Jumat, 06 Juli 2012

The Blue Eyes of the Lighthouse (part 7)


***Nicky’s Pov***

       Aku terbaring di tempat tidurku, terbatuk-batuk. Sudah lebih dari satu jam aku menunggu Michelle. Ia belum datang juga. Padahal aku senang ketika ia bilang mau datang. Aku ingin meneleponnya, tapi kupikir apa aku tidak akan terlihat repot sendiri? Mungkin ia harus menyelesaikan beberapa bab novelnya dulu?
       Aku berdiri, kepalaku terasa berat sekali. Aku meraih kain untuk kuletakkan didahiku dan mengambil minuman. Aku membetulkan letak bantalku dan merebahkan diri lagi. . Dengan kepala pusing, lagi-lagi aku memandangi display handphoneku.  Memandangi sebuah kontak bertuliskan “Michelle”. Yah, memang...aku bohong padanya. Aku tidak salah pencet nomor. Aku memang sengaja meneleponnya. Aku ingin sekali mendengar suaranya walaupun sebentar. Sampai-sampai aku membuat alasan bodoh.
       “Where are you?” bisikku pelan sekali, memejamkan mataku. Dua jam berlalu dan ia belum muncul juga. Aku mulai khawatir. Apa terjadi sesuatu padanya ditengah perjalanan? Aku buru-buru menggelengkan kepalaku. Mungkin dia ketiduran?
       Akhirnya aku benar-benar tidak tahan memendam rasa penasaran berlebih. Akhirnya aku memencet nomornya lalu menempelkan handphone di telingaku.
       “Hello?”
       Teleponnya diangkat. Tapi itu bukan suara Michelle. Aku kenal sekali suara itu. Itu suara Mark.
       “Mark? Mana Michelle?” tanyaku.
       “Michelle sedang di toilet” Kata Mark. “Maaf Nico...aku tidak bisa membiarkannya pergi ke apartemenmu”
       Aku terbelalak.
       “What do you mean?”
       “Apa kau lupa? Aku tidak mau kau bicara macam-macam padanya apalagi sampai mengutarakan perasaanmu.”
       “Tapi dia hanya ingin menjengukku!” Aku kesal sekali. “Kenapa kau asal bertindak?!”
       “Karena dia pacarku. Apa belum jelas juga?” jawab Mark tegas.
       Aku terdiam.
       Menciut.
       “Maafkan aku...bagaimana keadaanmu?” tanya Mark. “Aku janji setelah ini akan mengunjungimu, I’ll bring you something to eat..”
       “Tidak usah Mark” Jawabku pahit. “Aku hanya ingin Michelle yang menemaniku disini. Tapi aku tidak punya hak, sudahlah...”
       “Aku bukannya mau menyakiti perasaanmu” kata Mark. “Ingat itu Nicky”
       Terserah dia mau bilang apa. Walau bagaimanapun sudah jelas aku kecewa.
       “Aku tidak akan ambil pusing” Gumamku akhirnya. “Kita sahabat, kita satu band, dan aku sangat menyukaimu”
       “Aku juga...” Kata Mark. “Nico, Michelle datang. Kututup teleponnya”
       Telepon terputus.
       Aku tersenyum pahit. Rasanya otakku mendidih, hatiku berkecamuk. Tapi disamping itu aku menyayangi Mark. Aku juga menyayangi Gina. Walaupun cintaku pada Michelle tidak kunjung memudar. Aku terjebak dalam neraka pilihan yang rasanya perlahan-lahan membunuhku.
       Saat itu, kurasa suhu tubuhku naik beberapa derajat.

***

        *Michelle’s Pov*

        “KEREN BANGET! SO DAMN COOL GUYS!!” aku berteriak kencang-kencang.
        “Suaramu kedengaran kemana-mana!” Mark tertawa. “I can’t wait to see you”
        Waktu sangat cepat berlalu. Album Coast to coast menjadi album yang sangat fenomenal, penjualannya meledak dimana-mana, Westlife mengadakan world tour kedua. Dan aku tidak pernah kelewatan berita live mereka. Aku bangga sekali pada mereka. Dimana-mana pasti membicarakan Westlife.
        Saat ini pesawat Westlife baru saja akan take off, mereka akan pulang ke Irlandia. Sepertinya timing Mark kurang tepat meneleponku sekarang. Tapi aku senang mendengar suaranya. Suara tawa the lads terdengar. Sepertinya mereka mendengar teriakanku diseberang telepon. Atau mungkin seisi pesawat juga mendengarnya.
       “Habisnya kalian keren banget! Aku nge-fans! Bayangkan saja deh, Against all odds yang featuring Mariah Carey kurang keren apa?! Belum lagi setiap aku melangkah poster kalian yang berhubungan dengan coast to coast pasti ada dimana-mana! Konser kalian! Bagaimana? Aku nggak akan lupa konser di Dublin kemarin! Itu keren banget Mark! Aku masih punya videonya. Terus...”
       “Berisik amat sih” Terdengar celetukan Nicky. Aku seketika cemberut.
       “Aku ini sedang memuji kalian tahu!” ujarku kesal.
       “Bosan ah dipuji olehmu” Tanggap Nicky.
       “Kalau gitu aku nggak memujimu Nicky. Aku memuji Mark, Brian, Shane dan Kian!” Aku naik darah. “Jangan ngajak ribut! Aku sedang bicara sama Mark!”
       Suara Nicky tidak terdengar lagi.
       “Hahahahahaha!” Mark tertawa. “Sepertinya aku harus tutup teleponnya. Pesawatnya sudah mau take off. Bisa-bisa aku dilempar keluar pesawat”
       “Okay, aku akan jemput kalian di airport!” Seruku.
       “Sebaiknya jangan...” lagi-lagi Nicky nyeletuk. “Nanti susah kalau sudah tergencet para fans di airport. Aku sudah dengar berita mereka bakal menjemput kami.”
       Mark bilang ia setuju dengan Nicky.
       “Nggak masalah! Aku sudah bikin banner bertuliskan “Welcome Home” untuk kalian. Aku akan rusuh bersama fans disana” cengirku. “Lagipula aku bareng Darren”
       Aku sempat mendengar celetukan “Norak banget” dari Nicky. Kalau dia ada didepanku pasti sudah kutempeleng. Tapi kemudian Mark mengizinkan asal aku berhati-hati. Ia menutup telepon. Aku memutuskan hang out dengan Darren di mall sampai jam landing Westlife di airport. Seperti biasa ia memilih barang belanjaan dengan sangat teliti. Ia memilih sebuah dress ungu tua untukku. Aku menerimanya, karena aku tahu pilihannya pasti akan berguna suatu saat nanti.
       “Michelle?” Darren mencolek bahuku.
       “Apa?” Tanggapku.
       “Sudah jam tiga...” Katanya. “Pesawatnya landing jam empat”
       “HAH?! Tapi keburu kan?!” jeritku.
       “Kalau aku ngebut sih keburu. Makanya ayo cepat!” Darren buru-buru membayar sepatu belanjaannya. Aku mengekor. Kami masuk kedalam mobil Darren dan langsung memasang seatbelt. Darren menatapku.
       “Pegangan” Katanya.
       Kalau Darren sudah bilang “Pegangan”, itu artinya dia akan...
       “AAAAAAAAAAAAKKKHHH!!” Jeritku ngeri. “Yang benar saja dong!! Kau terlalu ngebut! Nggak ngamuk begini juga pasti keburu kok! Nggak lucu ya kalau aku masuk koran gara-gara ditangkap polisi”
       “Michelle, diam deh...” Darren tidak mengurangi kecepatan. Akhirnya aku pasrah dan berusaha menikmati perjalanan cari mati ini. kupegang bannerku sampai lecak. Tapi gara-gara ini kami memang tidak telat. Kami masuk ke airport saat jam menunjukkan pukul 15.34 dan artinya, oh...benar saja. Itu kerumunan yang mengerikan.
       Ratusan fans berdiri disana. Ada yang membawa banner, kamera, sampai merchandise Westlife. Didalam kerumunan ini mereka pasti terlalu sibuk hanya untuk sekedar mengenali wajahku. Kutarik Darren kedalam kerumunan. Sudah lama aku ingin melakukan ini karena kupikir seru. Darren berdecak melihat cengiran usilku.
       Kami berdiri disana beberapa menit. Dan akhirnya Westlife datang. Kerumunan ini menggila, teriakan terdengar memekakan telingaku, Darren ikut berteriak. Akhirnya kuputuskan untuk.......ikut berteriak.
       “MARK!!NICKY!!BRIAN!!SHANE!!KIAN!!” Teriakku. Aku pasti terlihat seperti orang tolol. Pasti. Kuangkat bannerku, dan Nicky langsung menoleh kearah bannerku. Lalu tersenyum kearahku. Ia menyertakan pandangan “kau cewek freak” padaku. Mark ikut menatap kearahku. Aku terseret ke belakang. Oke cukup, ini hak para fans yang ingin bertemu mereka. Hakku sampai sini saja. Aku ingin mundur ke belakang, tapi ternyata...aku tidak bisa. Kerumunannya terlalu padat.
       Sedetik kemudian kusadari Darren menghilang.
       Aku ini kurang tolol apa? Aku mencari-cari Darren dengan bola mataku. Westlife dikelilingi para bodyguard, menuju ke mobil, aku menerobos kerumunan dan mencari-cari Darren. Kemudian aku terpaku. Aku melihat seseorang. Bukan, bukan Darren. Aku mengenali wajahnya. Sangat kenal. Tubuhku lemas, bannerku hampir kujatuhkan. Aku terseret lagi ke belakang. Tidak bisa maju sedikitpun. Wajahku pucat pasi, dadaku sesak. Aku bergumam dengan bibir kering.
       “Kyla?”

***

       “Michelle!”
       Aku menoleh ke belakang. Wajah Darren langsung terlihat. Ia menarik tanganku keluar dari kerumunan.
       “What the hell is going on? Ayo kita keluar dari sini!” serunya.
       Aku menggenggam tangan Darren. Melangkah keluar airport dengan susah payah. Tanganku dingin. Darren heran melihatku.
       “Darren aku harus kembali kesana...” Kataku.
       “Hah? Buat apa?” tanya Darren bingung.
       “KYLA!!” Aku berteriak kearah kerumunan yang mulai berpencar-pencar. Aku sudah tidak bisa dihalangi lagi. aku harus bicara padanya. Aku bertemu dengan Kyla tanpa kusangka-sangka. Aku yakin itu dia. Aku sahabatnya. Setidaknya, sempat menjadi sahabatnya.
       “KYLA!!!” Jeritku lagi. airmata sudah memenuhi mataku.
       “Kyla? Jangan bilang ada si brengsek itu disini...” kata Darren.
       Aku berlari menuju kerumunan lagi, mencari Kyla dengan bola mataku, lalu menarik lengannya. Aku melakukan itu tanpa berpikir. Ia menatapku bingung. Rambut blondenya, mata abu-abunya...masih seperti dulu. Kami bertatapan beberapa detik. Sepertinya ia sedang mencerna apa yang terjadi. Beberapa saat kemudian, ia terbelalak.
       “Michelle?” Suaranya nyaris tidak terdengar.
       “Yes, it’s me...” Kataku, menatap lurus padanya.
       Ia terlihat shock, bingung harus berbuat apa. Ini sudah pasti bukan acara reuni yang menyenangkan. Ia meninggalkanku, mengkhianatiku. Kami sama-sama tidak berani bicara lagi. Ia menunduk, lalu menatapku lagi.
       “Maafkan aku...” Katanya. “Aku sangat menyesal, Michelle...aku kaget saat melihatmu terkenal sekarang...tapi aku tidak punya keberanian...”
       “Sejak kau mengirim SMS itu, aku selalu mengancingkan blazerku” kataku. “Aku menyisir rambutku, aku belajar setengah mati”
       “Aku percaya...” katanya. “Kau hebat...”
       “Aku tidak butuh pujianmu. Aku hanya ingin kau tahu betapa berharganya dirimu untukku” aku menghela nafas. “Aku hanya ingin mengatakan itu”
       Kyla menunduk dalam sekali.
       “Aku gagal masuk universitas yang kuinginkan” Katanya.
       Aku terdiam. Itu artinya semuanya percuma.
       Tiba-tiba Darren menarik lenganku.
       “Sorry girl, my famous best friend doesn’t have time to talk to you!” Tegasnya. Ia menarik tanganku keluar dari airport dan menuju mobilnya. Kulihat dari kejauhan Kyla hanya mematung disana sambil menunduk. Aku tahu Darren kesal. Aku ingat aku pernah menceritakan soal Kyla padanya. Aku tidak bisa melepas cengkraman Darren. Darren melepaskanku ketika kami sampai didepan mobilnya.
       “Jangan terjebak dalam masalalu busuk seperti dia Michelle! Kau punya aku!!apa aku tidak bisa menjadi sahabatmu yang bisa menggantikan manusia seperti dia?!” jeritnya. “Kau sudah diberi segalanya untuk melupakan dia! Kau punya aku, kau punya Westlife! Mereka bahkan mau menjadi sahabatmu! Banyak orang yang ingin ada dalam posisimu! Kau punya Mark, kau punya Nicky!”
       Aku tahu Darren benar. Aku tidak membiarkan Darren memberikan ceramah keduanya. Kupeluk dia sebelum dia mulai membuka mulutnya lagi.
       “I love you Darren...” kataku. “Setidaknya aku lega bisa mengatakan apa yang ingin kukatakan padanya. You’re my real best friend, trust me...”        
       Darren mengusap airmata yang tak disadarinya mengalir.
       “Dasar bodoh...” katanya.
       Kami masuk kedalam mobil dan menenangkan diri.
       “Sudah waras?” Tanya Darren bercanda.
       “Aku nggak pernah waras...” Tawaku.
       Kami tertawa dengan wajah yang masih merah karena habis menangis. Tiba-tiba handphoneku berbunyi. Telepon dari Mark. Aku mengangkatnya.
       “Kau gila banget. Sumpah!” seru Mark. “Tingkahmu benar-benar seperti die hard fan! Aku malu punya pacar sepertimu! Hahaha! You have to join our party tonight...”
       “Party?” Tanyaku lesu.
       “Lesu amat...” Mark terdengar heran. “Kulihat tadi kau ceria setengah mati. Kenapa sih? Malam ini kami mau pesta di sebuah bar. Kau ikut ya? Nanti kujemput. Georgina juga akan datang...”
       Georgina datang. Aku merasa ada sedikit rasa sakit yang merayap dihatiku.
       “Hmmm...oh ya?” Tanggapku garing. “Oke aku ikut...”
       “Michelle akan ikut.” Mark sepertinya mengabari the lads. Tiba-tiba saja suara teriakan the lads terdengar sampai membuat telingaku sakit. Mereka memintaku untuk datang tepat waktu. Aku tertawa. Darren benar. Aku lebih dari sekedar beruntung karena memiliki mereka...

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar