Selasa, 24 Juli 2012

The Blue Eyes of the Lighthouse (part 12)

     
        Aku menghempaskan tubuhku ke sofa apartemenku. Sebelum meninggalkan apartemenku untuk sementara, aku lupa bersih-bersih. Hasilnya, tentu saja debu ada dimana-mana. Jadi begitu kembali ke apartemen, aku langsung membersihkan setiap sudut ruangan. Suatu prestasi untuk seorang Michelle Myron.
       Kubuka lebar-lebar jendela ruang kerjaku dan kubiarkan suara bising diluar sana masuk kedalam ruangan. Dalam menulis, aku memang moody, terkadang aku harus dikurung dalam kesunyian, tapi terkadang aku harus mencari inspirasi dari kehidupan manusia diluar sana. Mulai dari suara deru dan klakson mobil, suara angin dingin yang berhembus tenang, kemudian kupandang salju yang mulai turun ke permukaan bumi, berkunjung diatas ranting-ranting dan dedaunan pohon, orang-orang berbaju tebal yang sedang menyebrang jalan, dan sekarang kudengar suara bersinku. Buru-buru kututup jendelanya.
       Aku sedang asyik mengetik hasil dari suasana awal-awal winter itu, saat bel apartemenku berbunyi. Kuselesaikan satu kalimat, lalu aku bangkit dari dudukku. Kubuka pintu depan apartemenku dan kulihat seorang wanita yang memakai sweater rajut berwarna cokelat cerah, dilapisi mantelnya yang berwarna peach dan celana jeans. Dikepalanya terpasang topi rajut, rambut ikal merahnya terjuntai indah seperti biasanya.
       “Darren!” seruku girang. “Tahu darimana kau aku kembali ke apartemenku hari ini?”
       Darren menatapku diam dengan bolamata hijaunya.
       “Aku mengandalkan keberuntungan.” Katanya. “Memangnya pernah kau mengabariku kalau kau akan minggat dari apartemenmu? Mana kutahu kau ternyata pulang ke Baldoyle. Dan tentu saja aku juga tidak tahu hari ini kau kembali kesini. Walaupun aku memencet bel, aku sudah bersiap-siap mengetahui apartemen ini kosong seperti hari-hari kemarin saat aku berkunjung kesini. Oh, welcome Michelle.”
       “Hmmm…sorry?” Aku memaki-maki diriku karena tidak mengabari Darren sama sekali. Padahal ia cukup lama menetap di Irlandia. Kepalaku terlalu penuh, atau mungkin tingkat keidiotanku bertambah.
       Kutunggu reaksi marahnya. Mungkin setelah ini dia akan mencubit pipiku kencang-kencang, atau menyikut rusukku, atau menonjok lenganku, mengguncang bahuku barangkali? Atau menginjak kakiku keras-keras? Tapi kulihat ia hanya diam mematung di ambang pintu tanpa segaris senyumpun.
       “You never tell me anything…” Katanya pelan.  “Mungkin aku ini benar-benar tidak penting lagi bagimu ya? Kau tidak memberitahuku apapun sama sekali. Termasuk ini!”
       Ia masuk kedalam apartemenku dan melempar beberapa lembar Irish Daily keatas sofa. Aku berdebar melihat wajahnya yang menahan emosi. Matanya menatap garang kearahku. Aku memalingkan wajahku pada Irish daily yang ia lempar dan membaca headline news yang terpampang disana.
       “WESTLIFE’S NICKY BYRNE: FOR THE GIRL THAT I LOVE, I LEFT HER.”
       Lalu terlihat foto Nicky yang sedang menggandeng tanganku di Baldoyle. Kami memang sempat jalan-jalan berdua. Hanya sebentar…dan aku tidak ingat ada papparazi yang mengikuti kami. Tapi mengingat betapa terkenalnya Westlife sekarang, kemungkinan apapun bisa terjadi. Siapapun yang mengambil foto itu pasti papparazi yang mungkin tidak terlihat sama sekali olehku dan Nicky.
       Aku membeku, diam seribu bahasa saat membaca artikel didalamnya. Nicky sudah bertemu wartawan. Ia diwawancarai dan ia sudah mengakui hubungannya denganku. Ia sudah bilang bahwa hubungannya dengan Georgina sudah berakhir. Ia mengatakan dengan jelas bahwa ia mencintaiku. Aku, yang dulunya berpacaran dengan teman satu bandnya. Darahku terasa tidak mengalir. Ia tidak memberitahuku sama sekali.
       Kepalaku terasa panas, jantungku berdebar kencang menahan amarah.
       “Tidak seharusnya dia melakukan ini…” kataku dengan nada bicara aneh. Suaraku bahkan sempat tersumbat di tenggorokanku.
       “Melakukan apa?” Darren bertanya dengan suara ringan. “Kalau ada papparazi yang sudah memotret kalian berdua, lalu wartawan berdatangan padanya, memangnya kau pikir dia perlu bicara apa? Kau mau ia berbohong pada wartawan? Membuat masalah menjadi rumit dan berbelit-belit? aku justru kecewa padamu. Tidakkah ada sedikit keinginan untuk bercerita padaku?”
       “Darren, semuanya sangat rumit sampai aku bingung harus bicara apa padamu.” Kataku.
       “Begitu saja alasanmu?!” hardik Darren. “Selalu itu alasan yang kau berikan. Semuanya terlalu rumit, rumit…saat pacaran dengan Mark semuanya rumit, putus dengan Mark semuanya juga rumit, jadian dengan cowok idamanmu sejak dulu juga terlalu rumit dan membahagiakan sampai kau melupakanku.”
       “DARREN!!” jeritku, tapi kemudian aku membisu.
       “Okay…sekarang semuanya sudah jelas dengan hanya membaca artikel itu. Bahkan Koran harian pun lebih jujur padaku daripada sahabatku sendiri.” Darren menghela nafas. “Aku jadi ingin memberi tip pada papparazi itu.”
       “Aku benar-benar minta maaf Darren…” Aku benar-benar merasa bersalah. “You know me…it’s not easy for me. I’m not ready to see your reaction.”
       “This is my reaction.” Katanya dengan sisa emosinya. Ia menghela nafas lagi, berusaha tidak membentakku.
       “But Darren…” aku menatapnya. “I never thought that Nicky loves me…”
       Dia benar, aku memang terlalu bahagia.
       “He loves me…he is my boyfriend.” Aku berusaha tidak menangis. “He said that he loves me…I can’t believe it until now but…he loves me back Darren!”
       Darren menggeleng dengan wajah pahit.
       “Kau pikir ini mainan ya?” ia menatapku. “Kuakui kau memang jauh berubah dari dirimu yang dulu. Kau cantik, kau mungkin punya daya tarik yang membuat dua penyanyi besar jatuh cinta. Tapi apa kau tidak pernah memikirkan apa resiko dari apa yang kau lakukan? Kupikir saat kau berhubungan dengan Mark, kau sudah bertekad melupakan Nicky secara total. Tidak semua orang akan percaya padamu Michelle, tidak semua orang akan mengerti. Akan ada banyak orang yang menganggapmu perempuan murahan. Aku tahu kau akan susah melaluinya.”
       Tidak ada sedikitpun kebahagiaan didalam wajah Darren. Padahal aku berpikir ia akan senang karena aku sudah mendapatkan Nicky setelah bertahun-tahun memendam cintaku. Padahal aku sangat bahagia hingga rasanya akan sinting.
       “Bagaimana dengan Mark? Dan Georgina?”
       “Mereka…”
       “Stop. Kau tidak usah memberitahuku. Aku sudah bisa menebak jawabanmu. Aku tidak mau dengar itu. Yang jelas kau harus bersiap-siap menghadapi hal yang sangat sulit. Semuanya tidak akan semudah yang kau bayangkan.”
       “Aku tahu ini tidak mudah Darren, walaupun bodoh, tapi aku masih punya otak!” aku meledak. “Tapi apakah kau bisa mengerti perasaanku?! Aku benci tidak bisa berhenti mencintai Nicky! Tapi nyatanya aku masih mencintainya sampai sekarang. Kau tidak akan bisa mengerti bagaimana perasaanku saat ia bilang ia mencintaiku dari dulu. Aku tidak mungkin melepaskannya lagi! Dan Mark, aku tidak bisa menolak laki-laki sebaik dia. Kupikir aku bisa mencintainya, kupikir Nicky sama sekali tidak ada hati denganku!”
       “Bisa jadi Nicky bohong…” kata Darren. “Bisa jadi dia tidak mencintaimu sama sekali. Dia hanya menjadikanmu cadangan karena dia sakit hati putus dengan Georgina. Bisa jadi kan dia ternyata tidak ada perasaan apapun padamu?”
       “Kau jahat sekali Darren!” jeritku. “Tega sekali kau bicara jahat begitu!!”
       Aku ingin mengangkat tanganku untuk mendorong Darren sampai jatuh, atau memukulnya. Tapi ia sahabatku. Aku tidak mungkin melakukannya walaupun aku muak luar biasa mendengar kata-katanya. Aku juga ketakutan, takut bahwa ternyata kata-kata Darren benar. Kalau benar Nicky hanya memainkanku, lebih baik aku mati saja.
       Aku duduk di sofa, menutup wajahku. Tidak bisa menahan isak tangis yang memaksa keluar. Aku benar-benar hopeless. Tidak tahu apa yang harus kulakukan sekarang. Darren tidak mendukungku. Bahkan Darrenpun tidak. Jadi, seluruh dunia juga akan sama. Aku masih berharap Darren akan menyesal dengan kata-katanya dan memelukku. Tapi nyatanya ia tetap berdiri ditempatnya.
       “Kalau kau hanya menangis, mana bisa kau tahan nantinya.”
       Dia bahkan bicara begitu.
       Aku hanya bisa duduk diam. Sama sekali tidak membalas ucapan Darren.

***
       ***Nicky’s Pov***

       Kupikir keputusanku untuk mengumumkan hubunganku dengan Michelle benar. Dunia harus tahu kalau kami sudah seharusnya bersama. Aku senang dimana-mana terdengar berita tentangku dan dia. Tapi entah kenapa beberapa hari ini Michelle tidak mengangkat teleponku. Memang, ia sudah bilang padaku bahwa mulai sekarang-sekarang ini ia ingin fokus pada pekerjaan menulisnya. Tapi masa sih ia tidak sudi walaupun hanya sekedar mengangkat teleponku? Aku kan hanya ingin mengucapkan selamat pagi, selamat malam, atau selamat berjuang…
       “Nicky!” Brian tiba-tiba menubruk tubuhku dari belakang. Aku hampir jatuh kalau tidak bisa menjaga keseimbangan.   
       “What?!” seruku kesal.
       “Aku masih belum percaya kau pacaran dengan Michelle sekarang.” Brian mengangkat alis, membuka kaleng minuman isotoniknya.
       “Memangnya kenapa? We love each other since we were in high school.” Nicky merebut kaleng Brian dan meminum isinya. Brian buru-buru merampasnya. “Kemarin kan sudah kujelaskan dari awal…kalau kau masih bingung, baca novel Michelle. Aku tokoh utamanya tuh.”
       “Kau mau pamer atau apa?” Brian melirik Nicky. “Aku bisa mengerti. Kau memang lebih dulu mengenal Michelle. Kutanya Shane, Mark, Kian…dan mereka bilang mereka memang sudah punya firasat.”
       Aku tertawa kecil, menatap Mark dan Kian yang sedang bermain tennis dan Shane yang sedang menonton mereka. Mark yang mengajak kami untuk pergi ke lapangan tennis indoor pilihannya. Rupanya ia sudah gatal ingin menunjukkan kemampuannya lagi.
       “Aku menang lagi!” seru Mark sambil mencibir Kian. Ia mengangkat raketnya tinggi-tinggi.
       “Maumu apa sih Marky?” Kian bersungut-sungut. “Setelah ini kutantang kau main gitar listrik. Atau main piano?”
       Mark masih tertawa-tawa.
       “Ampuni aku master.” katanya.
       “Shane, lawan dia.” Kian terkesan merengek. “Kalau kau menang, makan siang setelah ini kubayar bagianmu!”
       Shane bangkit dari duduknya, meregangkan otot-ototnya.
       “Okay, nggak ada yang namanya tidak mungkin. Siapa tahu lapangan ini sedang berpihak padaku.” Shane berdiri bersebrangan dengan Mark yang sedang mengeluarkan ekspresi meremehkan. “Come on Mark!”
       “Wah! Shane serius rupanya!” Mark tergelak, memukul bola tennis dengan raketnya. Shane menyambut bolanya, Mark menyambutnya lagi, mereka bermain dengan sengit. Sampai rasanya aku seperti melihat ada aliran listrik diantara mata mereka.
       “Yah…kalian kan memang sangat mengenalku.” Aku tersenyum melihat sahabat-sahabatku. “Aku tidak begitu kaget kalau kalian tahu. Tapi sungguh, nggak ada yang seberani Mark. Seenaknya saja menjadikan Michelle sebagai pacarnya.”
       “Mungkin saja Mark sudah menciumnya, atau bahkan lebih parah lagi…” Brian nyengir lebar sekali, meledekku.
       “Diam kau Bri…” Aku menutup mulutnya untuk menghilangkan cengirannya yang menyebalkan.
       “Bolanya jatuh Mark!! Sudah satu kosong!” Shane menunjuk-nunjuk Mark sambil tertawa. “Aku unggul! Tuh kan, sudah kubilang lapangannya baik padaku!”
       “Aaaah! Shut up Shane! I’ll win!” Mark terlihat agak kesal.
       “Eh tapi maaf, aku capek, lagipula bosan…aku punya firasat kau akan kalah telak. Jadi sudahi saja ah…” Shane meletakkan raketnya. “Jadi, satu kosong. Aku yang menang.”
       “Curang amat sih!” Mark tidak terima. “Mana bisa begitu!!”
       Shane dan Kian berhighfive sambil tertawa-tawa licik.
       “My lunch, Ki!” seru Shane.
       “Okay!” Kian tertawa.
       “Nicky!! Lawan aku!!” ujar Mark kesal.
       Rupanya aku jadi korban kekesalan Mark kali ini. Aku tertawa, lalu berdiri diseberang Mark.

***
       McDonalds menjadi pilihan simple kami untuk makan siang kali ini. Wajah Mark sudah kembali cerah karena mengalahkanku dan Brian berturut-turut setelah itu. Aku bisa saja mengalahkannya, setidaknya aku atlet. Tapi yang penting manusia gendut itu tidak terus-terusan cemberut sepanjang hari.
       Kulihat Mark, Brian, Shane, dan Kian sedang melahap menu mereka masing-masing. Aku belum memesan apa-apa. Aku terpikir Michelle, aku kangen padanya sampai kehilangan nafsu makanku. Aku ingin meneleponnya lagi. Tapi aku tidak mau mengganggunya. Terpikir olehku apa dia tidak kangen padaku? Sudah lebih dari seminggu kami tidak bertemu.
       “Nicky, makanlah.” Shane menatapku. “Kita kan habis olahraga.”
       “I miss Michelle…” desahku.
       Mereka berempat bertatapan.
       “Haaaaaa! Nico masih dicuekin!” ejek Brian.
       Shane terlihat tidak tega dengan ekspresiku.
       “Shut up Brian…okay, Nicky. Just eat now, we’ll go to Michelle’s apartment after this.” Shane tersenyum. “Sesibuk apapun dia, tidak mungkin dia mengusir kita kan?”
       Aku tersenyum pada Shane.
       “Good decision…I’ll eat.” Aku bangkit dari dudukku untuk memesan makanan. Aku mengantri dibelakang satu orang. Tiba-tiba segerombol anak remaja cewek masuk kedalam McDonalds dan dua dari mereka mengantri dibelakangku. Aku menunduk untuk menyamarkan wajahku. Mereka mulai berisik bergosip macam-macam.
       “Menurutmu Michelle Myron cantik nggak?”
        Aku melebarkan mataku mendengar percakapan mereka.
       “Georgina Ahern lebih cantik dan elegan. Apa sih yang ada diotak Nicky? Aku kurang suka cewek itu. Setelah pacaran dengan Mark, lalu pacaran dengan Nicky?”
       “Memang aneh. Tapi Nicky bilang dia memang menyukainya dari dulu.”
       “Terus Mark bagaimana? I think she’s such a bitch.”
       “Yeah, bitch.”
       Telingaku memanas mendengar kata-kata mereka. Tapi aku tidak mungkin berbalik badan dan membentak mereka kan? Aku terpikir Michelle. Apa dia baik-baik saja? Aku hanya terdiam saat pelayan akan melayani pesananku. Aku justru berbalik badan dan keluar dari McDonalds, berjalan menuju mobilku. Aku sempat mendengar the lads berseru memanggilku. Aku yakin mereka pasti mengikutiku. Aku tidak peduli, kuinjak gas dalam-dalam dan mobilku melaju kencang dijalan raya. Aku tidak mengurangi kecepatan. Aku diberi hadiah bunyi klakson dari mobil-mobil disekitarku.
       Aku membelok ke sebuah jalan besar. Lagi-lagi orang dalam mobil disampingku membunyikan klakson. Aku menghentak-hentakkan kakiku ketika lampu merah menyambutku. Aku melirik kaca spion. Aku bisa melihat mobil Kian dibelakang mobil-mobil. Ketika lampu hijau menyala aku langsung tancap gas lagi. Setelah beberapa kilometer aku berbelok lagi, mengurangi kecepatan, lalu menuju parkiran sebuah gedung apartemen. Aku memarkir mobil dan langsung menghambur keluar dari mobilku.
       Untungnya Michelle tinggal dilantai tujuh. Aku tidak usah mati-matian naik tangga sampai nafasku habis. Aku buru-buru menaiki tangga dan menuju sebuah pintu. Lalu menekan bel disamping pintu, setelah beberapa lama menunggu, akhirnya pintu terbuka. Tapi bukan Michelle yang berdiri didepanku. Disana berdiri seorang pria yang agak berwajah Asia.
       “Who are you?” Firasatku tidak enak melihat ada laki-laki lain didalam apartemen Michelle.
       “I’m Clark Aiber, Michelle’s editor.” Pria didepanku tersenyum tipis.
       Aku menghembuskan nafas lega.
       “Where’s Michelle?” tanyaku. “Can I come in?”
       Clark menggigit bibirnya.
       “Well, masuklah…” ia melebarkan pintu. Aku langsung masuk kedalam, mencari-cari Michelle dengan bolamataku. Ia tidak ada diruang tengah. Aku menuju kamarnya dan membuka pintu, kudapati Michelle sedang duduk di tempat tidurnya dengan wajah kuyu. Rambutnya tidak disisir seperti dulu dan diikat asal-asalan. Kulihat airmata menggantung di kelopak matanya saat ia melihatku masuk. Hatiku menciut melihat penampilannya. Aku duduk disampingnya, meraih tangannya dan menggenggamnya erat-erat. Kukecup keningnya, kubelai helai rambutnya yang berantakan.
       “What’s going on? What happen to you, honey?” tanyaku lembut.
       “I can’t, Nicky…” Jawabnya pelan.
       “What do you mean?” aku mengelus pipinya yang pucat.
       “I can’t stay any longer in this relationship…” ucapnya lagi. “I’m sorry, Nicky…”

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar