendiri. Semua
ini hanya karena keegoisan dan harapan kosongku. Laki-laki sebaik Mark tidak
pantas sakit hati hanya karena cewek hancur sepertiku.
Yang jelas,
sementara ini aku tidak boleh memberitahu Mum dan Darren tentang Mark. Atau aku
akan digantung di tiang bendera Plunkit high school, atau mungkin diikat
ditengah rel kereta, atau apapun itu, yang jelas pasti mengerikan. Aku hanya
bisa berdoa agar gosip tidak cepat menyebar kemana-mana.
Aku hampir
melompat ketika melihat display handphoneku. Kupikir aku tidak akan pernah
menerima SMS Mark lagi. tapi jelas-jelas terlihat nama “Mark” di inbox. Sms macam
apa yang akan dikirimnya setelah kami putus? Jelas bukan ajakan bertemu atau
hal sejenisnya. Dengan tidak sabar aku membaca SMS darinya.
“Hari ini aku dapat kabar dari Nicky kalau
dia jam tiga sore akan pergi ke pusat perbelanjaan didekat apartemenmu.”
Aku bengong.
SMS
macam apa ini? Mark Feehily...kau tidak mungkin menyuruhku berbelanja bersama
dengannya seperti sepasang suami istri yang sedang berbelanja popok bayinya
kan? Lagipula mungkin saja ia pergi bersama Georgina. Tapi...memang aku ingin
sekali bertemu dengannya. Aku ingin tahu kenapa malam itu ia langsung pulang
tanpa permisi seperti orang yang sudah mabuk berat. Kulirik jam dindingku. Jam dua
lebih.
Jadi,
setelah beberapa menit aku benar-benar mengganti bajuku dan pergi ke pusat
perbelanjaan yang dimaksud oleh Mark. Aku sengaja menunduk sampai rambut
menutupi wajahku saat berjalan disana. Orang-orang yang lewat melihat kearahku
seakan-akan aku alien yang datang dari planet pluto. Aku benar-benar tidak mau
tiba-tiba Nicky melihat wajahku. Aku tidak siap disapa olehnya. Aku duduk
didepan supermarket dengan rambut masih menutupi wajahku. Menatap ke kiri dan
kanan berusaha menemukan Nicky dengan kedua bolamataku.
Lalu aku
menemukannya, ya...tidak sulit mengenali rambut blondenya yang kusukai. Ia berjalan
kearah supermarket dengan langkah agak pincang. Kenapa dia? Tapi selain itu, ia
terlihat baik-baik saja. Wajahnya terlihat lebih ringan daripada hari-hari saat
aku bertemu dengannya sebelumnya. Sorot matanya mempelihatkan segaris
kebahagiaan. Tentu saja, sebentar lagi ia akan menikah. Tidak ada yang bisa
membuatnya lebih bahagia.
Diam-diam
aku mengikutinya. Ya, oke, baiklah. Aku resmi menjadi penguntit sekarang. Sebenarnya
bisa saja aku menyapanya dengan alasan tidak sengaja melihatnya saat
berbelanja. Tapi rasa takut yang aneh menyelimutiku. Aku melihat ia mengambil
beberapa snack dan minuman dengan senyum diwajahnya. Aku menatap setelan
bajunya, kemeja dan jeans. Dandanan simple yang tetap membuatnya terlihat
bersinar dimataku. Tanpa sadar aku mendekat, aku ingin melihat matanya.
Sampai aku
melihat matanya tiba-tiba melihat kearahku.
Cukup sampai sini saja prestasiku sebagai
penguntit.
“Michelle?”
Ia mengangkat alis.
Aku takut
untuk menjawab sapaannya. Bolamata birunya menatap lurus kearahku, suara
huskynya terucap untukku. Tapi aku menyadari segala keindahan yang ada
didepanku ini bukan milikku. Bayangkan saja...dengan hanya menyebut namaku
saja, ia sudah membuatku jatuh cinta lagi. aku tidak mau tenggelam dalam
kebahagiaan yang percuma, jadi aku berbalik badan dan berjalan menjauh darinya.
Rupanya ketololanku benar-benar tidak bisa disembuhkan. Aku berjalan cepat
melewati deretan makanan. Aku bisa mendengar langkah kaki dibelakangku. Ia mengikutiku.
Aku panik, lalu mulai berlari.
“Hey,
Michelle!” Ujarnya, ikut berlari. “Kenapa kabur sih?! Michelle!”
“I, I,
I’m not Michelle, sorry sir!!” Aku berlari lebih cepat.
“Kau
ini kurang bodoh apa sih?!” Ujarnya lebih keras, sekarang ia hampir meraih
lenganku. Iya, aku memang bodoh. Tapi memangnya kau pikir gara-gara siapa aku
berhak menerima penghargaan sebagai orang terbodoh didunia hah?! Aku buru-buru
menyingkir sebelum ia meraih lenganku.
Tentu saja
dengan kemampuanku berlari yang tidak lebih cepat dari siput, dan dengan
kemampuannya yang bisa berlari sangat cepat, aku sama sekali bukan
tandingannya. Ia menarik lenganku dan dengan spontan aku memekik kaget. Ia
memegang kedua pundakku dan sekarang kami berhadapan. Ia menghela nafas lega.
“Kenapa
harus kejar-kejaran sih?!” Ujarnya kesal.
“Dasar
tolol! Aku tidak mau bertemu denganmu!!” Jeritku tidak sadar, menunduk, sebisa
mungkin tidak menatap matanya. “Kau sadar nggak sih kau akan menikah?! Dan sadar
nggak sih kalau aku ini pacar Mark?! Mark tidak suka kalau kau mendekatiku! Lagipula
aku juga tidak mau membuat Mark marah lagi!!”
Bicaraku
benar-benar ngawur.
Ia terdiam.
Sama sekali tidak bersuara setelahnya. Ia melepas kedua pundakku. Dengan takut
aku menatap wajahnya. Wajahnya yang tadi kulihat bahagia, berubah total menjadi
suram. Ia menghela nafas dengan berat.
“Siapa
bilang aku akan menikah?” Tanyanya dengan suara sangat pelan.
Aku tidak
bergerak.
“Dan
maaf kalau kau tidak suka.” Katanya dengan sorot mata yang dikuat-kuatkan. “Maaf
selalu menggangumu dengan Mark. Tapi itu semua karena aku...”
Nicky
berhenti bicara, aku masih diam saja. Ia menghela nafas. Sepertinya ia tidak
bernat untuk melanjutkan kata-katanya. Seakan-akan kata-kata yang ingin ia
ucapkan setelahnya sangat tabu untuk didengar olehku.
“Maaf...bodoh
sekali. Ternyata aku selalu membuat Mark marah? Sahabat macam apa aku ini.” Ia
tertawa terpaksa. “Aku nggak akan mengganggu kalian lagi. bye...”
Aku ingin
menarik kata-kataku, tapi tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutku. Aku
hanya bisa melihat punggung Nicky yang menjauh dariku. Apa yang kukatakan
barusan? Kenapa aku tidak bisa mengendalikan kepanikanku sampai berkata seperti
itu? Aku memukuli kepalaku sendiri menelan penyesalan atas perbuatanku sendiri.
Lihat? Sekarang jarakku dan Nicky akan semakin menjauh.
Handphoneku berbunyi.
Dengan airmata
yang masih membanjiri pipiku aku mengangkat telepon itu tanpa ragu. Suara Mum
langsung terdengar lembut ditelingaku. Aku menangis makin kencang ketika aku
berkata dengan cepat pada Mum.
“Mum...aku
ingin kembali ke Baldoyle...aku ingin bertemu denganmu. Aku akan pergi ke
baldoyle besok pagi...”
***
Udara
Baldoyle yang tenang kembali membelai kulitku. Aku duduk diam diteras rumah
kayuku. Aku merindukan rumah ini, aku merindukan Mum dan Dad. Aku merindukan
bau khas didalam rumah ini. aku menghirup udara sebebas mungkin. Hari sudah
sangat sore. aku tidak berhenti memikirkan ketololanku saat bertemu dengan Nicky tempo hari. Berhari-hari aku hanya mengurung diri di kamarku yang nyaman, menangis sepuasnya.
Mum
sudah tahu semuanya. Ternyata ia tidak tega memarahiku saat aku menceritakan
semuanya. Bagaimana aku masih tidak bisa melupakan Nicky sampai sekarang, dan
betapa aku merasa bersalah pada Mark. Mum memang yang terbaik. Jadi ia tahu
kapan dirinya harus marah, dan kapan dirinya harus bersikap sebagai manusia
paling lembut didunia ini.
Aku
menatap sepeda lamaku, tersenyum geli mengingat saat-saat aku menaiki sepeda
itu dengan rambut yang tidak pernah disisir dan blazer yang tidak pernah
dikancingkan. Aku menyentuh sepeda itu, menyentuh stangnya, menyentuh joknya,
dan tiba-tiba aku ingin menaikinya lagi.
Aku
mengayuh sepeda itu keluar rumah. Menyusuri jalanan Baldoyle dengan angin
semilir menyertaiku, membelai helai-helai rambutku, menerpa wajahku dengan hawa
dingin yang familiar. Cukup lama aku mengayuh sepedaku, kemudian aku
membelokkannya ke tikungan. Tikungan waktu itu, tikungan yang mengubah hidupku
sampai sekarang, tikungan yang membuatku bertemu dengannya.
Aku
menarik rem.
Aku
tidak bisa mempercayai mataku. Ia ada disana, juga dengan sepedanya. Sepeda
yang dulu menabrak sepedaku. Deja vu yang begitu jelas. Tapi kali ini kami
tidak tabrakan. Kami berpapasan dengan sepeda yang direm lebih dulu. Terlalu aneh bahkan untuk disebut keajaiban. Aku panik,
salah tingkah, merasa tidak sanggup melihat wajahnya setelah apa yang kukatakan
padanya. tapi ia justru tersenyum dan menyapaku.
“Hai...” Sapanya.
Hening.
Michelle...bicaralah...Batinku pada diriku sendiri.
“Nicky...”
Aku tidak boleh jadi pengecut. “Maaf waktu itu...aku tidak bermaksud
membentakmu...”
“Nggak
usah dipikirkan.” Nicky menggeleng.
“Aku
bohong kok...” Aku memutuskan jujur. “Mark tidak pernah marah kalau kau dekat
denganku. Aku cuma mengarang...aku cuma tidak ingin mengganggu hubunganmu
dengan Georgina.”
Nicky
hanya diam dengan wajah yang agak menegang. Ia menatap sepedanya, lalu menatap
sepedaku. Garis wajahnya menghalus, lalu ia menatapku sambil tersenyum.
“Sama
seperti waktu itu. Lucu banget ya...” Ia tertawa kecil.
“Hahahaha...” Aku tertawa dengan wajah tolol. “Kenapa kau ada disini?”
“Kau
sendiri?” Ia balik bertanya.
“Kenapa
balik nanya sih?!” Ujarku.
“Jawab
apa susahnya?!” Balasnya.
“Aku
yang bertanya duluan pirang!” Tanggapku.
“Lady’s
first!”
“Kenapa
kau nyebelin banget sih?!”
“Kau
pikir kau ramah?”
“Diam
kau jelek!”
Hening.
“Duduk
dikursi taman yuk.” Ajaknya. “Tentu saja, kalau kau nggak keberatan. Setidaknya
aku sudah berjanji nggak akan mengganggumu dan Mark lagi.”
“Kenapa
juga aku harus mau?” Kataku.
“Yasudah...” Ia mengayuh sepedanya kearah taman. Tololnya aku, aku akhirnya
malah mengikutinya. Ia tertawa saat melihatku mengayuh sepedaku kearah taman. Kami
menyenderkan sepeda kami, lalu duduk dikursi taman. Aku sadar matahari sedang
terbenam. Kesunyian mengurung kami beberapa saat.
“Aku
diputusin Mark...” Kataku tiba-tiba. “Bahkan sebenarnya, aku sudah putus
dengannya sebelum bertemu denganmu tempo hari. Menyedihkan ya?”
Ia
terlihat kaget, tapi hanya sesaat.
“Curhat?” Ia melirikku.
Aku
memukul lengannya keras-keras.
“Sakit,
cewek hancur!” Ujarnya. “Aku kan bercanda.”
Aku
cemberut.
“Kau
serius?” tanyanya.
Aku
mengangguk.
“Kenapa
kau putus dengannya? Apa dia menyakitimu?” Tanyanya.
Aku cepat-cepat
menggeleng.
“Kami
putus karena alasan bodoh.” Kataku.
Tiba-tiba
ia memperlihatkan tangannya padaku, jari manisnya tidak dilingkari oleh cincin
lagi. aku mengerutkan dahiku.
“Aku
juga sudah berpisah dengan Gina...” Gumamnya.
“Good
joke...” Tanggapku.
“It’s
not joke.” Katanya.
“Really
nice joke...”
“I said
it’s not joke!” Nicky kesal. “We’re over. She returned her ring to me”
Aku
tidak percaya.
“Why?”
Tanyaku.
“Because she said I love someone else...” Ucap Nicky dengan wajah datar.
“And I guess she’s right.”
Aku
duduk kaku.
“H, how
come?” Tanyaku.
“I
don’t know. this girl stole my heart since the first time I met her.” Kata
Nicky. “Until now...”
Aku
diam mendengarnya.
“She
has the messy hair when the first time I met her...” Katanya, tersenyum. “But
now, she has the beautiful light brown hair.”
Aku
masih diam.
“She
taught me to reach another beautiful dream...” Ia melanjutkan. “Like no one
did.”
Aku
tetap diam.
“She
yelled at me all the time, she said that she hates me, but I love her more each
time she said it...” Nicky tertawa kecil. “Interesting...”
Aku
benar-benar diam.
Ia ikut
diam.
Kami
tertawa kaku.
“Hahahahaha...” Tawaku garing. “She’s such a jerk.”
“Hahahahaha not really...” Tawa Nicky. “No, no, she’s not...Aku sebenarnya sedang patah hati, merindukannya setengah mati tapi kupikir aku tidak bisa bertemu dengannya lagi. aku kembali
ke Baldoyle hanya karena ingin mengenang bagaimana saat aku pertama bertemu
dengannya, melepas sedikit kerinduan. Dan ternyata tanpa kusangka-sangka, cewek itu juga ada disini. Dekat
sekali...duduk disebelahku dengan wajahnya yang tolol.”
Aku
masih tertawa kaku. Aku bersumpah itu tawa paling kaku yang pernah ada.
Lama-lama tawaku terhenti. dan keheningan kembali menyelimuti kami berdua.
Tiba-tiba Nicky mendekati wajahku dan mencium bibirku. Aku kaget
setengah mati. Ia tidak melepasku. Ia meraih pundakku dan menarikku lebih
dekat. Aku berusaha tidak panik walaupun ini sama sekali tidak masuk akal.
Pikiranku kosong. Aku memejamkan mataku, jantungku berdebar-debar tidak karuan,
wajahku terasa terbakar. Aku meraih lehernya dan melingkarkan tanganku disana.
Aku bahkan tidak mengerti apa yang sedang terjadi.
Nicky
melepaskanku.
Aku
tidak mau membuka mataku. Rasa malu menguasaiku. Aku menunduk. Ia memeluk
tubuhku erat-erat. Aku tidak bisa melakukan apa-apa selain ikut memeluknya.
Kurasakan hangatnya berada dipelukannya, betapa harum tubuhnya, aku benar-benar
tidak sadar.
“I love
you...” Bisiknya.
Aku
pasti bermimpi.
“I love
you...” Bisiknya lagi. “I keep silent for years...Michelle...I...”
Ia
kehilangan suaranya. Nafasnya tercekat.
“Good
joke...” Kataku dengan airmata yang tidak bisa kubendung lagi.
“Thank
you...” Tanggapnya, memelukku lebih erat. “It must be the best joke ever...”
***
so sweeeeeeeettttttt !!! Bahasa.a puitis bgt :3
BalasHapusOkay...., di chapter ini, mulai kurasakan bonding dan interaksi perasaan antara Nicky dan Michelle :) Good job! Well done!
BalasHapushanya jujur yang aku merasa kurang dapet dari chpter chapter sebelumnya adalah isi hati masing-masing nih bocah (nicky dan Michelle). aku kurang dapet greng-nya kalau mereka tuh sebenarnya suka dan cinta. Hanya memang tergambarkan sedikit dari sisi Michelle, tapi tidak dari Nicky :D
Meski begitu, sumprit, jujur aku sebel banget sama model cowok kayak Nicky, plis deh, pick up your mind, boy..., megangin Gina, tapi terus bayang-bayangin Michelle yg akhirnya Michelle susah move on. Repot kan.
Giliran ada Mark, meski Michelle berusaha mencintai Mark, tetap hati tidak bisa dibohongi,dan Mark tahu itu, makanya dia lebih baik putus, daripada hidup dalam hubungan rasa kasihan Michelle
(lho, kok kayak pernah baca plot ini ya ....?)
Secara keseluruhan untuk chapter ini, aku bisa mengikutinya, dan sangat bagus sekali penulisannya. Alurnya maju (mungkin ada yg mundur tapi tidak terlalu kentara) dan perpindahan waktunya tidak lompat-lompat mengagetkan dan membingungkan aku) hehehehe
Okey, tak ada kata lain, LANJUTKAN !!! hehehehe- Awesome !!
Alhamdulillah :'D hehehe komentar kalian bikin aku speechless. makasih ya tulisan kalian juga awesome. kak maria, aku bakal berusaha buat perbaikin kekurangan yang tadi kaka sebutin. nanti aku lanjutin ;)thanks a lot :'D
BalasHapusGreat!!! 4 jempol dah buat kak Malika *LirikJempolKaki
BalasHapusHuaaaaaa,,, ngiri banget sama Kak Malika.... such a great fanfic!!! :'( aku blm bisa buat kyk gt... :'(
makasih yaaaaa :* dan maaf baru bales sekarang. baru buka blog.
BalasHapusbanyak-banyak nulis!